Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih (clean and good governance) sebenarnya Indonesia sudah mempunyai lembaga yang cukup lengkap. Ketiga lembaga tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Ombudsman dan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK). Ketiga lembaga ini menurut saya merupakan solusi dari kelemahan pelaksanaan audit-audit yang dilakukan baik BPK/BPKP.
Kelemahan itu adalah sebagai berikut :
Pertama, rendahnya tindak lanjut hasil audit yang dilakukan BPK/BPKP. Hal ini dikarenakan hasil audit tersebut hanya memberikan rekomendasi saja. Auditee/intansi yang diperiksa tidak harus melaksanakan rekomendasi tersebut. Sering auditee melakukan pemeriksaan ulang terhadap rekomendasi BPK/BPKP. Dengan pembentukan KPK hal ini tidak terjadi karena KPK bisa langsung melakukan penuntutan sampai ke meja hijau.
Kedua, sering kali pihak auditor hanya bisa menarik kesimpulan dari hasil logika yang umum bahwa telah terjadi tindak pidana suap, korupsi dan pemerasan. Auditor hanya dapat menyampaikan bukti perhitungan di atas kertas. Sebagai contoh dalam pengadaan barang dan jasa di pemerintah biasanya harga sudah dimark-up. Selisih harga tersebut adalah komisi untuk pihak-pihak yang terlibat dalam pengadaan barang dan komisi ini akan diberikan dengan dua cara cash dan transfer. Sebelum ada PPATK mungkin komisi langsung diberikan oleh kontraktor/supplier lewat transfer bank. Namun dengan adanya PPATK, berubah menjadi cara kas/tunai. Namun, ini pun masih bisa dilacak oleh PPATK (jika belum canggih layering-nya). Terbukti dari Jaksa Urip dalam kasus suap BLBI BDNI. Beberapa hari sebelum penangkapan terdapat pencairan uang dalam jumlah besar di suatu bank oleh tersangka Artalyta Suryani.
Ketiga, audit rutin yang dilakukan biasanya dilakukan pada awal tahun, di tengah dan diakhir tahun. Dengan demikian auditee tahu kapan para auditor akan datang sehingga telah bersiap diri. Selain, itu audit pada umumnya menekankan aspek keuangan dibandingkan aspek lainnya sedangkan proses pelayanan kepada publik terjadi setiap hari. Akibatnya, auditor sulit untuk menemukan ada hambatan dalam hal pelayanan publik misal pengurusan dokumen tertentu baru akan lancar jika terdapat uang pelicin. Apalagi jika hal ini dilakukan “ suka sama suka”.
Untuk mengungkapkan hal ini harus ada lembaga yang senantiasa mengawasi jalannya pelayanan publik day to day. Di sinilah pentingnya peran Komisi Ombudsman.
Namun, nasib ketiga lembaga itu tidak sama. Yang paling melekat di pikiran masyarakat akhir-akhir ini adalah KPK. Keberhasilan KPK beberapa bulan terakhir ini mengungkapkan beberapa kasus besar memberikan kesan positif di mata masyarakat dan meraih simpati publik yang besar. Nasib PPATK tidak sebaik KPK tetapi tidak seburuk Komisi Ombudsman. Saya sendiri menyayangkan kondisi ini (nanti akan ada tulisan saya khusus tentang PPATK). Sebenarnya PPATK pernah mendapat perhatian publik yang besar ketika mengumumkan 15 rekening para perwira Polisi yang jumlahnya fantatis Juli 2005. Namun karena tindak lanjut laporan ini kurang sesuai dengan harapan masyarakat membuat masyarakat kembali ragu atau bahkan menyangsikan peran PPATK. Walaupun iklan PPATK yang berbunyi “Kalau Bersih Mengapa Harus Risih” sudah tidak asing lagi, rupanya PPATK masih kurang dikenal oleh masyarakat, demikian dikatakan Yunus Husein, Ketua PPATK. Hal ini berkaitan dengan kejadian dimana gedung PPATK hampir disegel oleh Sudin Tatakota DKI. Mungkin PPATK dikira Perusahaan Penjual Alat Tulis Kantor.
Yang paling sial adalah nasib Komisi Ombudsman walau terbentuk lebih dulu dibandingkan KPK dan PPATK tetapi dasar hukum Komisi Ombudsman hanya berdasarkan Keppres saja, yaitu Keppres 44 tahun 2000 yang ditandatangani oleh Gusdur. RUU tentang Ombudsan sejak tahun 2003 sampai sekarang masih macet di DPR. Padahal beberapa anggota DPR dari Komisi III sempat berkunjung ke Swedia untuk studi banding lembaga Ombudsman. Peran Komisi Ombudsman hanya efektif pada dua tahun saja. Hampir seluruh instansi pemerintah pernah disurati Ombudsman. Sebagian besar laporan masyarakat ditindaklanjuti secara cepat dan membuahkan hasil. Sayang kondisi kondusif ini tidak berlangsung lama seiring dengan perjalanan reformasi yang makin tersendat. (Tjipta Lesmana, Ombudsman Indonesia mau dimatikan ?, Sinarharapan, 2004)
Perbedaan nasib ke tiga lembaga ini amat disayangkan karena jika ketiga lembaga ini berjalan optimal cita-cita untuk mencapai clean and good governance tidak lama akan terwujud. Peran KPK, PPATK dan Ombudsman saling melengkapi. KPK memberantas korupsi, PPATK memotong dan memberantas aliran dana haram pelaku kejahatan sehingga tidak bisa dinikmati dan Ombudsman akan meningkatkan pelayanan publik yang pada gilirannya akan memotong ekonomi biaya tinggi yang selama ini dikeluhkan.
Untuk mendorong kinerja PPATK dan Ombudsman, sedikitnya ada beberapa hal harus dibenahi, yaitu :
Pertama, komitmen pemerintah apakah serius mencapai tujuan clean and good governance dengan secepatnya. Komitmen pemerintah ini dapat terlihat antara lain dari penyediaan anggaran yang cukup besar bagi ke dua lembaga di atas untuk membiayai semua kegiatan operasional lembaga tersebut.
Kedua, penguatan wewenang hukum PPATK dan Ombudsman. Selama ini kedua lembaga tersebut hanya memberikan rekomendasi kepada pihak berwajib dan instansi terkait untuk mengambil tindakan tertentu. Tidak ada keharusan atau kewajiban mutlak untuk melaksanakan rekomendasi tersebut. Kedua lembaga tersebut harus mempunyai wewenang untuk menindaklanjuti pekerjaan mereka sampai ke tingkat pengadilan. Wewenang tersebut kalau bisa seperti yang dipunyai oleh KPK atau paling tidak seperti wewenag KPPU yang bisa diputus sendiri kemudian jika pihak lain yang terkena tidak setuju dapat mengajukan keberatan di pengadilan negeri atau pengadilan tata usaha negara. RUU perampasan aset yang diajukan PPATK beberapa tahun lalu mandek di DPR.
Dengan tanpa mengurangi hormat saya kepada KPK, apa yang dilakukan oleh KPK dalam pemeriksaan mendadak (sidak) terhadap Bea Cukai sebenarnya lebih baik menjadi tugas Komisi Ombudsman. Hal ini dapat dilakukan jika Komisi Ombudsman diberikan wewenang yang sama dengan KPK.
Ketiga, nama PPATK dan Komisi Ombudsman lebih baik diganti menjadi misal Komisi Anti Pencucian Uang dan Komisi Pengawas Pelayanan Publik. Nama ini mempunyai kesan yang lebih kuat daripada kedua nama sebelumnya. Nama PPATK bagi saya terkesan seperti Unit Pengolahan Data Elektronik (PDE) saja.
Sedangkan nama Ombudsman yang diambil dari kesuksesan lembaga tersebut pertama di Swedia tahun 1809, terasa asing di telinga publik.
Keempat, setelah ada penguatan dalam wewenang, PPATK dan Komisi Ombudsman harus independen, berani dan tidak dapat diintervensi. Jangan seperti kasus rekening 15 perwira polisi yang diduga kuat Kepolisian mengintervensi PPATK. Hal ini akan menghilangkan kepercayaan masyarakat. Setiap ada kasus lebih baik diselesaikan secara hukum dan dipublikasi secara luas seperti yang dilakukan KPK sekarang ini. Beberapa kali saya juga menyaksikan acara Ombudsman di Indovision yang dibawakan oleh pengacara Hotma Sitompul menurut saya cukup efektif. Slogan-slogan yang dibawakan cukup mengena seperti ini “Jangan Pendam Masalah Anda” atau ketika pejabat publik banyak yang menyalahi aturan, Hotma Sitompul, dengan tegas mengatakan, “Bapak-bapak taat kepada hukum selagi berkuasa atau Hukum akan mengejar anda ketika tidak berkuasa lagi”.
Jika peran PPATK dan Komisi Ombudsman benar-benar dimaksimalkan seperti KPK, saya rasa Clean and Good Governance akan bisa terwujud tidak terlalu lama. Sudah banyak lembaga-lembaga pengawasan seperti KPK, BPK, BPKP, Itjen, Bawasda. Bahkan untuk pengawasan ujian nasional saja, Detasemen Khusus 88 (Densus 88) sampai turun. Sudah seratus tahun hari kebangkitan Nasional, 10 tahun reformasi, masih berapa lama lagi kah Clean and Good Governance akan tercapai?
Kelemahan itu adalah sebagai berikut :
Pertama, rendahnya tindak lanjut hasil audit yang dilakukan BPK/BPKP. Hal ini dikarenakan hasil audit tersebut hanya memberikan rekomendasi saja. Auditee/intansi yang diperiksa tidak harus melaksanakan rekomendasi tersebut. Sering auditee melakukan pemeriksaan ulang terhadap rekomendasi BPK/BPKP. Dengan pembentukan KPK hal ini tidak terjadi karena KPK bisa langsung melakukan penuntutan sampai ke meja hijau.
Kedua, sering kali pihak auditor hanya bisa menarik kesimpulan dari hasil logika yang umum bahwa telah terjadi tindak pidana suap, korupsi dan pemerasan. Auditor hanya dapat menyampaikan bukti perhitungan di atas kertas. Sebagai contoh dalam pengadaan barang dan jasa di pemerintah biasanya harga sudah dimark-up. Selisih harga tersebut adalah komisi untuk pihak-pihak yang terlibat dalam pengadaan barang dan komisi ini akan diberikan dengan dua cara cash dan transfer. Sebelum ada PPATK mungkin komisi langsung diberikan oleh kontraktor/supplier lewat transfer bank. Namun dengan adanya PPATK, berubah menjadi cara kas/tunai. Namun, ini pun masih bisa dilacak oleh PPATK (jika belum canggih layering-nya). Terbukti dari Jaksa Urip dalam kasus suap BLBI BDNI. Beberapa hari sebelum penangkapan terdapat pencairan uang dalam jumlah besar di suatu bank oleh tersangka Artalyta Suryani.
Ketiga, audit rutin yang dilakukan biasanya dilakukan pada awal tahun, di tengah dan diakhir tahun. Dengan demikian auditee tahu kapan para auditor akan datang sehingga telah bersiap diri. Selain, itu audit pada umumnya menekankan aspek keuangan dibandingkan aspek lainnya sedangkan proses pelayanan kepada publik terjadi setiap hari. Akibatnya, auditor sulit untuk menemukan ada hambatan dalam hal pelayanan publik misal pengurusan dokumen tertentu baru akan lancar jika terdapat uang pelicin. Apalagi jika hal ini dilakukan “ suka sama suka”.
Untuk mengungkapkan hal ini harus ada lembaga yang senantiasa mengawasi jalannya pelayanan publik day to day. Di sinilah pentingnya peran Komisi Ombudsman.
Namun, nasib ketiga lembaga itu tidak sama. Yang paling melekat di pikiran masyarakat akhir-akhir ini adalah KPK. Keberhasilan KPK beberapa bulan terakhir ini mengungkapkan beberapa kasus besar memberikan kesan positif di mata masyarakat dan meraih simpati publik yang besar. Nasib PPATK tidak sebaik KPK tetapi tidak seburuk Komisi Ombudsman. Saya sendiri menyayangkan kondisi ini (nanti akan ada tulisan saya khusus tentang PPATK). Sebenarnya PPATK pernah mendapat perhatian publik yang besar ketika mengumumkan 15 rekening para perwira Polisi yang jumlahnya fantatis Juli 2005. Namun karena tindak lanjut laporan ini kurang sesuai dengan harapan masyarakat membuat masyarakat kembali ragu atau bahkan menyangsikan peran PPATK. Walaupun iklan PPATK yang berbunyi “Kalau Bersih Mengapa Harus Risih” sudah tidak asing lagi, rupanya PPATK masih kurang dikenal oleh masyarakat, demikian dikatakan Yunus Husein, Ketua PPATK. Hal ini berkaitan dengan kejadian dimana gedung PPATK hampir disegel oleh Sudin Tatakota DKI. Mungkin PPATK dikira Perusahaan Penjual Alat Tulis Kantor.
Yang paling sial adalah nasib Komisi Ombudsman walau terbentuk lebih dulu dibandingkan KPK dan PPATK tetapi dasar hukum Komisi Ombudsman hanya berdasarkan Keppres saja, yaitu Keppres 44 tahun 2000 yang ditandatangani oleh Gusdur. RUU tentang Ombudsan sejak tahun 2003 sampai sekarang masih macet di DPR. Padahal beberapa anggota DPR dari Komisi III sempat berkunjung ke Swedia untuk studi banding lembaga Ombudsman. Peran Komisi Ombudsman hanya efektif pada dua tahun saja. Hampir seluruh instansi pemerintah pernah disurati Ombudsman. Sebagian besar laporan masyarakat ditindaklanjuti secara cepat dan membuahkan hasil. Sayang kondisi kondusif ini tidak berlangsung lama seiring dengan perjalanan reformasi yang makin tersendat. (Tjipta Lesmana, Ombudsman Indonesia mau dimatikan ?, Sinarharapan, 2004)
Perbedaan nasib ke tiga lembaga ini amat disayangkan karena jika ketiga lembaga ini berjalan optimal cita-cita untuk mencapai clean and good governance tidak lama akan terwujud. Peran KPK, PPATK dan Ombudsman saling melengkapi. KPK memberantas korupsi, PPATK memotong dan memberantas aliran dana haram pelaku kejahatan sehingga tidak bisa dinikmati dan Ombudsman akan meningkatkan pelayanan publik yang pada gilirannya akan memotong ekonomi biaya tinggi yang selama ini dikeluhkan.
Untuk mendorong kinerja PPATK dan Ombudsman, sedikitnya ada beberapa hal harus dibenahi, yaitu :
Pertama, komitmen pemerintah apakah serius mencapai tujuan clean and good governance dengan secepatnya. Komitmen pemerintah ini dapat terlihat antara lain dari penyediaan anggaran yang cukup besar bagi ke dua lembaga di atas untuk membiayai semua kegiatan operasional lembaga tersebut.
Kedua, penguatan wewenang hukum PPATK dan Ombudsman. Selama ini kedua lembaga tersebut hanya memberikan rekomendasi kepada pihak berwajib dan instansi terkait untuk mengambil tindakan tertentu. Tidak ada keharusan atau kewajiban mutlak untuk melaksanakan rekomendasi tersebut. Kedua lembaga tersebut harus mempunyai wewenang untuk menindaklanjuti pekerjaan mereka sampai ke tingkat pengadilan. Wewenang tersebut kalau bisa seperti yang dipunyai oleh KPK atau paling tidak seperti wewenag KPPU yang bisa diputus sendiri kemudian jika pihak lain yang terkena tidak setuju dapat mengajukan keberatan di pengadilan negeri atau pengadilan tata usaha negara. RUU perampasan aset yang diajukan PPATK beberapa tahun lalu mandek di DPR.
Dengan tanpa mengurangi hormat saya kepada KPK, apa yang dilakukan oleh KPK dalam pemeriksaan mendadak (sidak) terhadap Bea Cukai sebenarnya lebih baik menjadi tugas Komisi Ombudsman. Hal ini dapat dilakukan jika Komisi Ombudsman diberikan wewenang yang sama dengan KPK.
Ketiga, nama PPATK dan Komisi Ombudsman lebih baik diganti menjadi misal Komisi Anti Pencucian Uang dan Komisi Pengawas Pelayanan Publik. Nama ini mempunyai kesan yang lebih kuat daripada kedua nama sebelumnya. Nama PPATK bagi saya terkesan seperti Unit Pengolahan Data Elektronik (PDE) saja.
Sedangkan nama Ombudsman yang diambil dari kesuksesan lembaga tersebut pertama di Swedia tahun 1809, terasa asing di telinga publik.
Keempat, setelah ada penguatan dalam wewenang, PPATK dan Komisi Ombudsman harus independen, berani dan tidak dapat diintervensi. Jangan seperti kasus rekening 15 perwira polisi yang diduga kuat Kepolisian mengintervensi PPATK. Hal ini akan menghilangkan kepercayaan masyarakat. Setiap ada kasus lebih baik diselesaikan secara hukum dan dipublikasi secara luas seperti yang dilakukan KPK sekarang ini. Beberapa kali saya juga menyaksikan acara Ombudsman di Indovision yang dibawakan oleh pengacara Hotma Sitompul menurut saya cukup efektif. Slogan-slogan yang dibawakan cukup mengena seperti ini “Jangan Pendam Masalah Anda” atau ketika pejabat publik banyak yang menyalahi aturan, Hotma Sitompul, dengan tegas mengatakan, “Bapak-bapak taat kepada hukum selagi berkuasa atau Hukum akan mengejar anda ketika tidak berkuasa lagi”.
Jika peran PPATK dan Komisi Ombudsman benar-benar dimaksimalkan seperti KPK, saya rasa Clean and Good Governance akan bisa terwujud tidak terlalu lama. Sudah banyak lembaga-lembaga pengawasan seperti KPK, BPK, BPKP, Itjen, Bawasda. Bahkan untuk pengawasan ujian nasional saja, Detasemen Khusus 88 (Densus 88) sampai turun. Sudah seratus tahun hari kebangkitan Nasional, 10 tahun reformasi, masih berapa lama lagi kah Clean and Good Governance akan tercapai?
Oleh :
Johanes Wardy Sitinjak
The Tracer (http://signnet.blogspot.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar