Rabu, Februari 13, 2008

BEDA SKANDAL BLBI DENGAN SKANDAL ENRON DI AS


Akhirnya tidak tahan juga saya menulis tentang skandal BLBI. Alasan saya sederhana saja, bangsa ini sakitnya parah sekali, tapi para pemimpin tidak mau menyelesaikannya. Ibarat dokter hanya memberikan obat penahan sakit dan obat tidur saja. Sebentar hilang kemudian muncul lagi. Demikian juga penanganan skandal BLBI. Setelah hilang tidak jelas bagaimana kabar, kemarin interpelasi BLBI oleh beberapa anggota DPR juga tidak jelas menghasilkan sesuatu yang konrit.

Sejujurnya saya sudah kehilangan semangat/gairah untuk melihat skandal BLBI bisa diselesaikan sejak era Gus Dur dan Megawati selesai. Harapan saya waktu itu, di era kedua pemimpin inilah sebenarnya (kalau mau) skandal BLBI bisa diselesaikan. Alasannya keduanya adalah tokoh reformasi versi mahasiswa dan mereka berdua bukan kroni almarhum mantan Presiden Suharto. Tapi, sayangnya, harapan tinggal harapan, justru saat di masa pemerintahan mereka, surat keterangan lunas ditandatangani. Kok mau ya? Lunas berarti semua hutang telah dibayar. Padahal aset yang diserahkan banyak yang bodong atau di mark-up nilainya berlipat-lipat pada saat penyerahan. Selain itu, para pemilik bank/obligor itu mendapat diskon cukup besar, tidak hanya bunga dan denda yang dihapus, tetapi pokok hutangnya dihapus lebih dari 25%. Lha kok dibilang lunas? Enak benar ya!! Jadi jikalau presiden SBY tidak mau hadir, ya wajar saja, kedua presiden yang bukan kroni Alm. Suharto plus Orde Baru saja tidak mau (dan mampu?) menyelesaikan.

Saya hanya berdoa semoga para pelaku skandal BLBI dan orang-orang yang sengaja memanfaatkan skandal ini untuk kepentingan pribadi dan golongannya sehingga berlarut-larut terkena penyakit berat sehingga tidak bisa menikmati hasil jarahannya.

Walaupun begitu, demi kepentingan generasi anak cucu kita di masa datang, mari kita bandingkan bagaimana penangangan skandal BLBI dengan skandal Enron (dan lainnya seperti worldcom, tyco) di Amerika Serikat. Anak cucu kita akan menilai lembaran hitam dalam perjalanan bangsa Indonesia ini karena para pemimpinnya tidak melaksanakan amanah untuk mensejahterahkan rakyat. Mari kita lihat.

Pertama, dalam kasus mega skandal Enron, Worldcom, Tyco, Global Crossing, pemerintah AS tidak menalangi kerugian yang terjadi. Pemerintah hanya menjadi pengawas dan membuat aturan main saja. Banyak investor dan karyawan yang mengalami kerugian karena kertas saham yang mereka miliki tidak ada harganya lagi. Dalam kasus skandal BLBI, pemerintah Indonesia bukan hanya menalangi bahkan ikut “terseret dan tersandera”. Awalnya BI membantu dengan menyuntikan BLBI agar bank-bank tersebut tidak kolaps. Namun sayangnya pemberian BLBI tidak didasari prinsip kehati-hatian sehingga usaha itu sia-sia dan pemerintah terseret karena harus menalangi kerugian akibat BLBI 195 trilyun dan “tersandera” sampai saat ini dalam bentuk obligasi rekap sebesar kurang lebih 600 trilyun yang ada di bank-bank

Kedua, Pemerintah AS tegas menghukum para pelakunya yaitu, pemilik dan para pembantunya yang pada umumnya adalah CEO dan CFO. Benard Ebben, Jeff Shilling dan Andre Fastow, pemilik dan CEO/CFO Enron di hukum 20 tahun penjara. Kantor Akuntan Publik (KAP) Arthur Andersen yang mengaudit Enron pun ditutup. Juni 2002 Arthur Andersen dihukum penjara 5 tahun masa percobaan dan denda 500,000 dollar. Sedangkan KAP KPMG dalam kasus Xerox dan Grant Thorton dalam kasus Parmalat terkena hukuman. Bagaimana di Indonesia ? Pemerintah tidak menghukum para pelalu kejahatan perbankan. Saat ini pengungkapan skandal BLBI semakin kabur karena ditunda terus pembahasannya. Sudah empat kali berganti presiden, skandal BLBI tetap tidak ada yang bertanggungjawab. Interpelasi BLBI kepada presiden SBY jadi kurang tepat karena SBY bisa saja melempar tanggungjawab kepada tiga presiden sebelumnya. Apa saja yang dilakukan Habibie, Gus Dur dan Mega dalam penyelesaian BLBI?

Di negara Korsel dan Thailand beberapa konglomerat dan banyak pengusaha bunuh diri ketika terjadi krisis keuangan dan ekonomi. Di Indonesia, konglomerat tenang-tenang saja, bahkan mereka sekarang “berganti baju” dan disinyalir kembali menguasai aset-aset lama mereka dengan harga yang murah. Hanya sebagian kecil saja pemilik bank/ CEO/CFO/komisaris eks bank yang ditutup yang dihukum. Demikian juga tidak ada KAP yang mengaudit bank-bank tersebut yang dihukum/ditutup.

Ketiga, DPR Amerika (DPR AS) dengan cepat membuat Undang-Undang Sarbanes-Oxley Act (SOA). Undang-undang ini benar-benar pro publik, seseuai dengan nama resminya yaitu Public Accounting Reform and Investor Protection Act. SOA menjawab kritikan publik “Where were The Auditors” kepada para auditor internal plus komite audit, external auditor dan organisasi profesi akuntan. Bahkan pihak DPR AS dan Security Exchange Committee (SEC ) memandang bahwa mega skandal tersebut terjadi karena American Institute of Certified Publik Accounting (AICPA) sebagai organisasi profesi tidak menjalankan pengawasan terhadap KAP. Semua wewenang AICPA untuk perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa dicabut dan diserahkan kepada organisasi baru yaitu Public Company Accounting Oversight Board (PCAOB) yang ketua dan anggotanya kebanyakan bukan dari Certified Public Accountant. Wewenang itu antara lain : yaitu menetapkan standard audit, melakukan pendaftaran dan pengawasan terhadap KAP, melakukan investigasi bila ada pelanggaran prosedur dan mengimplementasikan SOA.

Setelah terjadi skandal BLBI, DPR periode 1996-2000 telah mengusulkan adanya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan mengambil fungsi pengawasan bank-bank dari BI. Saat itu skandal BLBI terjadi salah satunya karena kegagalan pengawasan bank-bank oleh BI. Hal ini dipertegas lagi pada pasal 34 UU No 23/1999 bahwa pembentukan OJK paling lambat akhir Desember 2002. Namun oleh DPR periode 200-2004 pembentukan OJK ditunda paling lambat Desember 2010 sesuai UU 32/2004 tentang BI. Sampai sekarang pun belum ada terdengar pembahasan RUU OJK padahal tinggal 2 tahun sebelum akhir 2010. Apakah ditunda lagi?

Berkaca pada sikap DPR AS yang segera membentuk PCAOB dan mengambil alih wewenang AICPA agar pengawasan terhadap KAP-KAP yang melakukan audit pada perusahaan publik. DPR AS memandang adanya conflict of interest jika pengawasan KAP dilakukan organisasi profesi akuntan publik (AICPA). Demikian juga ada conflict of interest dalam fungsi pengawasan BI terhadap bank umum.

DPR RI dan BI seharusnya tidak menunda-nunda lagi pembentukan OJK. Alasan BI mengatakan tidak ada sumber daya yang memadai untuk OJK adalah alasan yang dibuat-buat. Menurut saya dana BI yang mengalir ke DPR dan penegak hukum sebesar 100 milyar, lebih dari cukup untuk memberikan training kepada para calon auditor OJK yang mungkin berasal dari Departemen Keuangan, BAPEPAM, BPK/BPKP.

Keempat, informasi tentang mega skandal di AS dibuka kepada publik. Publik AS dan dunia dengan mudah mendapatkan informasi detail tentang terjadinya mega skandal tersebut. Ketik saja Enron di search engine Google akan muncul sekitar 13 jutaan informasi berupa artikel dan buku.

Di Indonesia, informasi tentang skandal perbankan/BLBI hanya bersifat umum saja. Memang keterlaluan. Sudah 650 trilyun dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatasi skandal ini. Coba lihat apakah pernah publik tahu dan mendapat informasi detail tentang apa yang terjadi di Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) padahal pemiliknya saat ini sudah mendapatkan surat keterangan lunas? Apa yang terjadi Bank Surya? Kenapa pemilik Bank Surya sampai melarikan diri ke luar negeri, sedangkan pemilik bank lainnya tidak. Apakah kasus yang terjadi di Bank Bira sama dengan yang terjadi di Bank Centris? Bagaimana kasus yang terjadi pada bank-bank plat merah? bagaimana kasus pemilik bank/obligor yang masih belum lunas utangnya sampai diterima presiden dengan karpet merah?

Informasi tentang hal ini seharusnya dibuka penuh ke publik karena sumber biaya 650 trilyun adalah sebagian pajak yang dipungut dan dibayar oleh rakyat. Saya juga tidak mengerti mengapa pemerintah tidak membuka semuanya hal ini. Menurut pendapat saya informasi ini tidak bisa lagi dibilang rahasia negara karena negara atau publik tidak dirugikan jika informasi ini dibuka. Tidak ada guna lagi menyimpan informasi ini karena semuanya telah terjadi dan harganya telah dibayar oleh pajak yang dibayar rakyat. Merahasiakan informasi ini hanya menguntungkan pihak-pihak yang terlibat saja, yaitu pemilik, CEO/CFO eks bank, KAP yang mengaudit bank tersebut dan BI.

Karena informasi ini dirahasiakan maka dengan tenang BI melalui yayasannya membuat proyek diseminasi sebesar 30 milyar. Pejabat BI dengan enaknya mengatakan tidak ada salah dengan kebijakan BI saat terjadi BLBI. Apa benar begitu? Sayangnya tidak? Kebetulan saya pernah membaca beberapa Laporan Pengawasan BI atas bank-bank tersebut. Semua permasalahan yang ada di bank-bank umum tersebut bukan gejala yang tiba-tiba muncul misal karena tingginya nilai tukar rupiah saat itu, tetapi sudah lama ada dan tercium oleh para pengawas BI di lapangan. Namun sayangnya, tidak ada tindak lanjut perbaikan atas laporan pengawas BI tersebut, baik oleh pejabat BI dan pihak bank umum. Itulah sebabnya mengapa ada usulan perlunya pemisahaan fungsi pengawasan bank umum di luar BI dengan dibentuk OJK.

Kemudian pemberian suntikan BLBI apakah telah melalui prosedur penilaian yang ketat mana bank yang masih bisa dibantu, mana yang tidak? Jika hal ini dilakukan dengan tepat oleh BI saat itu, saya yakin pendarahan yang ada di bank-bank tersebut tidak akan menyeret dana pemerintah sampai 650 trilyun untuk BLBI dan Obligasi Rekap. Menurut laporan audit investigasi penyaluran dan penggunaan bantuan likuiditas Bank Indonesia yang dilakukan BPK menyatakan dari penyaluran BLBI yang telah dialihkan menjadi kewajiban pemerintah sebesar Rp. 144.536.086 juta, terdapat 95,78 % atau Rp. 138.442.026 juta yang tidak sesuai dengan tujuan pemberian BLBI atau dengan kata lain menimbulkan potensi kerugian negara.

Sebagai penutup, saat ini Amerika sedang menghadapi krisis baru yaitu krisis subprime mortgage, Indonesia belum juga lepas dari skandal BLBI setelah 10 tahun berlalu. Betapa memalukan dan bodohnya bangsa ini.

Penulis : Johanes Wardy

The Tracer (http://signnet.blogspot.com)

Tidak ada komentar: