Selasa, April 22, 2008

Utang DiKorupsi Sekarang, Anak Cucu Sengsara Kemudian...

(Dalam artikel sebelumnya, permasalahan utang luarnegeri akibat jeleknya perencanaan dan dari sifat utang luar negeri itu. Artikel saya berikut ini membahas permasalahan utang luarnegeri dari jeleknya good governance dari pelaksanaan proyek yang didanai utang luar negeri)

Niat baik tidak selalu berbuah kebaikan pula. Itu pula yang terjadi dalam masalah utang luar negeri Indonesia. Para pemimpin dan pengambil keputusan untuk menggunakan utang luar negeri, mungkin tidak pernah berpikir bahwa utang luar negeri yang sebenarnya bertujuan untuk membiayai pembangunan negara ini, ternyata di lapangan mengalami kebocoran di sana-sini.


Binny Buchori, aktivis LSM yang kritis soal utang luar negeri menjelaskan bahwa masalah yang dihadapi oleh Indonesia saat ini bukan hanya besar kecilnya pinjaman, melainkan bagaimana mempergunakan uang kreditor yang harus dibayar dengan uang pajak itu lebih efektif dalam membiayai pembangunan. Atau dengan kata lain, masalah yang sebenarnya adalah pinjaman itu dikorupsi Senada dengan pernyataan di atas, Raymon Atje, Kepala Departemen Ekonomi, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengatakan bukan karena pinjaman luar negeri lalu ada korupsi. Korupsi sudah ada dari dulu. Dan itu karena kesalahan kita dan menjadi persoalan bangsa Indonesia sampai sekarang.

Bahkan pola-pola yang dilakukan para oknum dan pihak lain untuk melakukan penyimpangan dalam proyek-proyek yang didanai utang luar negeri tidak jauh beda dengan yang terjadi pada proyek yang didanai APBN/APBD. Rupanya kenikmatan untuk melakukan korupsi tidak memandang dari mana sumber dana itu datang. Mereka tidak peduli jika utang luar tersebut mereka korupsi, akibatnya yang diderita bangsanya ini adalah dobel. Pertama, kerugian dari jumlah yang dikorupsi. Kedua, warisan utang luar negeri berupa cicilan pokok dan bunga kepada anak cucu yang tidak merasakan manfaat dari utang luar negeri ini.

Dari pihak lender sendiri bukan tidak mengetahui dan menyadari kemungkinan utang yang mereka berikan akan dikorupsi. Bank Dunia, misalnya, memiliki tanggung jawab fiduciary untuk menyakini bahwa penggunaan dana pinjaman tersebut hanya untuk tujuan yang telah disepakati, dilaksanakan secara efisien dan hemat, serta mengurangi peluang adanya salah penggunaan.
Oleh karenanya Bank Dunia wajib melaksanakan review terhadap prosedur pengadaan barang dan pekerjaan, baik itu prior review maupun post review. Prior review dilaksanakan terhadap pengadaan barang dan jasa dengan nilai di atas ambang batas (Threshold) yang ditetapkan dalam setiap Loan Agreement, sedangkan post review dilakukan terhadap pengadaan barang dan pekerjaan serta seleksi konsultan dengan nilai dalam ambang batas (Threshold).

Untuk melaksanakan post review tersebut terhadap beberapa proyek, Bank Dunia menyerahkan tugas tersebut kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Post Review ini berbeda dengan Audit terhadap Laporan Keuangan Proyek Berbantuan Luar Negeri. Sesuai dengan Terms Of Reference (TOR) atas Procurement Post Review for World Bank Financed Projects.

Post review bertujuan melakukan review terhadap ketaatan prosedur terhadap loan agreement, review keuangan, verifikasi asset hasil pengadaan, pembandingan harga untuk menilai kelayakan harga pengadaan dan menginformasikan adanya indikasi penyimpangan dan korupsi berdasarkan hasil review tersebut. Proyek dan kontrak yang harus di-review ditentukan oleh Bank Dunia.

Hal yang menarik yang dapat diambil kesimpulan dalam 10 Laporan Post Procurement Review yang telah diserahkan BPKP kepada Bank Dunia. Laporan periode 1 Oktober 2002 sampai 31 Desember 2003 atas 10 jenis loan, yang terdiri dari 398 kontrak dengan nilai kontrak seluruhnya berjumlah kurang lebih Rp. 307,7 Milyar dan USD 2,3 juta.

Pertama, dari semua loan yang di-review, terdapat indikasi penyimpangan dan korupsi dalam proses procurement pada 9 jenis loan dan hanya 1 loan yang tidak ada temuan berupa indikasi penyimpangan.
Pada umumnya, indikasi penyimpangan dan korupsi yang terjadi dalam procurement tersebut disebabkan proses lelang tersebut hanya formalitas saja. Beberapa indikasi tersebut diakui oleh pihak-pihak yang terlibat, sementara yang lainnya berdasarkan analisis dilapangan, seperti :


- Penawaran dalam tender disiapkan hanya oleh satu perusahaan saja sedangkan perusahaan lainnya hanya menandatangani ikut serta dalam pelelangan/tender. Perusahaan “pinjaman” ini tidak menerima surat undangan untuk ikut serta dalam pelelangan/tender dari pihak proyek.


- Semuanya atau paling tidak sebagian besar perusahaan yang ikut serta dalam tender atau pelelangan dikuasai oleh pemilik yang sama atau manajemen yang sama.


- Format, redaksional, tanggal penyerahan dan jenis huruf yang digunakan sama persis. Bahkan sebagian, mempunyai tipe kesalahan huruf/kata yang sama.

- Harga penawaran termasuk pemenang tender, semuanya mendekati Owner Estimate dengan jenis dan tipe barang yang sama, bahkan distributor yang sama.

- Semua peserta tender tidak memasukkan spesifikasi teknis dari unit barang yang diusulkan.

- Semua peserta lelang kecuali pemenang gagal dalam persyaratan administrasi.

- Peserta lelang yang kalah menyampaikan penawarannya melalui surat, namun tidak menghadiri acara pembukaan sampul lelang.

- Alamat perusahaan peserta lelang yang kalah setelah ditelusuri tidak ada, atau tidak seperti dalam surat penawaran.

- Para peserta lelang saling kenal satu sama lain, dan selalu bersama dalam lelang, dimana diantara mereka saling bergiliran sebagai pemenang.

- Persyaratan peserta lelang dibuat-buat sehingga hanya sedikit yang bisa memenuhi persyaratan tersebut.

Kedua, dari penilaian struktur pengendalian internal yang terdiri dari 8 unsur penilaian, tidak ada satu pun dari 10 loan yang pelaksanaannya tidak mempunyai kelemahan dalam struktur pengendalian internal. Bahkan lebih dari 50% mempunyai kelemahan minimal 4 unsur penilaian. Hanya 2 loan saja yang pelaksanaan mempunyai kelemahan dalam satu unsur penilaian. Kedelapan unsur penilaian tersebut adalah :
- struktur organisasi yang cukup mengambarkan pemisahan tugas dan tanggungjawab
- Panitia Pengadaan yang bekerja dengan professional
- Perencanaan Pengadaan yang matang dan lengkap
- Ketaatan pada pedoman pengadaaan
- Pencatatan asset yang tertib
- Dokumentasi yang lengkap
- Pengawasan yang cukup

Ketiga, sesuai dengan tujuan dari Post Procurement yang mereview ketaatan prosedur pengadaan terhadap pedoman dari Bank Dunia dan perjanjian utang ditemukan bahwa sekitar 38,19% atau 152 kontrak dari keseluruhan kontrak (398 kontrak) ternyata dijumpai penyimpangan. Atau senilai Rp. 109,58 milyar dari nilai total kontrak (Rp. 327,34 milyar).
Namun jika dilihat dari jenis penyimpangan yang terjadi, yaitu :
1. Defective bid submission, 52 kontrak atau 13,07%
2. Defective contract awarded, 44 kontrak atau 11,06%
3. Inadequate preparation of bidding documents, 41 kontrak atau 10,30%
4. Improper invitation bids, 36 kontrak atau 9.05%
5. Defective bid evaluation, 35 kontrak atau 8,79%

Dengan demikian, dalam 152 kontrak yang menyimpang, kemungkinan dalam satu kontrak mempunyai 2 atau lebih jenis penyimpangan.

Keempat, verifikasi aset yang bertujuan apakah aset-aset yang didanai oleh Bank ada pada lokasi yang benar, dicatat dengan tertib, diterima dalam kondisi yang baik dan lengkap serta dimanfaatkan dengan baik sesuai tujuan yang telah ditetapkan. Hasilnya sebagai berikut :

- Misused Assets, ada 17 unit senilai Rp. 496.562.650
- Limited Used Assets, ada 26.903 unit senilai Rp. 42.881.566.735
- Unrecorded Assets, ada 4.151 unit senilai Rp. 5.796.969.519
- Defective Assets, ada 7 unit senilai Rp. 6.967.881.828
- Insufficient received quantity, ada 2 unit senilai Rp. 16.631.644
- Misplaced Assets, ada 296 unit senilai Rp. 15.518.121

Kelima, dalam laporan tersebut dari perbandingan harga yang dilakukan terhadap harga pasar, terdapat 20 kontrak yang terjadi pada lima loan yang harganya melebihi harga pasar. Jika dilihat dari jumlah kontrak yang kelebihan harga hanya mencakup 20 kontrak dari 398 kontrak keseluruhan atau hanya sekitar 5% dari total kontrak. Namun jika dilihat dari nilai kontrak yang melebihi harga pasar sejumlah Rp. 51.150.476.208 dari Rp. 327.339.304.051. atau sekitar 17,50%.



Sumber : Warta Pengawasan, Vol. XII/3/Juli/ 2005
Johanes Wardy Sitinjak

Tidak ada komentar: