Kamis, Mei 15, 2008

JUDISIAL REVIEW UU PERPAJAKAN (Bagian I)

Kamis, 15 Mei 2008, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak gugatan "judicial review" BPK karena dianggap tidak memiliki kedudukan hukum atau "legal standing" sehubungan tidak ada kewenangan konstitusional BPK yang dirugikan.
Berikut ada 2 buah tulisan. Tulisan pertama adalah hasil wawancara saya dengan Hendar Ristriawan, Kaditama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Keuangan Negara BPK sebelum keluar keputusan MK tersebut. Tulisan lain dari praktisi pajak akan ditampilkan di bagian II. Berikut hasil wawancara saya dengan Hendra Ristriawan.


Apa yang melatar belakangi pengajuan judicial review ini ?
Latar belakang BPK mengajukan ke Mahkamah Konstitusi atas Undang Undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga UU No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan karena dalam pasal tersebut ada pasal tentang prosedur yang membatasi BPK untuk memperoleh data dan informasi perpajakan. Pasal yang dimaksud adalah pasal 34 ayat 2a (huruf b) yang berbunyi dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah : pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.

BPK mempunyai mandat sesuai pasal 23 E ayat 1 UUD 1945 untuk melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang diterjemahkan dalam UU No 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dan UU No.15 tahun 2006 tentang BPK. Menurut undang-undang tersebut BPK diberikan kewenangan untuk mengakses data dan informasi terkait dengan pengelolaan keuangan negara. Sedangkan dalam pasal 34 UU No. 28/2007 ada pembatasan yaitu hanya pejabat dan tenaga ahli yang ditetapkan Menkeu yang boleh memberikan keterangan tersebut. BPK meminta “frasa” ditetapkan oleh Menkeu tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga BPK dapat meminta data/informasi kepada aparat dan pejabat pajak dimana pun terkait pemeriksaan BPK.

Selain pembatasan prosedur, BPK menilai ada yang lebih menghambat lagi bagi BPK yaitu seperti yang tertera dalam penjelasan pasal 34 ayat 2a. Pasal tersebut mengatur secara limitatif tentang jenis-jenis data/dokumen yang boleh diberikan kepada BPK. Data dan informasi yang ada dalam penjelasan pasal 34 ayat 2a tidak cukup memadai bagi BPK untuk melakukan audit.

Apakah Pembatasan ini baru-baru saja terjadi?
Persoalan ini sebenarnya persoalan lama ketika BPK melakukan audit kinerja pemerintah tahun 2005. Pada saat penyampaian ke DPR tahun 2006. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat deiberikan opini Disclaimer oleh BPK. Opini tersebut diberikan karena BPK tidak bisa memeriksa penerimaan pajak yang ada dalam laporan keuangan tersebut. Padahal penerimaan pajak menempati 70% dari total penerimaan negara. Ini cukup materialitas.

Apakah BPK diam saja selama ini?
BPK telah menyampaikan persoalan ini ke DPR dan Pemerintah. Bahkan ketika BPK menerima informasi bahwa undang-undang ini akan diubah, secara resmi BPK telah menyurati DPR yaitu ada persoalan dalam undang-undang ini terkait dengan pemeriksaan BPK. Namun, belum mendapat tanggapan yang memadai baik dari DPR ataupun pemerintah sampai undang-undang ini disetujui oleh DPR sehingga BPK akhirnya mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Teori audit mengatakan bahwa kegiatan audit berjalan terbalik dengan kegiatan akuntansi. Kalau Laporan keuangan pemerintah pusat menyebutkan angka penerimaan pajak misal 2 trilyun, seorang auditor akan memeriksan kebenaran angka tersebut dengan melihat pembukuan kemudian melakukan sampling terhadap bukti-bukti transaksi. Bukti transaksi penerimaan pajak adalah antara lain surat setoran pajak dan surat ketetapan pajak. Selain itu, dalam penerimaan pajak tersebut pembukuannya sudah dikurangi restitusi. Untuk itu harus juga dilihat surat ketetapan lebih bayar sebagai dasar penerbitan surat pemberitahuan masa (SPM). Dokumen-dokumen tersebut tidak dapat diberikan kepada BPK sesuai dengan penjelasan pasal 34 ayat 2a. Konsekuensi dari pembatasan jenis informasi ini adalah pemberian opini disclaimer karena tidak mungkin seorang auditor memberikan pendapat tentang sesuatu yang tidak diketahui.

Selama ini BPK dan pemerintah berusaha mengatasi persoalan ini dengan membuat MoU tentang Tatacara pemberian dokumen dan informasi. Sudah 12 kali pembahasan MoU tetapi tetap terhambat dengan pembatasan yang ada dalam pasal 34 ayat 2a karena MoU tidak mungkin melanggar undang-undang.
BPK tidak berkeberatan terhadap MoU yang mengatur tata cara pemberian dokumen seperti dokumen hanya dapat dilihat dalam ruangan khusus. Dokumen tidak bisa dibawa keluar. Dokumen bisa dicopy dengan distempel hanya untuk kepentingan pemeriksaan. Jadi yang diatur adalah tatacara pemberian dokumen bukan jenis jenis dokumennya.

Mengapa pemerintah bersikeras BPK tidak bisa memeriksa ?
Pemerintah berpendapat bahwa BPK telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) jika memeriksa dokumen-dokumen tersebut. Ada tiga alasan BPK tidak melanggar HAM. Pertama, kita harus melihat HAM dalam perspektif yang luas. Kewajiban melindungi HAM adalah kewajiban negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar . Persoalannya apakah BPK bukan alat negara? Kalau informasi yang dipunyai aparat pajak sebagai alat kelengkapan negara diberikan kepada alat kelengkapan negara lainnya (BPK) apakah itu pelanggaran HAM?
Kedua, dalam Undang-Undang Pidana pasal 50 dikatakan seseorang yang melaksanakan undang-undang tidak dapat dipidana. Dalam hal ini BPK memeriksa penerimaaan pajak dalam rangka menjalankan UU No. 15 tahun 2004 dan UU no, 15 tahun 2006.
Ketiga, UU perpajakan tidak ada terkait dengan HAM dalam butir-butir menimbang dan mengingat.

Ada ketakutan bahwa BPK akan memeriksa wajib pajak (WP). Pemerintah berpendapat bahwa SPT adalah dokumen privat yang diserahkan kepada petugas pajak sehingga harus dilindungi. BPK berpendapat bahwa SPT merupakan kewajiban perpajakan seseorang, yaitu berapa besarnya pakaj yang terhutang dan pajak yang sudah dibayar. Dalam SPT tersebut sebenarnya ada hak negara untuk menagih. BPK hanya melihat kewajiban perpajakan dalam rangka pemeriksaan penerimaan pajak. Bukan untuk memeriksa wajib pajak. Tidak ada undang-undang yang memberikan kewenangan BPK untuk memeriksa wajib pajak. Tidak ada mandat kepada BPK sesuai UUD dan UU BPK untuk memeriksan kekayaan perorangan. BPK hanya memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara.

Demikian juga ketakutan bahwa BPK akan membocorkan informasi tentang WP juga tidak beralasan. Sama seperti aparat pajak yang diancam undang-undang jika membocorkan rahasia WP, demikian juga pemeriksa/anggota BPK diancam undang-undang. Undang-undang BPK tidak mengijinkan anggota/pemeriksa BPK untuk memnggunakan data/informasi yang diperoleh diluar kewenangannya.


Bagaimana best practise di negara lain?
Kalau kita lihat best practise di negara-negara yang menjungjung tinggi HAM seperti Amerika, Kanada dan Australia, tidak ada undang-undang pajak yang membatasi jenis-jenis informasi yang bisa diberikan kepada BPK sana. Mereka hanya mengatur tatacara pemberian dokumen yang dinyatakan dalam Practise Statement. Jadi aturan tersebut untuk aparat pajak sendiri. Demikian juga, kita lihat di Malaysia, tidak ada aturan yang membatasi jenis-jenis informasi dan dokumen.

BPK juga ingin mengklarifikasi bahwa persoalan ini bukan sengketa antara BPK dengan pemerintah tetapi BPK hanya menunjukan bahwa ada undang-undang yang membatasi BPK untuk melaksanakan tugas pemeriksaan. Adanya undang-undang tersebut mengakibatkan tugas BPK dalam mengaudit laporan keuangan pemerintah pusat akan menghasilkan opini dislaimer terus menerus. Akibatnya masyarakat tidak memperoleh informasi memadai tentang pengelolaan penerimaan negara yang berasal dari pajak. Jadi jika MK tetap mempertahankan keberadaan undang-undang ini maka konsekuensi akan seperti ini.

Apakah selama ini pemeriksaan BPK menemukan bahwa penerimaan pajak diragukan kebenarannya sehingga dibawah target?
(Sambil tersenyum) Dalam Laporan Audit atas LKPP, BPK sudah mengungkapkan bahwa BPK menemukan perbedaan pembukuan jumlah penerimaaan pajak yang dilakukan Direktorat Jendral Perbendaharaan dengan pembukuan yang dicatat Direktorat Jendral Pajak. Sebagaimana kita ketahui surat setoran pajak mempunyai beberapa rangkap, yang salah satu tembusannya dipegang oleh bank-bank persepsi. Ditjen Perbendaharaan melakukan pencatatan berdasarkan data setoran pajak yang ada pada semau bank persepsi. Ketika kita laporan ke DPR mengenai perbedaan ini, DPR meminta audit lebih lanjut kebenaran penerimaan pajak yang ada di LKPP. Namun sampai saat ini BPK pun belum dapat menjelaskan apa penyebab perbedaan tersebut karena tidak bisa masuk akibat adanya pasal 34 ini.

Dengan demikian BPK mengajukan judicial review ke MK karena melihat ini satu cara yang disediakan sistem dalam negara kita. Daripada berwacana di media yang belum tentu dapat segera mendapatkan solusi. Dan BPK hanya meminta perubahan satu pasal dan penjelasannya saja. BPK pun memandang pasal 34 ayat 2a ini “tricky “ karena tidak disertai sanksi jika menteri keuangan tidak menunjuk pejabat yang bersangkutan. BPK pernah 10 kali menyurati menteri keuangan untuk memberikan izin kepada pejabat pajak memberikan data/informasi kepada BPK. Namun hanya 3 yang dijawab itu pun menolak sehingga BPK tetap tidak bisa masuk. Sementara itu kalangan DPR pun berpendapat pasal 34 ini bukan untuk kepentingan BPK.

Bagaimana jika MK tidak menyetujui langkah BPK ini?
Jika MK tidak menyetujui judicial review yang diajukan BPK, maka BPK melakukan pemeriksaan dalam rangka menjalankan kewenangan yang ditetapkan undang-undang. Diantaranya, mengadukan Ditjen Pajak kepada polisi sesuai pasal 24 UU No. 15/2004 yang mengatur tentang hukuman pidana bagi semua orang yang menolak memberikan dokumen dan keterangan kepada BPK (ayat 1) dan hukuman pidana bagi semua orang yang mencegah dan menghalangi pemeriksaan BPK.


Hasil wawancara ini telah diterbitkan di majalah Akuntan Indonesia edisi April 2008


Tidak ada komentar: