*) tulisan ini dadakan, bukan domain topik blog ini, maaf jika terkesan kurang terstruktur seperti biasanya.
Kemarin, hari Minggu, tanggal 11 Mei 2006, saya memberikan komentar dalam posting yang ada di diskusiekonomi dengan judul debat rencana kenaikan BBM. Ternyata komentar saya itu memancing bantahan dari Sdr. Rajawali Muda. Saya heran, wong saya tidak setuju dengan alasan tertentu kok disamain dengan pendapatnya pakar Drajat Wibowo. Mas Drajat itu anggota DPR yang notabene mewakili pendapat rakyat terutama kepentingan rakyat kecil. Tetapi kan belum tentu suaranya menyuarakan kepentingan saya. Itulah yang mendorong saya memberikan komentar.
Oh ya sebelumnya, saya ingin menceritakan dulu ketika ada kenaikan BBM tahun 2005. Saat itu sebuah TV Swasta menyiarkan acara semacam sosialisasi kenaikan BBM dengan menampilkan Mentri Keuangan Sri Mulyani dihadapan para peserta dengan berbagai latar belakang. Suatu ketika, setelah menjawab salah satu peserta sosialisasi, seorang peserta yang ternyata seorang supir taksi bukan bertanya, tetapi dia tidak setuju dengan pendapat Menkeu dan dengan emosi yang tidak bisa ditutupi, ia menceritakan semua kesusahannya. Menurutnya apapun alasan Menkeu, hidup dia semakin susah karena biasanya kenaikan BBM akan mengakibatkan kenaikan argo dan setoran taksi. Selama beberapa bulan nantinya ia tidak akan bisa menutupi setoran, sebelum akhirnya normal kembali. Namun harga-harga kebutuhan hidup lainnya melambung naik. Supir taksi itu pun tidak tahu bagaimana masa depan keluarganya.
Saya jadi berpikir seandainya supir taksi itu hadir lagi dalam debat kenaikan BBM di Liputan 6 SCTV tanggal 7 Mei lalu bagaimana ya?
Saya bersyukur kepada Tuhan walau pengaruh kenaikan harga minyak dunia itu ada ke dalam kehidupan saya tetapi tentunya tidak seberat kebanyakan rakyat kecil dan supir taksi tersebut. Bahkan saya bersyukur kepada Tuhan, saya masih bisa membuka lapangan kerja bagi beberapa orang karena mendirikan klinik dan bengkel motor. Hal yang menurut saya jauh lebih baik dan nyata untuk pemberantasan kemiskinan dibanding program bantuan langsung tunai (BLT).
Kembali ke permasalahan kenaikan BBM itu , menurut saya ada dua, yaitu masalah supply-demand BBM dan dampak kenaikan BBM itu bagi kehidupan rakyat miskin.
Dari sisi suppy kenaikan harga BBM ini cepat atau lambat akan terjadi. Migas adalah sumber alam yang akan habis dan tidak dapat diperbaharui dan belum ada pengganti yang dapat diproduksi massal dalam waktu. Detilnya silakan baca buku The Coming Economic Collapse: How You Can Thrive When Oil Costs $200 a Barrel karangan Stephen Leeb and Glen Strathy atau membaca bagaimana menambah supply minyak silakan di klik di sini. (Maaf, saya baru tahu tanggal 9 Juli 2008 postingan blog ini dihapus).
Dari sisi demand atau pemakaian, nah ini dia yang jadi fokus kita. Pihak yang ingin menaikkan harga BBM cenderung mengatakan subsidi minyak salah sasaran. Alasannya klasik banyak pemakai mobil adalah orang yang tidak perlu disubsidi. Bahkan JK sendiri pun bilang demikian banyak pemilik mobil mewah disubsidi.
Mungkin benar, tetapi berapa banyak? Apakah mereka layak mewakili pendapat subsidi salah sasaran?
Saya pikir kurang tepat jika mobil mewah yang pake premium itu menjadi alasan subsidi salah sasaran. Menurut saya, banyak pemakai mobil (bukan mewah) yang terpaksa menggunakan mobil untuk aktivitas kerja dan bisnis karena kurang baik dan nyamannya transportasi umum. Mereka tersebut tidak menuntut kenyamanan berupa kemewahan tetapi cukup bersih, aman dan tidak padat. Pernah saya mencoba naik busway ketika pulang kerja, selama perjalanan, saya merasa tidak nyaman karena saking padatnya tidak ada jarak lagi antara saya dengan penumpang wanita di depan saya. Saya sudah berusaha keras untuk tidak menempel di punggungnya tetapi tetap tidak bisa. Tentu saja saya kuatir penumpang wanita itu akan marah dan menuduh saya melakukan pelecehan seksual. Tetapi rupanya penumpang wanita itu mungkin hanya bisa pasrah dengan kondisi yang tidak dapat dihindari. Pilihannya ikut atau turun dari busway, menunggu busway berikutny, siapa tahu kosong? Atau pindah naik taksi dengan resiko biaya lebih tinggi.
Untuk itu saya setuju jika ada program busway hanya untuk para wanita saja pada jam-jam ramai.
Kemudian saya juga pernah naik kereta beberapa kali ke Depok, selama naik kereta yang padat itu ada berbagai kejadian mulai dari penjambretan kalung dan HP, banyak pengamen, pengemis dan orang-orang berjualan lalu lalang di kereta api yang padat tersebut.
Akhirnya saya memutuskan tetap naik mobil walau saat itu jarak rumah ke tempat kerja membutuhkan waktu minimal 2 jam sehingga total pulang pergi rumah kantor paling sedikit 4 jam di jalan. Bayangkan enak kagak tuh naik mobil. Habis waktu, emosi, tenaga dan dana. Umur mesin mobil dan komponennya jadi cepet rusak. Apalah arti subsidi yang saya terima jika saya juga tetap mengeluarkan biaya,waktu dan tenaga yang seharus bisa dihindari.
Sejak kenaikan BBM 2005 saya hitung biaya harus dikeluarkan naik mobil kijang saya perhari Rp. 100 ribu untuk beli bensin, tidak termasuk lelah dan habis waktu. Sedangkan saat itu jika menggunakan transportasi umum hanya 30-35 rb perhari. Seandainya ada perbaikan transportasi umum sehingga nyaman namun biayanya naik mungkin menjadi total 50 rb perhari saya pasti memilih menggunakan transportasi umum.
Bayangkan jika transportasi umum nyaman dan aman, tentu banyak pengemudi mobil yang berpindah memakai transportasi umum, berapa banyak pemakaian BBM yang dihemat per hari, per bulan dan per tahun?
Hal kedua, saya tidak setuju kenaikan BBM adalah tidak konsistennya antara ucapan dan praktek di kalangan pemerintah. Pemerintah terus bersuara harus hemat energi termasuk BBM. Tetapi sejak kenaikan BBM tahun 2005 semakin banyak pejabat atau penyelenggara negara yang menggunakan mobil yang boros bensin karena ber-cc besar. Bagaimana mungkin pemerintah menaikkan harga BBM tetapi terus menggunakan mobil ber-cc besar. Tentunya pembelian BBM mobil ini diambil dari anggaran pemerintah. Sudah boros pemakaian bensin, pakai biaya negara pula.!
Saya sendiri, beberapa bulan kemudian setelah kenaikan BBM tahun 2005, mobil Kijang saya, yang 1800 cc, saya jual karena boros dan biaya bensinnya meningkat dua kali lipat dari sebelumnya. Saya menggunakan mobil satu lagi yang 1300 cc yang lebih irit.
Seharusnya pemerintah juga membatasi pemakaian kendaraan dinas pribadi pejabat, mobilnya sebaiknya yang hemat bensin dan tidak ber-cc besar. Max 1500 cc lah.
Hal ketiga, saya lupa siapa ekonom yang bilang lebih kurang seperti berikut “Di Indonesia, malaikat pun akan tergoda untuk menyelundupkan minyak”. Kalau boleh saya mengartikan kalimat ini adalah di Indonesia, menyelundupkan minyak adalah hal yang paling menguntungkan, aman dan mudah. Mengapa demikian ? Sayangnya ekonom tersebut tidak menjelaskan lebih detail. Jarang sekali terdengar penyelundup minyak terbongkar. Padahal menyelundupkan minyak (dalam jumlah besar) pasti membutuhkan kapal. Berapa banyak sih pemilik kapal di Indonesia? Mengapa tidak ditindak pihak yang berwenang.
Jika memang sinyalemen ekonom itu benar, diduga kuat ada permainan orang dalam Pertamina. Apakah Good Corporate Governance di Pertamina sudah optimal?
Hal keempat saya tidak setuju kenaikan BBM adalah sudah beberapa bulan ini kenaikan harga minyak dunia memberikan pengaruh kepada usaha saya yaitu mendorong kenaikan harga beberapa barang misal harga oli dan ban luar motor. Bagaimana saya bisa untung ketika beberapa bulan yang lalu saya membeli ban belakang motor Rp. 90 ribu/bh dan saya jual Rp. 105 rb/bh berikut pasang, namun sekarang harga awal bulan Mei modal untuk beli ban Rp. 112 rb. Jika BBM jadi naik akhir Mei tentu harga ban tersebut naik pula. Agen oli Pertamina pun sudah memastikan jika harga BBM naik, oli-oli Pertamina otomatis naik pula. Semua barang harganya naik.
Saat tulisan ini pun dibuat, pegawai saya yang terdiri dari 3 mekanik telah minta kenaikan gaji jika harga BBM naik. Tentu ini bikin pusing saya karena biaya servis perbaikan motor tidak mungkin dinaikkan karena konsumen akan lari ke bengkel lainnya ditambah daya beli yang semakin berkurang.
BLT
Pada saat pelaksanaan BLT tahun 2005 yang lalu, saya mendapat kesempatan untuk meliput pelaksanaan BLT di Indonesia bagian timur. Saya masih ingat saat itu pendapat para pejabat daerah tersebut dan akademisi senada. Bahwa program BLT membuat masyarakat tanpa rasa malu memiskinkan diri hanya sekedar mendapatkan dana BLT. Bahkan Bupati Buru mengatakan perencanaan BLT disamaratakan sehingga tidak melihat kondisi riil orang miskin. Di kabupaten Buru orang miskin banyak tinggal di penggunungan sehingga kalau mau mengambil dana BLT di kantor pos setempat terdekat, orang miskin tersebut harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 200 – 500 ribu per orang. Padahal BLT-nya hanya 300 ribu per keluarga. Terpaksa Pemerintah Daerah mengeluarkan biaya tambahan untuk bersama-sama pegawai pos mendatangi pemukiman orang miskin tersebut di daerah pegunungan.
Seorang pejabat lain mengatakan bahwa BLT hanya melepaskan sebentar kesesakan orang miskin setelah itu kembali mereka hidup miskin.
Menurut saya untuk menolong orang miskin salah satunya memberikan lapangan pekerjaan bagi mereka atau membantu mereka untuk mengembang suatu usaha. Uangnya jangan diserahkan kepada orang miskin tersebut karena akan habis untuk kebutuhan mereka. Lebih baik diberikan kepada suatu lembaga yang mampu membimbing mereka untuk membuka suatu usaha sehingga terlepas dari kemiskinan. Program semacam ini tentu telah banyak dijalankan oleh Pemerintah, tetapi tidak terdengar cerita sukses program untuk orang –orang miskin ini. Pemerintah harus mengevaluasi dan bersikap tegas jika ada oknum-oknum yang menjadi penyebab kegagalan program tersebut.
Bagi saya, ada atau tidak ada subsidi, saya bercita-cita membuka lagi usaha sehingga semakin banyak orang miskin/penggangguran yang tertolong. Amin.
Oh ya sebelumnya, saya ingin menceritakan dulu ketika ada kenaikan BBM tahun 2005. Saat itu sebuah TV Swasta menyiarkan acara semacam sosialisasi kenaikan BBM dengan menampilkan Mentri Keuangan Sri Mulyani dihadapan para peserta dengan berbagai latar belakang. Suatu ketika, setelah menjawab salah satu peserta sosialisasi, seorang peserta yang ternyata seorang supir taksi bukan bertanya, tetapi dia tidak setuju dengan pendapat Menkeu dan dengan emosi yang tidak bisa ditutupi, ia menceritakan semua kesusahannya. Menurutnya apapun alasan Menkeu, hidup dia semakin susah karena biasanya kenaikan BBM akan mengakibatkan kenaikan argo dan setoran taksi. Selama beberapa bulan nantinya ia tidak akan bisa menutupi setoran, sebelum akhirnya normal kembali. Namun harga-harga kebutuhan hidup lainnya melambung naik. Supir taksi itu pun tidak tahu bagaimana masa depan keluarganya.
Saya jadi berpikir seandainya supir taksi itu hadir lagi dalam debat kenaikan BBM di Liputan 6 SCTV tanggal 7 Mei lalu bagaimana ya?
Saya bersyukur kepada Tuhan walau pengaruh kenaikan harga minyak dunia itu ada ke dalam kehidupan saya tetapi tentunya tidak seberat kebanyakan rakyat kecil dan supir taksi tersebut. Bahkan saya bersyukur kepada Tuhan, saya masih bisa membuka lapangan kerja bagi beberapa orang karena mendirikan klinik dan bengkel motor. Hal yang menurut saya jauh lebih baik dan nyata untuk pemberantasan kemiskinan dibanding program bantuan langsung tunai (BLT).
Kembali ke permasalahan kenaikan BBM itu , menurut saya ada dua, yaitu masalah supply-demand BBM dan dampak kenaikan BBM itu bagi kehidupan rakyat miskin.
Dari sisi suppy kenaikan harga BBM ini cepat atau lambat akan terjadi. Migas adalah sumber alam yang akan habis dan tidak dapat diperbaharui dan belum ada pengganti yang dapat diproduksi massal dalam waktu. Detilnya silakan baca buku The Coming Economic Collapse: How You Can Thrive When Oil Costs $200 a Barrel karangan Stephen Leeb and Glen Strathy atau membaca bagaimana menambah supply minyak silakan di klik di sini. (Maaf, saya baru tahu tanggal 9 Juli 2008 postingan blog ini dihapus).
Dari sisi demand atau pemakaian, nah ini dia yang jadi fokus kita. Pihak yang ingin menaikkan harga BBM cenderung mengatakan subsidi minyak salah sasaran. Alasannya klasik banyak pemakai mobil adalah orang yang tidak perlu disubsidi. Bahkan JK sendiri pun bilang demikian banyak pemilik mobil mewah disubsidi.
Mungkin benar, tetapi berapa banyak? Apakah mereka layak mewakili pendapat subsidi salah sasaran?
Saya pikir kurang tepat jika mobil mewah yang pake premium itu menjadi alasan subsidi salah sasaran. Menurut saya, banyak pemakai mobil (bukan mewah) yang terpaksa menggunakan mobil untuk aktivitas kerja dan bisnis karena kurang baik dan nyamannya transportasi umum. Mereka tersebut tidak menuntut kenyamanan berupa kemewahan tetapi cukup bersih, aman dan tidak padat. Pernah saya mencoba naik busway ketika pulang kerja, selama perjalanan, saya merasa tidak nyaman karena saking padatnya tidak ada jarak lagi antara saya dengan penumpang wanita di depan saya. Saya sudah berusaha keras untuk tidak menempel di punggungnya tetapi tetap tidak bisa. Tentu saja saya kuatir penumpang wanita itu akan marah dan menuduh saya melakukan pelecehan seksual. Tetapi rupanya penumpang wanita itu mungkin hanya bisa pasrah dengan kondisi yang tidak dapat dihindari. Pilihannya ikut atau turun dari busway, menunggu busway berikutny, siapa tahu kosong? Atau pindah naik taksi dengan resiko biaya lebih tinggi.
Untuk itu saya setuju jika ada program busway hanya untuk para wanita saja pada jam-jam ramai.
Kemudian saya juga pernah naik kereta beberapa kali ke Depok, selama naik kereta yang padat itu ada berbagai kejadian mulai dari penjambretan kalung dan HP, banyak pengamen, pengemis dan orang-orang berjualan lalu lalang di kereta api yang padat tersebut.
Akhirnya saya memutuskan tetap naik mobil walau saat itu jarak rumah ke tempat kerja membutuhkan waktu minimal 2 jam sehingga total pulang pergi rumah kantor paling sedikit 4 jam di jalan. Bayangkan enak kagak tuh naik mobil. Habis waktu, emosi, tenaga dan dana. Umur mesin mobil dan komponennya jadi cepet rusak. Apalah arti subsidi yang saya terima jika saya juga tetap mengeluarkan biaya,waktu dan tenaga yang seharus bisa dihindari.
Sejak kenaikan BBM 2005 saya hitung biaya harus dikeluarkan naik mobil kijang saya perhari Rp. 100 ribu untuk beli bensin, tidak termasuk lelah dan habis waktu. Sedangkan saat itu jika menggunakan transportasi umum hanya 30-35 rb perhari. Seandainya ada perbaikan transportasi umum sehingga nyaman namun biayanya naik mungkin menjadi total 50 rb perhari saya pasti memilih menggunakan transportasi umum.
Bayangkan jika transportasi umum nyaman dan aman, tentu banyak pengemudi mobil yang berpindah memakai transportasi umum, berapa banyak pemakaian BBM yang dihemat per hari, per bulan dan per tahun?
Hal kedua, saya tidak setuju kenaikan BBM adalah tidak konsistennya antara ucapan dan praktek di kalangan pemerintah. Pemerintah terus bersuara harus hemat energi termasuk BBM. Tetapi sejak kenaikan BBM tahun 2005 semakin banyak pejabat atau penyelenggara negara yang menggunakan mobil yang boros bensin karena ber-cc besar. Bagaimana mungkin pemerintah menaikkan harga BBM tetapi terus menggunakan mobil ber-cc besar. Tentunya pembelian BBM mobil ini diambil dari anggaran pemerintah. Sudah boros pemakaian bensin, pakai biaya negara pula.!
Saya sendiri, beberapa bulan kemudian setelah kenaikan BBM tahun 2005, mobil Kijang saya, yang 1800 cc, saya jual karena boros dan biaya bensinnya meningkat dua kali lipat dari sebelumnya. Saya menggunakan mobil satu lagi yang 1300 cc yang lebih irit.
Seharusnya pemerintah juga membatasi pemakaian kendaraan dinas pribadi pejabat, mobilnya sebaiknya yang hemat bensin dan tidak ber-cc besar. Max 1500 cc lah.
Hal ketiga, saya lupa siapa ekonom yang bilang lebih kurang seperti berikut “Di Indonesia, malaikat pun akan tergoda untuk menyelundupkan minyak”. Kalau boleh saya mengartikan kalimat ini adalah di Indonesia, menyelundupkan minyak adalah hal yang paling menguntungkan, aman dan mudah. Mengapa demikian ? Sayangnya ekonom tersebut tidak menjelaskan lebih detail. Jarang sekali terdengar penyelundup minyak terbongkar. Padahal menyelundupkan minyak (dalam jumlah besar) pasti membutuhkan kapal. Berapa banyak sih pemilik kapal di Indonesia? Mengapa tidak ditindak pihak yang berwenang.
Jika memang sinyalemen ekonom itu benar, diduga kuat ada permainan orang dalam Pertamina. Apakah Good Corporate Governance di Pertamina sudah optimal?
Hal keempat saya tidak setuju kenaikan BBM adalah sudah beberapa bulan ini kenaikan harga minyak dunia memberikan pengaruh kepada usaha saya yaitu mendorong kenaikan harga beberapa barang misal harga oli dan ban luar motor. Bagaimana saya bisa untung ketika beberapa bulan yang lalu saya membeli ban belakang motor Rp. 90 ribu/bh dan saya jual Rp. 105 rb/bh berikut pasang, namun sekarang harga awal bulan Mei modal untuk beli ban Rp. 112 rb. Jika BBM jadi naik akhir Mei tentu harga ban tersebut naik pula. Agen oli Pertamina pun sudah memastikan jika harga BBM naik, oli-oli Pertamina otomatis naik pula. Semua barang harganya naik.
Saat tulisan ini pun dibuat, pegawai saya yang terdiri dari 3 mekanik telah minta kenaikan gaji jika harga BBM naik. Tentu ini bikin pusing saya karena biaya servis perbaikan motor tidak mungkin dinaikkan karena konsumen akan lari ke bengkel lainnya ditambah daya beli yang semakin berkurang.
BLT
Pada saat pelaksanaan BLT tahun 2005 yang lalu, saya mendapat kesempatan untuk meliput pelaksanaan BLT di Indonesia bagian timur. Saya masih ingat saat itu pendapat para pejabat daerah tersebut dan akademisi senada. Bahwa program BLT membuat masyarakat tanpa rasa malu memiskinkan diri hanya sekedar mendapatkan dana BLT. Bahkan Bupati Buru mengatakan perencanaan BLT disamaratakan sehingga tidak melihat kondisi riil orang miskin. Di kabupaten Buru orang miskin banyak tinggal di penggunungan sehingga kalau mau mengambil dana BLT di kantor pos setempat terdekat, orang miskin tersebut harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 200 – 500 ribu per orang. Padahal BLT-nya hanya 300 ribu per keluarga. Terpaksa Pemerintah Daerah mengeluarkan biaya tambahan untuk bersama-sama pegawai pos mendatangi pemukiman orang miskin tersebut di daerah pegunungan.
Seorang pejabat lain mengatakan bahwa BLT hanya melepaskan sebentar kesesakan orang miskin setelah itu kembali mereka hidup miskin.
Menurut saya untuk menolong orang miskin salah satunya memberikan lapangan pekerjaan bagi mereka atau membantu mereka untuk mengembang suatu usaha. Uangnya jangan diserahkan kepada orang miskin tersebut karena akan habis untuk kebutuhan mereka. Lebih baik diberikan kepada suatu lembaga yang mampu membimbing mereka untuk membuka suatu usaha sehingga terlepas dari kemiskinan. Program semacam ini tentu telah banyak dijalankan oleh Pemerintah, tetapi tidak terdengar cerita sukses program untuk orang –orang miskin ini. Pemerintah harus mengevaluasi dan bersikap tegas jika ada oknum-oknum yang menjadi penyebab kegagalan program tersebut.
Bagi saya, ada atau tidak ada subsidi, saya bercita-cita membuka lagi usaha sehingga semakin banyak orang miskin/penggangguran yang tertolong. Amin.
Artikel terkait
Johanes Wardy Sitinjak
The Tracer : (http://signnet.blogspot.com)
2 komentar:
Halo the tracer,maaf kan saya kalo terdengar kasar di blog diskusi ekonomi,saya kira anda pejabat dari parlemen yang kebakaran jenggot karena BBM naik :D. soalnya anda bilang safari, saya ingetnya safari politik. maklum lah darah muda, sedikit meledak ledak.
Secara garis besar,saya setuju dengan banyak hal yang anda kemukakan,di rumah saya juga buka grosir pakaian kecil-kecilan. Saya mendukung BBM naik bukan menafikan masalah riil yang dihadapi pengusaha. Tapi kalau APBN jebol, dan krisis baru lagi,semua akan susah, mundur lagi 10 tahun. Semoga setelah BBM naik, smua bisa ditata lebih baik lagi, saya setuju organda ngak beres,entah sudah berapa puluh tahun bis, metromini, kopaja, dll gak pernah ada peremajaan,sekarang mereka teriak-teriak gak mau rugi, padahal selama ini pasti banyak yang mau invest kendaraan baru dengan pembakaran yang lebih sedikit atau kendaraan dengan bahan bakar yang lebih murah, dll,smoga dengan kenaikan BBM ini, semua bisa keluar dari comfort zonenya masing2,menuju ke arah yang lebih baik.
Saya sedang mengumpulkan bahan untuk tulisan saya yang lain(tentu kali ini dari sudut keahlian saya di bidang cost accounting perhitungan harga BBM). Apalagi setelah menyaksikan acara di QTV dengan judul: Ekspor Impor BBM : Crime Untouchable dan membaca Laporan Investigasi Tempo 30 Maret 2008 terhadap praktek-praktek kotor di sektor Perminyakan/BBM, menambah keyakinan saya bahwa BBM tidak perlu naik.
Sekarang ini saya hanya bisa menjawab bahwa ada perbedaan perhitungan dari pihak ekonom/teknokrat penggagas kenaikan BBM dengan perhitungan pihak penentang diwakilkan Kwik Kian Gie.
Posting Komentar