Rabu, Juni 11, 2008

PPATK : THE TIGER WITHOUT CLAW

Saat pertama kali berjumpa tahun 2005, Kepala PPATK Yunus Husein mengeluh kepada saya bahwa komitmen pemerintah untuk mendukung PPATK baru level atas saja. Salah satu contohnya dari segi anggaran, Dirjen Anggaran mengatakan anggaran operasional PPATK sudah tersedia. Namun, untuk pencairannya, birokrasi di level bawah tidak jalan bila tidak ada “sesuatu”-nya. Baru-baru ini kembali Yunus Husein curhat ke detik.com bahwa lembaganya kurang dikenal sehingga Sudin Tatakota Pemprov DKI hampir menyegel kantornya.

Saya melihat kerisauan Kepala PPATK sebagai isyarat bahwa keberadaan PPATK sekarang ini masih kurang mendapat perhatian .
Pemerintah hanya peduli keberadaan PPATK untuk menghindari tekanan FATF. FATF adalah suatu badan khusus yang dibentuk tahun 1989 oleh kelompok tujuh negara (The Group Of Seven) untuk memerangi kejahatan pencucian uang di seluruh dunia.
Kita tentu belum lupa bahwa sebelumnya Indonesia pernah dimasukkan dalam daftar hitam Non Cooperative Countries and Territories (NCC’S) oleh FATF (Financial Action Task Force on Money Laundering). Setelah keluar dari NCC’S perhatian untuk semakin meningkatkan peran PPATK dirasakan setengah hati.

WEWENANG PPATK

Pada pasal 27 Undang - Undang No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.25 Tahun 2003 mengatur kewenangan PPATK sebagai berikut :
1.Meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan
2.Meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum
3.Melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan;
4.Memberikan pengecualian terhadap kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai oleh Penyedia Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b.

Sejak dari awal pembentukannya, peran PPATK dibatasi kewenangan sehingga hanya berfungsi sebagai administrasi dan supporting bagi institusi lain. Tidak ada kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap temuan PPATK. Dengan tidak adanya kewenangan ini bagaimana bisa mengharapakan peran PPATK dalam pemberantasan pencucian uang optimal ? Kalau kita bandingkan dengan kewenangan yang dimiliki oleh KPK dan KPPU, sangatlah wajar jika PPATK diberikan kewenangan tersebut. Baik KPK dan KPPU hanya menangani satu masalah saja. KPK fokus pada pemberantasan korupsi, sedangkan KPPU hanya menangani masalah persaingan usaha saja. Mengapa PPATK yang menangani anti pencucian uang tidak diberikan kewenangan menyelidiki dan menyidik? Kita tahu bahwa semua kejahatan ekonomi pada akhirnya akan menyembunyikan hasil kejahatannya (uang) secara rahasia agar suatu saat bisa digunakan kembali dengan aman. Dengan demikian PPATK menangani kejahatan yang merupakan hasil dari berbagai kejahatan awal (predicate crime). Mulai dari kejahatan korupsi, illegal logging, drugs, trafficking, smuggling, terorism, dan lain-lain.
Bahkan pada United Nation Congress on Prevention of Crime and Treatment of Offenders di Cairo 2000, pencucian uang dikategorikan kejahatan paling berbahaya dari 17 jenis kejahatan serius lainnya.

Perlunya penguatan wewenang PPATK juga diungkapkan dalam Laporan Tahunan 2007. Penguatan wewenang PPATK dilakukan dengan cara :“

Pertama, mengajukan RUU amandemen Undang - Undang No.15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). RUU amandemen UU TPPU diajukan sejak tahun 2004 namun sampai saat ini oleh DPR belum dijadwalkan kembali, walaupun menjadi prioritas di tahun 2005, 2006 dan 2007.

Kedua, PPATK bersama instansi terkait mengajukan RUU tentang Perampasan Aset. Pokok-pokok RUU ini diantaranya adalah :
- memperkenalkan mekanisme perampasan aset “in rem” atau di negara common law system disebut civil forfeiture. Mekanisme ini memungkinkan dilakukannya perampasan atau penyitaan aset tanpa harus ada tersangka atau terdakwanya.
- memperluas aset-aset yang bisa disita.
- mengatur pembalikan beban pembuktian secara lengkap
- mengatur asset sharing terhadap aset rampasan sehingga kesulitan anggaran operasional bisa diatasi.

TIPE-TIPE PENCUCIAN UANG

Untuk lebih mengetahui hal tersebut maka operasionalisasi money laundering harus diketahui terlebih dahulu , yaitu :

Placement (P) : yakni penempatan atau konversi dari uang tunai yang diperoleh secara dari kejahatan awal/ predicate crame (PC) ke dalam berbagai assets seperti deposito bank, real estate atau saham-saham;

Layering (L) : yaitu membuat transaksi financial yang kompleks dan berlapis-lapis serta berangkai, yang dilindungi oleh berbagai bentuk anonimitas dan rahasia professional untuk menyamarkan asal asul dana uang hasil kejahatan. Hal ini akan mempersulit para penegak hukum untuk mendeteksi jaringan “money laundering”.

Integration (I): yaitu tindakan yang dilakukan untuk dapat memberikan legitimasi terhadap uang hasil kejahatan sehingga terlihat sebagai dana/uang yang berasal dari transaksi normal.

Dengan melihat proses operasionalisasi money laundering, maka ada 5 tipe money laundering

DOMESTIK :
Predicate Crime, Placing, Layering dan Integration terjadi dan dilakukan di Indonesia.

RETURNING :
Predicate Crime terjadi di Indonesia.
Placing dilakukan di Indonesia atau di luar Indonesia.
Layering dilakukan di luar Indonesia.
Integration dilakukan di Indonesia.

Contoh kasus ini kemungkinan adalah dana-dana hasil komisi/rent seeking dari berbagai transaksi yang dilakukan pemerintah/pejabat yang berkuasa, kemudian diparkir diluar, dan akan kembali digunakan misal untuk mendanai Pilkada, ada Kampanye Pemilihan Presiden.

INBOUND :
Predicate Crime terjadi di luar Indonesia
Placing dilakukan di Indonesia atau di luar Indonesia.
Layering dilakukan Indonesia.
Integration dilakukan di Indonesia.

OUTBOUND :
Predicate Crime terjadi di Indonesia
Placing dilakukan di luar Indonesia.
Layering dilakukan di luar Indonesia.
Integration dilakukan di luar Indonesia.
Contoh kasus ini adalah kemungkinan dana hasil korupsi atau rent seeking dicuci di singapure dan digunakan untuk diinvestasikan di singapure ( pembelian saham-saham perusahaan) atau diinvestasikan di China dan negara lainnnya.

FLOW THROUGH :
Predicate Crime terjadi di luar Indonesia
Placing dilakukan di Indonesia.
Layering dilakukan di Indonesia.
Integration dilakukan di luar Indonesia.

Dari uraian ini jelas PPATK tidak hanya menangani pencucian uang dari hasil berbagai kejahatan di Indonesia saja tetapi juga dari negara lain, maka tidak heran pencucian uang dimasukkan juga kedalam kejahatan transnasional. Sungguh aneh rasanya jika fungsi PPATK hanya sebagai administrasi saja atau istilah yang saya gunakan semacam pusat pengolahan data elektronik seperti diperusahaan umumnya.

Penguatan wewenang PPATK akan semakin mendorong keberhasilan rezim anti pencucian uang yang pada gilirannya akan semakin mengurangi kejahatan ekonomi lainnya. Ini seperti yang dikatakan dalam buku Kriminalisasi Pencucian Uang karangan DR. Yenthi Ganarsih, yaitu sebagai berikut :

“Most importanly, however, targeting the money laundering aspect of criminal activity and depriving the criminal of his ill-gotten gains means hitting him where he is vulnerable without a usable profit, the criminal activity will not continue.”

Intinya, keberhasilan pemberantasan pencucian uang ( juga keberhasilan PPATK ) jalan tol keberhasilan pemberantasan kejahatan ekonomi seperti korupsi, penyuapan, transfer pricing, kejahatan perbankan, drugs, trafficking, illegal logging dan lainya.
Tinggal kita, maukah kita memilih jalan ini ?

Oleh :
Johanes Wardy Sitinjak
The Tracer ( http://signnet.blogspot.com/)

Tidak ada komentar: