Rabu, Mei 07, 2008

Mungkinkah Akuntan Dapat Menjembatani UU No.5/1999 dengan UU No.31/1999

Ada beberapa kasus menonjol di mana kurang sejalannya penerapan UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi dan UU No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan tidak sehat. Umumnya, permasalahan ini terlihat dalam kasus-kasus tender dan kasus penunjukan langsung.
Kasus tersebut antara lain adalah kasus penjualan dua kapal tanker VLCC milik pertamina. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan bahwa penjualan kapal tanker tersebut melanggar UU No. 5 tahun 1999 dan terdapat potensi kerugiaan negara. Keputusan KPPU dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung. Sementara KPK belum menemukan adanya kerugian negara dalam kasus tersebut. Pengusutan kasus ini ke arah adanya unsur kerugian negara justru dilakukan oleh Kejaksaan Agung.

Sebenarnya masih banyak kasus lain yang ditanggani dan telah ada keputusan KPPU dalam menyangkut tender. Namun tidak jelas apakah dalam kasus-kasus tersebut ada kerugian negara akibat korupsi? Sebagaimana kita ketahui sampai saat ini kasus-kasus yang ditanggani oleh KPPU sebagian besar adalah kasus tender (pengadaan/penjualan) dan penunjukan langsung dilingkungan pemerintah dan BUMN/BUMD.

Mengapa ada perbedaan penerapan UU No. 31/1999 dan UU No 5/1999? Dapatkah jika kasus-kasus mengenai tender/penunjukan langsung yang sudah diputuskan KPPU dan pengadilan bersalah karena melanggar persaingan sehat atau persekongkolan tender (Bid Rigging), otomatis menjadi dasar untuk pemeriksaan kerugian negara sesuai dengan UU No. 31/1999? Apakah akuntan dapat berperan menjembatani hal tersebut ?

Aspek Hukum
Menurut Andhika Bhayangkara dalam “Aspek-Aspek Hukum Tindak Pidana Korupsi dan Persaingan Usaha dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah”, mengatakan terdapat pasal-pasal yang dapat dikaitkan dengan tindak pidana korupsi dalam penyediaan barang dan jasa pemerintah:
1. Melawan Hukum untuk memperkaya diri, Pasal 2 UU No. 31/1999
2. Penyalahgunaan Kewenangan, Pasal 3 UU No. 31/1999
3. Menyuap pegawai negeri, Pasal 5 ayat (1) UU No. 31/1999 jo UU No.20/2001
4. Pemborong berbuat curang, Pasal 7 ayat (1) UU no.31
5. Pegawai Negeri menerima hadiah/janji berhubungan dengan jabatannya, Pasal 11 UU No. 31/1999 jo UU No.20/2001
6. Pegawai Negeri memeras dan turut serta dalam pengadaan yang diurusnya, Pasal 12 UU No. 31/1999 jo UU No.20/2001
7. Gratifikasi dan tidak melapor KPK, Pasal 12B UU No. 31/1999 jo UU No.20/2001.

Dari ketujuh pasal yang dapat dikenakan, Pasal 3 UU No. 31/1999 mengenai Penyalahgunaan Kewenangan yang paling banyak dipakai untuk memidanai koruptor.
Sedangkan UU No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan tidak sehat memiliki paling tidak satu pasal untuk masalah tender, yaitu pada Bab III mengenai “Perjanjian yang Dilarang”, dibagian Keempat tentang “Persekongkolan”, pasal 22 menyatakan bahwa “Pelaku Usaha dilarang bersengkongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat.”

Pelaku usaha yang terbukti melakukan persekongkolan dapat dikenakan sanksi adaministratif dari KPPU berupa penghentian kegiatan yang menimbulkan persaingan tidak sehat. Jika tidak mematuhi akan dikenakan sanksi pidana denda maksimum Rp. 25 Milyar atau kurungan pengganti denda maksimum 5 bulan.

Persekongkolan Tender (Bid Ringging)

Dalam buku “ Persaingan dan Ekonomi Pasar Di Indonesia” karangan Rainer Adam, Samuel Siahaan dan AM Tri Anggraeni yang dimaksud dengan tender kolusif atau persengkongkolan tender atau disebut juga Bid Rigging adalah sebagai bentuk perjanjian kerjasama di antara para peserta tender yang seharusnya bersaing dengan tujuan memenangkan peserta tender tertentu.
Dalam prakteknya terdapat beberapa mekanisme (metode) beroperasinya persengkongkolan penawaran tender, antara lain :

1. Tekanan terhadap penawaran (Bid Suppression) artinya bahwa satu atau lebih penawar setuju untuk menahan diri untuk tidak mengikuti pelelangan atau menarik penawaran yang telah diajukan sebelumnya, agar penawar lain dapat memenangkan pelelangan itu.”

2. Penawaran yang saling melengkapi (Complementary Bidding) yaitu kesepakatan di antara para penawar, di mana dua atau lebih penawar setuju terhadap siapa yang akan memenangkan penawaran. Semua pihak telah sepakat siapa yang menawar paling rendah dan yang lainnya menawar lebih tinggi. Tentunya oleh pemenang, kepada yang kalah diberikan uang “ pinjam bendera”.

3. Perputaran penawaran atau arisan tender (bid rotation) adalah pola penawaran tender, di mana satu dari penawar setuju untuk kembali menjadi penawar yang paling rendah. Seringkali perputaran (arisan) ini menetapkan adanya jaminan, bahwa mereka akan mendapat giliran untuk memenangkan tender.

4. Pembagian Pasar (Market Division) adalah pola penawaran tender yang terdiri dari beberapa cara untuk memenangkan tender melalui pembagian pasar. Melalui metode ini para penawar dapat merancang wilayah geografis maupun pelanggan tertentu sehingga jika terdapat kontrak di wilayah tertentu, seluruh penawar sudah mengetahui penawar mana yang akan memenangkan tender.

Jika dikaji lebih dalam terhadap praktek- praktek seperti di atas maka pada dasarnya persekongkolan dalam penawaran tender dapat terjadi secara horisontal maupun vertikal. Persekongkolan horisontal adalah tindakan kerjasama yang dilakukan para penawar tender, misal saling memberikan informasi harga dan penawaran. Persengkokolan tender vertikal adalah kerjasama tersebut dilakukan penawar dengan panitia tender. Dalam kasus ini, biasanya panitia memberikan berbagai kemudahan atas persyaratan-persyaratan bagi salah satu penawar.

Peranan Akuntan

Peranan akuntan sebagai auditor dalam hal ini ada dua tahap, yaitu :
Pertama, membuktikan kasus ini sebagai kasus persaingan tidak sehat karena adanya persekongkolan tender (bid rigging).
Sebelum adanya UU No. 5/1999, para akuntan yang berperan sebagai auditor telah terbiasa mengaudit proses tender/penunjukan langsung. Sejak Keppres 16 tahun 1983 tentang pedoman pengadaan barang dan jasa sampai yang sekarang berlaku, Keppres 61/2004 yang merupakan perubahan dari Keppres 80/2003.

Dengan adanya UU No. 5/1999 sebenarnya pekerjaan akuntan/auditor dipermudah dalam mengaudit proses tender. Mengapa ?
Menurut saya, apabila para akuntan/auditor dapat membuktikan bahwa tender/penunjukan langsung itu melanggar UU No. 5/1999 karena adanya persekongkolan/kolusi maka pengembangan lanjutan dari kasus tender kolusif akan membawa ke arah kasus korupsi. Persekongkolan tender pasti berakibat kemahalan harga atau mark-up. Hal ini pun sejalan dengan pernyataan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) bahwa “tender kolusif pada dasarnya bersifat anti persaingan” karena dianggap melanggar tujuan penawaran tender yang sesungguhnya, yaitu mendapatkan barang atau jasa dengan harga dan kondisi yang paling menguntungkan pihak peyelenggara. (Sacker dan Lohse, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition : 2000)

Auditor dapat mendeteksi apakah proses tender/penunjukan langsung itu terdapat persekongkolan dengan melihat ada/tidaknya red flags dalam proses tender/penunjukan langsung tersebut. Red flags adalah petunjuk atau indikasi akan adanya sesuatu yang tidak biasa dan memerlukan penyidikan lebih lanjut.
Beberapa red flags antara lain :
- Ada satu perusahaan yang sering kali memenangkan tender. Biasanya karena sering menang, mereka menawar harga yang sangat tinggi (diduga untuk menutupi komisi/suap yang diberikan kepada pejabat tertentu)

- Dalam tender yang terbagi atas beberapa pool, penawaran harga dari para peserta tender berbeda disetiap pool tetapi perbedaan itu tidak dapat dijelaskan.

- Dokumen penawaran harga yang disampaikan oleh para peserta tender mempunyai kemiripan dalam huruf, angka, halaman dan dikirim melalui pos yang sama, bahkan mempunyai kesalahan yang sama. Ini menunjukan kemungkina hanya satu peserta tender saja yang mengerjakan semuanya.

- Perusahaan peserta tender sebenarnya kepemilikannya berada di tangan satu orang saja atau ada hubungan keluarga.

- Para peserta tender sebelumnya sudah bertemu (saling kenal?) untuk mendiskusikan harga penawaran dapat dilihat dari berkas penawaran bahwa harga penawaran mereka tidak jauh berbeda, baik dalam total maupun cost/unit.

- Beberapa pejabat atau panitia tender terlihat menjadi vokal dan aktif untuk memenangkan salah satu peserta.

- Panitia mengenakan persyaratan yang banyak, berat dan jangka penyerahan penawaran sangat singkat sehingga kemungkinan hanya satu atau beberapa perusahaan saja yang bisa ikut.

Kedua, akuntan membuktikan kemahalan harga akibat tender kolutif adalah kasus korupsi.
Tim Kajian Hukum BPKP dalam “Tinjauan Yuridis Kemahalan Harga sebagai Akibat Perbuatan Melawan Hukum” mengatakan secara kasat mata, auditor mungkin dapat mengetahui kemahalan harga, namun untuk menjadikan kasus kemahalan harga sebagai temuan yang dapat ditindak lanjuti bukan hal yang mudah. Auditor harus dapat membuktikan bahwa penyimpangan yang terjadi sebagai perbuatan melawan hukum, sekaligus memperoleh harga satuan yang dapat dijadikan sebagai harga pembanding yang valid yang dapat menyakinkan penuntut umum dan hakim.

Penutup

KPPU pun tampaknya menyadari pentingnya peranan akuntan, apalagi hampir 90 persen kasus yang ditangani adalah menyangkut proses tender/penunjukan langsung. Kebutuhan akan akuntan diakomodasi sehingga untuk periode 2005-2009 anggota KPPU ada yang berasal dari profesi akuntan.
Di kemudian hari pun nampaknya kehadiran akuntan akan semakin diperlukan oleh KPPU dalam menangani kasus-kasus persaingan usaha selain masalah tender.
Umpamanya dalam kasus divestasi saham PT. Indosat. Sebenarnya akuntan dapat berperan banyak untuk mencegah akuisisi yang dilakukan PT. Temasek terhadap Indosat. Saat itu PT. Temasek memakai SPV/SPE Indonesian Communication Limited. Terbukti sekarang membawa masalah. Menurut KPPU dan pengadilan negeri, Temasek melalui kepemilikan silang di PT. Telkomsel dan PT. Indosat dinyatakan bersalah melakukan price leadership dan harus melepaskan salah satu kepemilikannya.

Kemudian di negara-negara maju, mereka mempunyai aturan pre merger dan akuisisi. KPPU negara-negara maju harus memutuskan apakah perusahaan boleh melakukan merger atau akuisisi. Jika tidak menyebabkan persaingan tidak sehat maka merger atau akuisisi disetujui. Peran akuntan di sini dibutuhkan. Mungkin kantor akuntan publik dapat memberikan jasa konsultasi dalam bidang ini. Lebih menarik, saya kira, dibandingkan “jasa audit laporan keuangan” yang semakin hari antara KAP-KAP satu dengan yang lain terjadi predatory pricing (perang tarif).




Oleh :
Johanes Wardy Sitinjak
The Tracer (http://signnet.blogspot.com/)

Tidak ada komentar: