Rabu, September 24, 2008

Privatisasi Menguntungkan Publik ?

I believe in privatization (selling off, say, government monopolies to private companies), but only if it helps companies become more efficient and lower prices for consumers.
(Joseph E. Stiglitz, 2002)


Berbagai pertanyaan lama kembali datang silih berganti di pikiran saya saat membaca rencana pemerintah untuk melakukan privatisasi.

Pertama, mengapa BUMN diprivatisasi (dijual)?
Sudah menjadi rahasia umum kalau kondisi kinerja keuangan kebanyakan BUMN terus merugi. Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) menunjukkan bahwa pada tahun 1993 total aset dari 300 aset perusahaan raksasa/konglomerat adalah Rp227 triliun dan memiliki omzet Rp144,44 triliun atau 63,61% dari omzet. Pada tahun yang sama BUMN memiliki total aset Rp.267 triliun, namun hanya memiliki omzet Rp.82 triliun saja atau 31,71% saja. Dua tahun berikutnya 1995, 300 konglomerat Indonesia dengan total aset Rp343 triliun dan omzet Rp150 triliun atau 43,73%. Pada tahun yang sama, total aset BUMN adalah Rp291 triliun, namun omzet hanya Rp100 triliun atau sebesar 34,48%. Jadi, secara relative pun kinerja BUMN pada saat itu kalah dibandingkan swasta. Ini merupakan indikator tidak efisiennya proses bisnis di BUMN.

Indikator lainnya adalah rendahnya tingkat Retun on Investment (ROI )dan Return on Equity (ROE). Rata-rata ROI dan ROE relatif rendah 3,5% dan 9,6%. Keduanya jauh dibawah tingkat pengeluaran modal yang normal sebesar 14%. Kondisi BUMN seperti ini mengalami asset value destruction, menghancurkan nilai asetnya sendiri.

Atas fakta di atas pihak yang pro privatisasi menggunakan azas manfaat dibandingkan asas kepemilikan. Artinya pemerintah masih mendapatkan manfaat tanpa harus memiliki. Demikian juga pemerintah luput dari beban jika BUMN rugi. Sayangnya pihak yang pro privatisasi tidak menjelaskan mana yang lebih besar keuntungan yang diperoleh jika pemerintah tetap memiliki BUMN dan mengelola secara professional sehingga efisien dan menguntungkan atau menyerahkan kepada pihak swasta/asing dengan menjualnya. Kita dapat melihat contoh Temasek, BUMN milik negara Singapura.

Pertanyaan kedua, apakah privatisasi satu-satunya jalan untuk membuat BUMN efisien dan menguntungkan ?
Tantri Abeng semasa menjadi Meneg BUMN mengusulkan reformasi BUMN dapat melalui tiga tahapan :
Restrukturisasi atau peningkatan posisi kompetitif perusahaan melalui focus bisnis, perbaikan skala usaha dan penciptaan core competence,

Profitisasi, yaitu peningkatan secara agresif efisiensi perusahaaan sehingga mencapai profitabilitas dan nilai perusahaan yang optimum,

Privatisasi, peningkatan penyebaran kepemilikan kepada masyarakat umum dan swasta asing maupun domestik untuk akses pendanaan, pasar, teknologi serta kapabilitas untuk bersaing ditingkat dunia (menjadi world class company).

Sayangnya, saya tidak dapat data-datanya, bagaimana hasil dari ketiga langkah ini. Jika langkah restrukturisasi dan profitisasi ini berhasil, apa masih perlu privatisasi? Jika BUMN itu telah profit dan efisien bukankah lebih baik tetap dimiliki oleh pemerintah.

Pertanyaan ketiga, apakah semua BUMN harus diprivatisasi?
BUMN yang akan diprivatisasi itu, BUMN yang mana? Apakah yang merugi terus atau BUMN yang sehat dan menguntungkan.
Ternyata dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 Pasal 76 disebutkan bahwa kriteria BUMN yang dapat diprivatisasi sekurang-kurangnya adalah industri/sektor usaha kompetitif atau industri/sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah.

Terus terang saya bingung dengan dua kriteria ini yang saling bertolak belakang.
Industri/sektor usaha kompetitif menurut saya sektor usaha yang struktur pasarnya mendekati persaingan sempurna dimana entry barrier dan exit barriernya rendah. Artinya para pemain baru tidak mempunyai hambatan masuk yang berarti untuk ikut dalam pasar. Dengan demikian mereka akan mempertimbangkan cost and benefit apakah masuk dengan perusahaan benar-benar baru atau membeli BUMN. Mungkin mereka mau membeli BUMN yang kinerja baik. Sebaliknya mereka lebih baik masuk dengan perusahaan yang baru dibandingkan membeli BUMN yang kinerjanya buruk atau mereka mau membeli BUMN jelek itu asal dengan harga yang murah sekali.
Jka dalam sektor yang kompetitif ini BUMN dapat efisien dan menguntungkan, buat apa lagi diprivatisasi ?

Sementara itu industri yang unsur teknologinya cepat berubah berarti entry barrier dan exit barrier-nya yang tinggi berupa kebutuhan akan besarnya modal dan teknologi canggih. Pihak asing lebih diuntungkan karena mereka mempunyai keduanya, modal besar dan teknologi maju. Sektor ini umumnya membentuk struktur pasar yang monopoli alamiah. Dengan struktur pasar yang monopoli alamiah, hanya sedikit pihak yang bisa bermain di dalamnya, dengan begitu menjadi pasar penjual dimana penjual lebih bisa menentukan harga. Jika tidak diatur secara ketat maka pihak asing akan merajai atau memonopoli sektor ini yang ujung-ujungnya akan seenaknya menaikan harga jual produknya. Karena itu sudah seharusnya ada BUMN yang sehat, efisien dan menguntungkan di sektor ini sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Selama 63 tahun merdeka, apakah di sektor ini ada BUMN yang efisien dan menguntungkan ? Jika tidak ada kebangetan!


Pertanyaan keempat, teori apakah yang menjadi dasar privatisasi ?
Tony Prasetiantono dalam artikel “Masa Depan BUMN dan Ambiguitas Privatisasi” mengatakan bahwa Privatisasi banyak dilakukan dengan memakai landasan teori sebagai berikut :

Teori Monopoli
Secara sederhana dikatakan bahwa BUMN dalam banyak kasus sering menerima privilege monopoli. Akibatnya, mereka sering terjerumus menjadi tidak efisien karena hak istimewa ini.

Teori Property Rights
Essensinya, perusahaan swasta dimiliki individu-individu, yang bebas untuk menggunakan, mengelola dan memberdayakan aset-aset privatnya . Konsekuensinya, mereka akan mendorong habis-habisan usahanya agar efisien. Property rights swasta telah menciptakan insentif bagi terciptanya efisiensi perusahaan. Sebaliknya, BUMN tidak dimiliki oleh individual, tetapi oleh “negara”. Dalam realitas, pengertian negara menjadi kabur dan tidak jelas. Jadi seolah-olah mereka justru seperti “tanpa pemilik”. Akibatnya jelas, manajemen BUMN menjadi kekurangan insentif untuk mendorong efisiensi (lihat misalnya, Hanke 1987)

Teori Principal-Agent
Dalam teori ini diungkapkan bagaimana peta hubungan antara principal (pemilik perusahaan, dalam hal BUMN adalah pemerintah) dan agent (perusahaan, BUMN). Di sektor swasta, manajemen perusahaan (sebagai agen) sudah jelas tunduk dan loyal kepada pemilik atau pemegang saham (shareholder). Upaya untuk menghilangkan intervensi politik atau pihak birokrat dalam pengelolaan BUMN ini ditempuh dengan konsep stakeholder economy, yakni perusahaan harus memiliki tanggungjawab (responsibility) terhadap sejumlah pihak terkait (stakeholder) yakni, karyawan, kreditor, masyarakat dan seterusnya.
Untuk menunjang pencapaian itu, maka didoronglah konsep corporate governance, yang intinya adalah bagaimana hubungan antara dewan pengawas (komisaris), manajemen eksekutif (direksi) dan pemilik dalam menentukan arah dan kinerja perusahaan.

Pertanyaan kelima, privatisasi melalui IPO atau Strategic Partner ?
Privatisasi melalui IPO (Initial Public Offering) yaitu privatisasi melalui penjualan saham di pasar modal. Sedangkan privatisasi melalui strategic partner/private placement yaitu penjualan saham kepada investor yang berkompeten dibidang usaha yang bersangkutan melalui block sale atau penjualan secara utuh misal 51 % saham pemerintah. Fakta yang ada sekarang ini, baik IPO maupun Strategic Partner, mayoritas saham BUMN yang telah diprivatisasi, kepemilikannya ada ditangan asing.

Privatisasi melalui IPO karena lebih transparan tidak menimbulkan resistensi. Sedangkan divestasi saham BUMN ke Strategic Partner apalagi kepada pihak asing menimbulkan resistensi kuat walaupun harga jualnya lebih tinggi dari harga saham di pasar modal. Hipotesis bahwa Strategic Partner otomatis akan membawa teknologi dan pengetahuan belum tentu benar. (Tony Prasetiantono, Workshop tentang BUMN, 2003)

Pertanyaan terakhir apakah privatisasi menguntungkan publik ?
Perkataan Stiglitz di awal tulisan ini, bahwa ia mendukung privatisasi jika hanya itu akan membuat BUMN semakin efisien dengan demikan dapa menawarkan harga yang lebih murah dari sebelumnnya.
Berbeda dengan umumnya privatisasi di Indonesia, biasanya tidak lama setelah privatisasi harga produk itu akan naik. Tentu saja ini adalah akal-akalan bagi pembeli BUMN (terutama strategic partner/private placement) agar modalnya cepat kembali dan selanjutnya meraih keuntungan besar. Kita lihat privatisasi PAM Jaya misalnya harganya naik terus, tetapi kualitas air dan kelancaran airnya tidak jauh beda dengan sebelum diprivatisasi.

Sebaliknya lihat sektor pengangkutan udara, pemerintah justru melakukan tidak memprivatisasi Garuda melainkan dengan membuka sektor ini dengan menghilangkan barrier to entry sehingga swasta dapat masuk. Hasilnya ternyata dari segi konsumen menguntungkan karena untuk sekarang ini harga yang ditawarkan armada flight swasta jauh lebih murah dibandingkan maskapai milik BUMN (Garuda).

Atau dalam sektor media elektronik, pemerintah tidak memprivatisasi TVRI tetapi membuka sektor ini dengan menghilangkan barrier to entry sehingga swasta dapat masuk membuat TV Swasta. Hasilnya konsumen/publik tidak perlu lagi membayar iuran TV seperti dulu ketika hanya TVRI saja. Namun, sekarang ini, beberapa acara favorit dimonopoli hak siarnya oleh pihak tertentu sehingga publik harus kembali membayar biaya langganan. Contohnya siaran Liga Inggris yang hak siarannya secara eklusif ada pada Astro. Hal ini justru menjadi ladang korupsi baru dengan tertangkapnya seorang anggota KPPU oleh KPK.


Oleh :
Johanes Wardy Sitinjak

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Wah, pembahasannya membantu pak,,, terimakasih ^_^