Selama liburan dua minggu yang lalu, untung ada Piala Eropa, sehingga saya bisa melupakan sejenak situasi yang membuat saya pesimis akan nasib negara Indonesia di masa depan. Kepesimisan saya dapat digambarkan dalam cerita humor dari situs ketawa.com.(klik sini).
Walaupun itu humor belaka, namun saya yakin para pembaca pun setuju jika ketiga keinginan itu dapat terwujud di bumi tercinta ini. Mungkin hanya permintaan nomor 1 yang ada efek sampingnya, yaitu jika 1 U$ = Rp. 2.500, ekspor kita nilainya jadi mahal dan dikuatirkan produk ekspor kita kalah bersaing dengan negara-negara lainnya.
Kepesimisan saya saat itu dikarenakan beberapa peristiwa yang terjadi belakangan ini, yaitu :
Peristiwa pertama adalah persidangan kasus BLBI II – BDNI di mana terungkap percakapan antara Artalyta dengan para petinggi Kejaksaan Agung. Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum kedekatan pengusaha dengan para pejabat tinggi. Hal ini tidak terjadi hanya di Kejaksaan Agung saja tetapi juga di seluruh instansi dan BUMN. (baca : Korupsi Kepresidenan karangan George J. Aditjondro). Namun masih terasa “menyesakkan” mendengar percakapan antara Artalyta dengan beberapa Jaksa Agung Muda tersebut.
Kita sama-sama mengetahui dari percakapan tersebut betapa “berkuasa-nya” Artalyta sehingga seorang Jampidsus sampai perlu melaporkan suatu tugas tertentu kepadanya atau bagaimana seorang Jamdatun mau saja “diperintahkan” untuk menelpon para petinggi lainnya baik di Kejaksaan Agung maupun di Instansi lainnya.
Saya sendiri melihat wajah dari Artalyta ini masih “pede” saja karena selalu tampil modis, tidak terkesan dia melakukan kejahatan dan yakin akan lolos dari hukuman. Kemungkinan dibelakangnya masih ada dukungan kuat dari para “bos-bos” yang lebih tinggi lagi dari yang sudah terlihat dipersidangan.
Dalam sidang lanjutan kasus BLBI-BDNI, terungkap juga perbedaan pendapat antara Ketua Tim Jaksa Urip Tri Gunawan dengan anak buah. Salah satu anak buahnya menuturkan, timnya menemukan adanya tindakan menyalahi hukum dalam kasus BDNI, yaitu ada kekurangan penyerahan pemegang saham BDNI, dalam hal ini Syamsul Nursalim, sebesar Rp 4 triliun 758 miliar dan usulan kami pada Menkeu untuk melakukan penagihan kepada yang bersangkutan. Namun, pelanggaran itu tidak terungkap dalam rekomendasi yang dikeluarkan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang disampaikan kepada publik pada 29 Februari 2008.
Walaupun itu humor belaka, namun saya yakin para pembaca pun setuju jika ketiga keinginan itu dapat terwujud di bumi tercinta ini. Mungkin hanya permintaan nomor 1 yang ada efek sampingnya, yaitu jika 1 U$ = Rp. 2.500, ekspor kita nilainya jadi mahal dan dikuatirkan produk ekspor kita kalah bersaing dengan negara-negara lainnya.
Kepesimisan saya saat itu dikarenakan beberapa peristiwa yang terjadi belakangan ini, yaitu :
Peristiwa pertama adalah persidangan kasus BLBI II – BDNI di mana terungkap percakapan antara Artalyta dengan para petinggi Kejaksaan Agung. Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum kedekatan pengusaha dengan para pejabat tinggi. Hal ini tidak terjadi hanya di Kejaksaan Agung saja tetapi juga di seluruh instansi dan BUMN. (baca : Korupsi Kepresidenan karangan George J. Aditjondro). Namun masih terasa “menyesakkan” mendengar percakapan antara Artalyta dengan beberapa Jaksa Agung Muda tersebut.
Kita sama-sama mengetahui dari percakapan tersebut betapa “berkuasa-nya” Artalyta sehingga seorang Jampidsus sampai perlu melaporkan suatu tugas tertentu kepadanya atau bagaimana seorang Jamdatun mau saja “diperintahkan” untuk menelpon para petinggi lainnya baik di Kejaksaan Agung maupun di Instansi lainnya.
Saya sendiri melihat wajah dari Artalyta ini masih “pede” saja karena selalu tampil modis, tidak terkesan dia melakukan kejahatan dan yakin akan lolos dari hukuman. Kemungkinan dibelakangnya masih ada dukungan kuat dari para “bos-bos” yang lebih tinggi lagi dari yang sudah terlihat dipersidangan.
Dalam sidang lanjutan kasus BLBI-BDNI, terungkap juga perbedaan pendapat antara Ketua Tim Jaksa Urip Tri Gunawan dengan anak buah. Salah satu anak buahnya menuturkan, timnya menemukan adanya tindakan menyalahi hukum dalam kasus BDNI, yaitu ada kekurangan penyerahan pemegang saham BDNI, dalam hal ini Syamsul Nursalim, sebesar Rp 4 triliun 758 miliar dan usulan kami pada Menkeu untuk melakukan penagihan kepada yang bersangkutan. Namun, pelanggaran itu tidak terungkap dalam rekomendasi yang dikeluarkan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang disampaikan kepada publik pada 29 Februari 2008.
Bagi saya temuan tersebut masih belum menyentuh substansi pidana pemberian BLBI itu sendiri. Apakah pemberian BLBI itu dilandasi dengan prinsip kehatiaan.
Saya pernah menulis di blog ini yang mengungkapkan keheranan saya mengapa kejaksaan bisa-bisa mengatakan tidak ada pelanggaran pidana sedangkan hasil audit BPK/BPKP memperlihatkan bukti-bukti adanya kerugian negara (klik disini dan disini juga).
Kejadian ini jelas meruntuhkan wibawa dan citra kejaksaan walau selama ini publik pun sudah merasakan berbagai tingkah laku jaksa yang nakal. Misalnya dalam kasus bebasnya pelaku Illegal Logging Adelin Lis, semua pejabat kejaksaan tinggi sumut yang terlibat sudah dikenai hukuman. Beberapa tahun lalu, ketika ada rapat dengar pendapat antara Komisi III dengan Kejaksaan Agung, Jaksa Agung yang saat itu masih dijabat oleh Abdurahman Saleh dibilang oleh salah satu anggota DPR seperti ungkapan “Jangan Jadi Ustad di Kampung Maling”. Apakah setelah dilakukan pencopotan beberapa Jaksa Agung Muda, kesan “kampung maling” dapat dihilangkan?
Peristiwa kedua adalah bagaimana tindakan polisi/pemerintah terhadap demo-demo mahasiswa. Sebelumnya saya mau katakan bahwa saja tidak setuju dengan demo mahasiswa jika dilakukan dengan anarkis. Bahkan saya tidak setuju dengan semua cara-cara yang dilakukan dengan kekerasan yang dilakukan oleh siapa saja.
Saya memberi apresiasi ketika polisi dapat “menangkap” para anggota FPI di markas FPI dengan cara damai dan tidak ada perlawanan walaupun sebelumnya para angota FPI sudah siaga penuh. Saya yakin beberapa hari sebelum mengepung markas “FPI”, polisi telah melakukan berbagai upaya agar penangkapan tersebut tidak terjadi pertumpahan darah. Mengapa ketika demonstrasi mahasiswa akhir juni lalu, polisi tidak melakukan berbagai hal tersebut untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Apakah polisi masih belum belajar dari pengalaman jatuhnya korban yang terjadi pada tragedi Trisakti dan Semanggi. Tidak cukupkah korban yang jatuh dalam tragedi-tragedi tersebut agar polisi memperbaharui cara-cara penanganan demonstrasi mahasiswa sehingga tidak terjadi korban baik di mahasiswa maupun aparat kepolisian sendiri? Hanya keledai yang jatuh kedua kali pada lubang yang sama.
Sebenarnya jika mahasiswa sampai turun ke jalan melakukan demonstrasi harusnya jadi pertanyaan? Mengapa? Sekarang ini jaman keterbukaan sehingga semua pihak bisa menyuarakan pendapat, tidak hanya pers dan kalangan pengamat saja. Tetapi permasalahannya, apakah suara-suara yang berbeda tersebut didengar oleh pemerintah. Sugeng Saryadi di QTV pun pernah bilang bahwa apa yang dikatakan sebagai alternatif jalan yang diajukan berbagai nara sumber yang ada di acaranya tidak didengar oleh pihak pemerintah.
Berbagai pendapat lainnya bilang bahwa mahasiwa seharusnya intelek sehingga caranya lewat diskusi, kajian atau semacamnya dan tidak turun ke jalan. Masa iya ? wong pendapat dari berbagai tokoh/pakar yang berkompeten saja tidak didengar apalagi pendapat mahasiswa yang ilmunya masih terbatas dan dalam tataran teoritis saja.
Suara-suara yang mengharapkan kritik yang membangun dari mahasiswa, menurut saya hal itu adalah berlebihan. Suatu kritik yang membangun hanya dapat diberikan jika seseorang menguasai permasalahan. Tingkat penguasaan suatu masalah banyak tergantung kepada kekritisan seseorang dan data/informasi yang dimiliki. Sedangkan kita tahu kebebasan mendapatkan informasi publik adalah sesuatu yang langka di negeri ini. Jadi jangankan mahasiswa, pakar saja pun belum tentu mampu memberikan solusi yang memuaskan jika tidak mempunyai data atau informasi yang memadai. Hal ini yang terjadi pada argumentasi Kwik Kian Gie yang terpaksa harus menyederhanakan perhitungan harga BBM karena keterbatasan informasi yang dimiliki.
Jadi jika ada pihak mempertanyakan tingkat intelektualitas mahasiswa, layaknya pertanyaan itu dikembalikan lagi kepada pihak pemerintah. Apa yang telah dilakukan pemerintah ? Secara umum saja apakah pemerintah telah menjalankan UUD Pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa anggaran pendidikan sebesar 20 persen. Selama ini pemerintah di APBN hanya mengalokasikan sebesar 11% untuk anggaran pendidikan secara umum. Berapa % kah untuk peningkatan kualitas perguruan tinggi. Maka tidaklah mengherankan, jangankan perguruan swasta, perguruan tinggi negeri macam UI dan ITB yang mendapat dukungan dana dan fasilitas penuh saja, rangkingnya melorot terus dari tahun ketahun di bandingkan universitas lain di Asia dan Dunia. Bahkan kita tahu banyak perguruan tinggi yang mahasiswanya justru berasal dari PNS/POLRI/TNI demi mengejar gelar untuk kenaikan pangkat/jabatan.
Saat tulisan ini dibuat, kembali seorang anggota DPR ditangkap KPK karena diduga menerima suap dari rekanan pengadaan kapal didirektorat perhubungan laut. Anggaplah KPK sedemikian hebatnya misal dapat menangkapi sebagian besar anggota DPR yang jumlah nya hampir 1000 orang, masih ada energi kah KPK untuk mengusut dan menangkapi pelaku-pelaku korupsi di lembaga/instansi lainnya baik di pusat dan daerah atau di BUMN/BUMD. Masih ada kah harapan atau seperti humor diawal tulisan ini, jin saja menyerah untuk mengubah kondisi negara ini…(cape deh).
Oleh :
Johanes Wardy Sitinjak
The Tracer (http://signnet.blogspot.com/)
1 komentar:
Hanya ada satu kata : LAWAN !!! Pejabat dan Politisi BUSUK harus PERGI dari bumi pertiwi jika negeri ini pengin maju berkembang. Salam, http://www.toegoe.blogspot.com
Posting Komentar