*) telah diterbitkan harian kontan, 25 Juli 2008
Keberhasilan KPK, khususnya, mengungkapkan berbagai skandal di DPR merupakan bukti yang tak terbantahkan terhadap apa yang pernah disebutkan dalam survey Transparency International Indonesia (TII). Survey tersebut menempatkan DPR sebagai salah satu lembaga yang terkorup. Sebelumnya hasil survey ini sempat dipertanyakan oleh Ketua DPR Agung Laksono.
Semakin banyaknya anggota DPR yang ditangkap KPK tentunya membuat prihatin publik terhadap kinerja anggota DPR ini. Melihat kekuasaan yang begitu besar yang dipunyai anggota DPR yaitu kekuasaan melaksanakan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, kemungkinan masih banyak lagi anggota DPR yang melakukan hal tercela namun belum tertangkap. Apalagi sebentar lagi akan ada pemilu sehingga besar kemungkinan para anggota DPR ini akan mencari dana buat pencalonan dirinya di pemilu mendatang. Apakah hal ini membuat KPK ingin ikut serta dalam rapat pembahasan penyusunan anggaran tahun 2009 ? Mengapa KPK ingin ikut terlibat dalam rapat anggaran?
Semakin banyaknya anggota DPR yang ditangkap KPK tentunya membuat prihatin publik terhadap kinerja anggota DPR ini. Melihat kekuasaan yang begitu besar yang dipunyai anggota DPR yaitu kekuasaan melaksanakan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, kemungkinan masih banyak lagi anggota DPR yang melakukan hal tercela namun belum tertangkap. Apalagi sebentar lagi akan ada pemilu sehingga besar kemungkinan para anggota DPR ini akan mencari dana buat pencalonan dirinya di pemilu mendatang. Apakah hal ini membuat KPK ingin ikut serta dalam rapat pembahasan penyusunan anggaran tahun 2009 ? Mengapa KPK ingin ikut terlibat dalam rapat anggaran?
Teori Pilihan Publik dan Jebakan Anggaran
Prof. Dr. Didik J Rachbini dalam bukunya “Teori bandit” mengatakan jebakan anggaran pertama kali terjadi pada “pasar gelap” diantara pembahasan APBN, baik di birokrasi maupun di DPR. Pasar gelap ini tumbuh sangat subur di dalam berbagai pertemuan pengambilan keputusan anggaran yang melibatkan baik DPR, pemerintah, maupun kelompok kepentingan yang ikut menempel sebagai pemburu rente ekonomi.
Didik J. Rachbini menjelaskan terjadinya “pasar gelap” ini dengan menggunakan teori pilihan publik. Teori ini menganalisis perilaku aktor politik di pasar politik.
Kebijakan anggaran atau APBN adalah komoditas publik yang terdapat dalam pasar politik. Komoditas ini adalah kebijakan publik, yang menjadi titik temu antara masyarakat sebagai pemilih (voters), pemerintah dan politisi yang memenangkan pemilu sehingga duduk di parlemen.
Sayangnya, menurut teori pilihan publik, pemerintah dan politisi akan membuat pilihan yang cenderung menghasilkan inefisiensi. Proses di pasar politik ini dipandang sebagai perilaku individu bukan perilaku kolektif sehingga hasil yang diperoleh dalam pasar politik bukan pertemuan antara kepentingan para pelaku. Akibatnya banyak pasar politik gelap yang tidak transparan yang terjadi. Tindakan dan perilaku dipasar gelap tersebut berujung pada kebijakan publik yang sering kali tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat pada umumnya
Alasan inilah mungkin yang membuat KPK ingin ikut dalam rapat anggaran antara DPR dan pemerintah. Namun apakah ini merupakan strategi yang tepat dan efektif ?
Menurut saya KPK tidak perlu ikut dalam rapat anggaran antara DPR dan pemerintah karena pertama, banyak deal-deal antara pemerintah dan DPR justru tidak dilakukan di ruang sidang komisi DPR tetapi justru ditempat lain-lain di luar gedung DPR misal di hotel atau mal seperti ketika KPK saat menangkap Al Amin atau Bulyan. Suatu ketika penulis pernah berjumpa beberapa kali dengan beberapa anggota DPR di hotel-hotel yang berbeda. Nampak sekali terlihat kikuk wajahnya anggota DPR itu berjumpa dengan penulis karena bisa ditebak dengan siapa ia bertemu. Pasti bukan dengan para famili dan keluarga. Karena itu perlu ada aturan yang tegas agar para anggota DPR dilarang berjumpa dengan mitra kerjanya di luar gedung DPR.
Kedua, kehadiran KPK justru merugikan KPK sendiri jika dikemudian hari baik BPK atau KPK sendiri menemukan penyimpangan pelaksanaan anggaran departemen/lembaga tertentu. Nantinya, baik DPR dan pemerintah dapat berdalih “lho dulu ada KPK dalam rapat pembahasan penyusunan anggaran, mengapa sekarang disalahkan BPK atau KPK sendiri. Kalau ada yang salah seharusnya KPK ( yang hadir saat itu) memberitahu kesalahan yang ada.”
Kelemahan APBN
Menurut saya lebih baik KPK mendorong perbaikan kelemahan APBN yang tentu sudah ditemukan berulang kali dalam berbagai audit rutin yang dilakukan BPK/BPKP selama ini yaitu :
Pertama, praktek mark-up dalam penyusunan anggaran departemen. Praktek Mark-up yang sangat besar ini biasanya nanti digunakan rekanan untuk membayar suap, komisi, succes fee atau uang terima kasih seperti yang dilakukan rekanan pengadaan kapal Departemen Perhubungan untuk membayar sejumlah uang yang dikatakan Bulyan Ruyan sebagai uang succes fee atau uang terima kasih.
Menurut saya lebih baik KPK mendorong perbaikan kelemahan APBN yang tentu sudah ditemukan berulang kali dalam berbagai audit rutin yang dilakukan BPK/BPKP selama ini yaitu :
Pertama, praktek mark-up dalam penyusunan anggaran departemen. Praktek Mark-up yang sangat besar ini biasanya nanti digunakan rekanan untuk membayar suap, komisi, succes fee atau uang terima kasih seperti yang dilakukan rekanan pengadaan kapal Departemen Perhubungan untuk membayar sejumlah uang yang dikatakan Bulyan Ruyan sebagai uang succes fee atau uang terima kasih.
Iman Sugema, pengamat ekonomi mengatakan pengajuan anggaran oleh kementerian/lembaga pemerintah dalam Daftar Isian Pelaksanaan anggaran (DIPA) 2004 hingga 2006 terindikasi penggelembungan (mark up) sebesar 200 hingga 300 persen. . Sampel itu diambil dari setiap kementerian/lembaga. Tapi, angka yang dikajinya bukan merupakan realisasi anggaran melainkan usulan biaya. Penggelembungan (mark up) itu diketahui setelah membandingkan angka yang diusulkan dengan harga di pasar. Jadi sebenarnya praktek mark-up terjadi karena perencanaan yang korup. Salah satu “biang kerok” perencanaan korup adalah penentuan harga standar barang tidak tepat jauh di atas harga pasar. KPK harus masuk meneliti penentuan harga standar barang. Dengan demikian ungkapan miring berikut ini dimana dikatakan “pemerintah kalau membeli pasti mahal semahal-mahalnya, sebaliknya kalau menjual pasti murah semurah-murahnya” dapat diperbaiki secepatnya oleh KPK.
Kedua, kelemahan pelaksanaan APBN. Terdapat banyak kelemahan pelaksanaan APBN karena terkait dengan birokrasi. Namun dalam artikel ini, saya hanya menyebutkan salah satunya yaitu keterlambatan turunnya DIPA. Lambatnya turunnya DIPA menyebabkan implementasi program dan penyerapan anggaran sangat rendah pada semester pertama, bahkan di tahun 2005 hanya sekitar dibawah 20%. Sisa anggaran APBN yang masih besar terkesan terpaksa dihabiskan mulai November s.d akhir tahun anggaran berikutnya. Kebiasaan menghabiskan anggaran ini terjadi berulang kali di semua departemen. Ironisnya, departemen yang mengembalikan sisa anggarannya karena sering dianggap departemen yang tidak mampu mencapai target yang ditetapkan sehingga akhirnya semakin membuat departemen berlomba-lomba menghabiskan anggaran baik melalui praktek mark-up maupun program-progam yang diadakan bukan karena kebutuhan.
Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara.
Selain memperbaiki dua kelemahan utama APBN, KPK sendiri harus memaksimalkan kewenangan yang dimiliki yaitu pemeriksaan Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara. Belum pernah ada sanksi yang dikenakan kepada para penyelenggara negara yang belum/tidak menyampaikan ataupun yang tidak lengkap atau tidak benar. Justru di sinilah DPR terkesan lambat untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Kalau tidak salah RUU ini disampaikan KPK bersama PPATK yang intinya antara lain berisi memungkinkan dilakukannya perampasan atau penyitaan aset tanpa harus ada tersangka atau terdakwanya, memperluas aset-aset yang bisa disita dan mengatur pembalikan beban pembuktian secara lengkap. Dengan adanya payung hukum ini KPK akan lebih “bertaring” melaksanakan fungsi pemeriksaan Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara.
Untuk sementara ini mungkin KPK dapat memberikan opini seperti dalam laporan keuangan perusahaan (Unqualified, Qualified, Adverse, Disclaimer) tentu dengan beberapa modifikasi. Menurut saya hal ini perlu karena banyak anggota DPR yang akan mencalonkan kembali di pemilu 2009. Untuk itu masyarakat harus diberi informasi apakah wakil-wakil rakyat yang akan dipilih selama ini memang pantas dipilih kembali. Salah satunya melalui laporan kekayaan yang mereka sampaikan. Apakah pertambahan kekayaannya wajar dilihat dari gaji mereka dan penghasilan lainnya.
Oleh :
Johanes Wardy Sitinjak
The Tracer ( http ://signnet.blogspot.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar