Rabu, Oktober 15, 2008

Membandingkan Karakteristik Koruptor di AS & Indonesia


















Tertangkapnya salah satu anggota KPPU oleh KPK membuat saya terpukul juga. Harapan saya agar ada satu saja lembaga negara yang bersih dari korupsi di Indonesia hancur sudah. Anggota KPPU itu benar-benar telah merusak nama baik KPPU yang telah dicapai selama ini. Masih segar di ingatan saya, di awal perjalanannya keputusan KPPU selalu kalah di pengadilan. Namun, hal itu tidak mengecilkan dan mengendurkan semangat para pimpinan KPPU terdahulu untuk terus berupaya meningkatkan kinerja KPPU. Sejak keputusan KPPU mengenai carrefour dan penjualan Indosat, akhirnya publik mengenal KPPU sebagai lembaga punya nama baik. Namun semuanya itu telah dirusak justru oleh salah satu pimpinannya.

Assosiation Certified Fraud Examiner (ACFE) dalam Report ACFE to the Nation on Occupational Fraud and Abuse tahun 2004, 2006, 2008 yang mengatakan “Occupational Fraudsters are generally first-time offenders”. Karakteristik pelaku fraud umumnya adalah orang yang pertama kali melakukan. Hanya 7 persen dari para pelaku dalam laporan ini pernah mendapat hukuman dan 12 persen yang dipecat akibat melakukan fraud. Dengan fakta ini sebenar kita tidak perlu menpertanyakan mengapa seorang anggota KPPU, yang dulunya aktivis dan ahli koperasi akhirnya menerima suap atau seorang gubernur BI yang telah menerima penghargaan internasional akhirnya ditangkap KPK karena menyetujui dana BI untuk menyuap para anggota DPR.

Laporan ACFE ini didasarkan dari 959 kasus yang terjadi baik pada perusahan perorangan, publik, organisasi dan pemerintah. Data-data tersebut dikumpulkan oleh sejak Januari 2006 sampai dengan Februari 2008 oleh para CFE yang menangani kasus tersebut. Walaupun keseluruhan kasus tersebut terjadi di Amerika, namun menarik untuk membandingkan temuan karateristik para pelaku fraud di Amerika dengan para pelaku korupsi di Indonesia. Selain karekteristik para pelaku umumnya pertama kali melakukan/tidak pernah melakukan kejahatan sebelumnya, berikut adalah karekteristik lainnya.

Pertama, pelaku fraud bisa perorangan ataupun berjamaah/bersama. Di Amerika, jumlah kejadian fraud yang dilakukan oleh perorangan dua kali lebih banyak dari pelaku fraud berjamaah. Namun, besarnya kerugian yang dilakukan oleh pelaku fraud berjamaah empat kali lebih besar. Di Indonesia karena kasus korupsi umumnya adalah penyuapan, mark-up harga pengadaan barang, para pelaku lebih dari satu/berjamaah. Kasus dana aliran BI, Kasus Al-Amin dalam pengalihan fungsi hutan, Kasus Bulyan Ruyan dalam pengadaan kapal. Trend di Indonesia pelaku korupsi adalah penyuap-yang disuap, pejabat dan panitia pengadaan- rekanan- broker/calo pengadaan barang.

Kedua, umur pelaku. Dilihat dari jumlah kejadiannya, pelaku fraud umumnya berumur 41-50 tahun, sebesar 35,5% dari total. Kemudian pelaku fraud kelompok berumur 51-60 tahun, sebesar 18,9%, kelompok 36-40, sebesar 16,2%, kelompok 30 – 35 sebesar 12,8 %., sementara kelompok di atas 60 tahun sebesar 3,9%. Namun jika dilihat dari besarnya kerugian maka kelompok 51-60 tahun di posisi teratas, diikuti dengan kelompok di atas 60 tahun, kelompok 41-50, kelompok 36-40 dan kelompok 30-35. Di Indonesia pun dari karekteristik dari segi umur tidak jauh beda. Yang menarik adalah kelompok umur di atas 60 tahun. Mungkin para pelaku melakukan korupsi untuk persiapan masa pension nanti. Dengan melihat jumlah kerugian yang besar, rasa tepat untuk tidak memperpanjang usia pension, seperti dalam kasus RUU MA baru-baru ini.

Ketiga, posisi jabatan pelaku. Korupsi banyak dilakukan oleh pelaku yang memegang posisi manajer sampai executive sebesar 74,4%. Korupsi adalah kejahatan kerah putih. Gubernur BI, Menteri, Kepala Daerah, Direktur BUMN, Mantan Duta Besar, Pejabat Anggota DPR yang ditahan KPK adalah bukti kuat bahwa pelaku korupsi di Indonesia memegang jabatan/posisi tinggi, dipercaya dan terhormat.

Keempat, tempat kerja pelaku fraud. Bidang/tempat pelaku fraud yang menimbulkan kerugian besar adalah bagian legal, executive/direktur dan bagian pembelian. Berbagai survey di Indonesia memang menunjukan instansi pemerintah/lembaga dalam bidang yudikatif dan penegakan hukum seperti MA, Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian adalah lembaga terkorup. Kasus-kasus korupsi di Indonesia sebagian besar adalah mark-up harga pengadaan barang dan jasa.

Kelima, red flags (gejala/indicator awal) pelaku melakukan korupsi. Red flags yang utama dalam report ini adalah gaya hidup yang melebihi tingkat penghasilan menempati posisi pertama, yaitu sebesar 39,2%. Kemudian hubungan yang erat/istemewa dengan supplier/klien/customer 34,6%, dilanjutkan dengan perilaku wheeler-dealer sebesar 34,2% dan kesulitan keuangan sebesar 27,9%.
Kesemua red flags itu juga ada dalam para pelaku korupsi di Indonesia. Namun sebagai catatan tersendiri adalah masalah gaya hidup yang melebihi penghasilannya ini tidak pernah menjadi masalah yang utama sebagai dasar pemberantasan korupsi. Kita lihat hampir semua pegawai/pejabat pemerintah di lingkungan yang “basah”/elit politik/perwira tinggi militer mempunyai harta kekayaan yang melebihi penghasilan resminya. Hal ini seolah-olah dibiarkan saja. Bahkan aturan tentang pengumuman harta kekayaan penyelenggara negara yang dilakukan KPK pun mereka pertanyakan. Pantas saja RUU tentang pembalikan beban pembuktian dan penyitaan asset hasil kejahatan mandek di DPR.

Oleh :
Johanes Wardy Sitinjak


Sumber gambar : Majalah Warta Pengawasan.

Tidak ada komentar: