Akhirnya tidak tahan juga saya menulis tentang skandal BLBI. Alasan saya sederhana saja, bangsa ini sakitnya parah sekali, tapi para pemimpin tidak mau menyelesaikannya. Ibarat dokter hanya memberikan obat penahan sakit dan obat tidur saja. Sebentar hilang kemudian muncul lagi. Demikian juga penanganan skandal BLBI. Setelah hilang tidak jelas bagaimana kabar, kemarin interpelasi BLBI oleh beberapa anggota DPR juga tidak jelas menghasilkan sesuatu yang konrit.
Sejujurnya saya sudah kehilangan semangat/gairah untuk melihat skandal BLBI bisa diselesaikan sejak era Gus Dur dan Megawati selesai. Harapan saya waktu itu, di era kedua pemimpin inilah sebenarnya (kalau mau) skandal BLBI bisa diselesaikan. Alasannya keduanya adalah tokoh reformasi versi mahasiswa dan mereka berdua bukan kroni almarhum mantan Presiden Suharto. Tapi, sayangnya, harapan tinggal harapan, justru saat di masa pemerintahan mereka,
Saya hanya berdoa semoga para pelaku skandal BLBI dan orang-orang yang sengaja memanfaatkan skandal ini untuk kepentingan pribadi dan golongannya sehingga berlarut-larut terkena penyakit berat sehingga tidak bisa menikmati hasil jarahannya.
Walaupun begitu, demi kepentingan generasi anak cucu kita di masa datang, mari kita bandingkan bagaimana penangangan skandal BLBI dengan skandal Enron (dan lainnya seperti worldcom, tyco) di Amerika Serikat. Anak cucu kita akan menilai lembaran hitam dalam perjalanan bangsa
Pertama, dalam kasus mega skandal Enron, Worldcom, Tyco, Global Crossing, pemerintah AS tidak menalangi kerugian yang terjadi. Pemerintah hanya menjadi pengawas dan membuat aturan main saja. Banyak investor dan karyawan yang mengalami kerugian karena kertas saham yang mereka miliki tidak ada harganya lagi. Dalam kasus skandal BLBI, pemerintah
Kedua,
Di negara Korsel dan
Ketiga, DPR Amerika (
Setelah terjadi skandal BLBI, DPR periode 1996-2000 telah mengusulkan adanya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan mengambil fungsi pengawasan bank-bank dari BI. Saat itu skandal BLBI terjadi salah satunya karena kegagalan pengawasan bank-bank oleh BI. Hal ini dipertegas lagi pada pasal 34 UU No 23/1999 bahwa pembentukan OJK paling lambat akhir Desember 2002. Namun oleh DPR periode 200-2004 pembentukan OJK ditunda paling lambat Desember 2010 sesuai UU 32/2004 tentang BI. Sampai sekarang pun belum ada terdengar pembahasan RUU OJK padahal tinggal 2 tahun sebelum akhir 2010. Apakah ditunda lagi?
Berkaca pada sikap
Keempat, informasi tentang mega skandal di AS dibuka kepada publik.
Di Indonesia, informasi tentang skandal perbankan/BLBI hanya bersifat umum saja. Memang keterlaluan. Sudah 650 trilyun dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatasi skandal ini. Coba lihat apakah pernah publik tahu dan mendapat informasi detail tentang apa yang terjadi di Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) padahal pemiliknya saat ini sudah mendapatkan
Informasi tentang hal ini seharusnya dibuka penuh ke publik karena sumber biaya 650 trilyun adalah sebagian pajak yang dipungut dan dibayar oleh rakyat. Saya juga tidak mengerti mengapa pemerintah tidak membuka semuanya hal ini. Menurut pendapat saya informasi ini tidak bisa lagi dibilang rahasia negara karena negara atau publik tidak dirugikan jika informasi ini dibuka. Tidak ada guna lagi menyimpan informasi ini karena semuanya telah terjadi dan harganya telah dibayar oleh pajak yang dibayar rakyat. Merahasiakan informasi ini hanya menguntungkan pihak-pihak yang terlibat saja, yaitu pemilik, CEO/CFO eks bank, KAP yang mengaudit bank tersebut dan BI.
Karena informasi ini dirahasiakan maka dengan tenang BI melalui yayasannya membuat proyek diseminasi sebesar 30 milyar. Pejabat BI dengan enaknya mengatakan tidak ada salah dengan kebijakan BI saat terjadi BLBI. Apa benar begitu? Sayangnya tidak? Kebetulan saya pernah membaca beberapa Laporan Pengawasan BI atas bank-bank tersebut. Semua permasalahan yang ada di bank-bank umum tersebut bukan gejala yang tiba-tiba muncul misal karena tingginya nilai tukar rupiah saat itu, tetapi sudah lama ada dan tercium oleh para pengawas BI di lapangan. Namun sayangnya, tidak ada tindak lanjut perbaikan atas laporan pengawas BI tersebut, baik oleh pejabat BI dan pihak bank umum. Itulah sebabnya mengapa ada usulan perlunya pemisahaan fungsi pengawasan bank umum di luar BI dengan dibentuk OJK.
Kemudian pemberian suntikan BLBI apakah telah melalui prosedur penilaian yang ketat mana bank yang masih bisa dibantu, mana yang tidak? Jika hal ini dilakukan dengan tepat oleh BI saat itu, saya yakin pendarahan yang ada di bank-bank tersebut tidak akan menyeret dana pemerintah sampai 650 trilyun untuk BLBI dan Obligasi Rekap. Menurut laporan audit investigasi penyaluran dan penggunaan bantuan likuiditas Bank Indonesia yang dilakukan BPK menyatakan dari penyaluran BLBI yang telah dialihkan menjadi kewajiban pemerintah sebesar Rp. 144.536.086 juta, terdapat 95,78 % atau Rp. 138.442.026 juta yang tidak sesuai dengan tujuan pemberian BLBI atau dengan kata lain menimbulkan potensi kerugian negara.
Sebagai penutup, saat ini Amerika sedang menghadapi krisis baru yaitu krisis subprime mortgage,
Penulis : Johanes Wardy
The Tracer (http://signnet.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar