Minggu, Oktober 12, 2008

Krisis Keuangan, Buy Back Saham BUMN & Nasib Investor


Runtuhnya wall street pada beberapa hari yang lalu membawa dampak ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Seperti biasa, pemerintah termasuk presiden berusaha menenangkan masyarakat agar tidak panik. Seperti biasa pula, justru pemerintah yang terlihat panik. Selain, rapat dadakan secara marathon, saya juga mencatat beberapa komentar yang dilontarkan yaitu di sini, sini dan sini juga. Bahkan Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali ditutup pada hari Kamis 9 Oktober 2008, setelah hari sebelumnya BEI ditutup pada sesi II.

Salah satu bukti kepanikan dari pemerintah menurut saya adalah masalah buy back saham BUMN ? Mengapa begitu?
Di sini bukan berarti saya tidak setuju dengan program buy back saham BUMN. Namun sekali lagi saya tidak melihat kesesuaian antara ucapan dan tindakan pemerintah. Berikut alasan-alasannya.
Pertama, kalangan nasionalis berpendapat saat yang tepat untuk membeli kembali saham-saham BUMN karena harganya murah. Saya setuju, namun sekali lagi apakah semua BUMN yang sudah go publik semuanya dibeli kembali ?
Sebelumnya, saya hendak tunjukan dalam Undang–Undang No. 19 tahun 2003 tentang BUMN pasal 74 (selanjutnya disebut: Undang-undang BUMN atau UU BUMN) yang dalam ayat 1, dikatakan privatisasi dilakukan dengan maksud untuk :
a. Memperluas kepemilikan masyarakat atas persero;
b. Meningkatkan efisiensi dan produktifitas perusahaan;
c. Menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat;
d. Menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif;
e. Menciptakan persero yang berdaya saing dan berorientasi global;
f. Menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro dan kapasitas pasar.
Dengan demikian program buy back menunjukkan pemerintah sendiri yang melanggar aturan yang telah dibuat pemerintah dan disetujui oleh DPR.

Jikalau pemerintah benar-benar memaksakan buy back, menurut saya buy back saham BUMN cukup dilakukan untuk BUMN-BUMN yang penjualannya saat itu sarat dengan praktek KKN sehingga dijual murah. Untuk BUMN-BUMN yang prosesnya sudah transparan dan sesuai dengan prosedur saya rasa tidak usah di buy-back kembali. Kemudian BUMN-BUMN yang mempunyai pengaruh langsung dan significant terhadap kepentingan dan kebutuhan publik saya juga setuju untuk di buy back.

Kedua, karena dananya diambil dari APBN, tentu harga saham BUMN yang akan di-buy back harus serendah mungkin. Pemerintah/BUMN harus bijaksana menunggu saat yang tepat. Jangan sampai misalnya harga buy back BUMN tertentu yang dilakukan pemerintah sebesar Rp. 3.000 ternyata trend global pasar bursa saat itu masih memburuk (bearish) menyebabkan harga bursa jatuh ke Rp. 2.000 bahkan lebih dalam lagi jatuhnya.

Namun, anehnya BEI kembali menutup perdagangan saham pada Jumat, 10 Oktober 2008 dengan alasan situasi di dunia masih buruk dan akan buka kembali Senin, 13 Oktober 2008. Anda melihat anehnya?
Jika pemerintah konsekwen dengan program buy back, seharusnya BEI tetap buka, biarkan harga-harga saham berjatuhan karena bursa saham di seluruh dunia juga berjatuhan. Jatuhnya harga saham, terutama saham BUMN seharusnya menguntungkan jika pemerintah benar-benar berniat melakukan buy back saham BUMN karena harga saham BUMN tersebut menjadi lebih murah. Semakin jatuh bursa saham semakin murah harga saham BUMN !!! Lalu mengapa ditutup ? Silakan para pembaca menebaknya. Tentu ada pihak-pihak yang tidak suka akan jatuhnya bursa karena merugikan mereka-mereka ini.
(update : BEI, Senin 13 Oktober 2008 mengeluarkan aturan yang isinya antara lain saham yang naik atau turun lebih dari 10% akan langsung dikenakan suspensi dari semula batasnya 30%. Ini artinya buy back tidak akan mendapatkan harga yang termurah)

Ketiga, kalau tujuan buy back saham BUMN ini untuk menahan kejatuhan BEI. Tidak mungkin, karena pengaruh saham-saham BUMN kecil dibandingkan dengan jumlah nilai kesuluruhan saham di BEI. Kalau ini yang menjadi tujuan buy back, saya tidak setuju. Lebih baik uang itu dipergunakan untuk hal-hal yang lain yang lebih berguna untuk mencegah situasi perekonomian menjadi lebih buruk. Prepare the worst, hope the best.

Dampak kepada Investor
Jatuhnya bursa jelas berdampak kepada para investor. Namun di sini kedewasaan/maturity investor harus nampak. Bukankah sebelum masuk ke bursa mereka sudah mengetahui resiko yang dihadapi. High Risk High Return, pedoman itu yang harus dilakoni para investor. Menghadapi kejatuhan bursa, investor jangan panik.

Menurut saya dampak kejatuhan bursa tergantung dari tipe investor. Untuk investor jangka panjang (5-10 tahun), kejatuhan bursa hanyalah potential loss. Kerugian hanya di atas kertas, yang tadinya nilai total sahamnya 50 juta misalnya turun di atas kertas menjadi 35 juta, potensi rugi 15 juta. Jika investor jangka panjang ini panik dan menjual sahamnya maka kerugian 15 juta menjadi nyata. Jika tidak menjual, masih ada harapan dalam 5-10 tahun kedepan, bursa kembali membaik dan harga saham kembali ke normal bahkan lebih tinggi lagi. Selama menunggu tersebut, jika perusahaan yang sahamnya dimiliki memang kinerjanya baik, selam 5-10 tahun , investor itu masih mendapatkan dividen.

Bagi investor jangka pendek, strategi yang dijalankan menurut saya ada dua. Pertama, jika masih memiliki dana yang cukup. Jangan jual saham-saham tersebut, tetapi biarkan saham-saham berjatuhan sampai saat tertentu, yaitu saat trend global sudah membaik, dan harga saham sudah pada titik terendah, dengan dana yang masih ada investor itu membeli saham-saham lain atau saham yang sama dengan harga murah. Nanti, seiring dengan membaiknya situasi global harga saham akan naik kembali. Dengan demikian potential loss saham lama akan di-offset dengan potensial profit saham baru. Bahkan jika semakin baik lagi harga kembali ke normal maka potential profit akan diraih semakin besar.

Illustrasinya sebagai berikut :
Sebelum bursa jatuh ;
Saham yang dimiliki : saham PT. X nilai Rp. 5.000/lembar. Jumlah saham yang dimiliki 10.000 lembar. Total investasi Rp. 50 juta

Bursa jatuh, misal jatuh 30% (update : sejak senin, 13 oktober 2008 penurunan saham max 10 % saja, sebelumnya boleh sampai 30%)
Total investasi sebelumnya PT X 50 juta. Potential loss 30% x 50 juta = 15 juta.
Dengan dana yang dimiliki membeli saham baru sebesar Rp. 3.500 sebanyak 10.000 lembar.
Total investasi kotor 50 juta + 35 juta = 85 juta. Potential loss = 15 juta.

Bursa membaik, misal harga saham menjadi 4000/lembar
Potential loss ( Rp. 5.000 –Rp. 4.000) x 10.000 lembar = 10.000.000
Potential profit (Rp. 4.000-Rp.3.500) x 10.000 lembar = 5.000.000
Total net potential loss Rp. 5.000.000 (semakin kecil potential loss-nya)

Bursa kembali ke normal (harga Rp. 5.000/lembar)
Potential profit (Rp. 5.000 – Rp. 3.500) x 10.000 lembar = 15.000.000

Jika investor jangka pendek tersebut tidak mempunyai uang/dana lagi. Pilihan segera menjual memang lebih baik daripada menahan sampai dengan bursa kembali normal.

Ilustrasinya sebagai berikut :
Sebelum bursa jatuh
Investor memiliki investasi sebesar Rp. 50 juta yg terdiri dari 10 Rb saham PT. X dengan nominal 5 rb/lembar.

Bursa jatuh , pada penutupan saham PT. X menjadi Rp. 3500 lembar.
Investor segera menjual dan beruntung misalnya dapat menjual di harga 4.000 lembar.
Loss yang dialami (5.000 – 4.000) x 10 rb lembar = 10 juta rupiah.
Dana yang dimiliki Rp. 4000 x 10 Rb lembar = 40 juta. Rupiah.

Bursa makin jatuh, misal menjadi Rp. 2.000/saham (agar perhitungan mudah)
Investor kembali membeli saham PT. X dengan dana 40 juta yang dimiliki mendapat 20 Ribu saham.

Bursa membaik, harga saham PT. X menjadi Rp. 3.000/saham
Potential profit (3.000 – 2.000) x 20 rb saham = Rp. 20. juta
Jika investor menjual semuanya: net profit Rp. 20 juta – Rp. 10 juta (loss saat bursa jatuh) atau net profit sebesar Rp. 10 juta.
Profit ini akan semakin besar lagi jika bursa cepat kembali ke normal.

Oleh :

Johanes Wardy Sitinjak

2 komentar:

speculator's god mengatakan...

nice, i enjoys your writing.

Anonim mengatakan...

thanks. Trader's god, sharing ilmu-nya donk. Kita juga mau untung gede nih dari gejolak bursa...hehehe..