Rabu, April 16, 2008

Utang Luar Negeri dan Permasalahannya

Kompas, Senin 14 April 2008 memberitakan, selama tahun 2007 utang pemerintah bertambah Rp 97,74 triliun. Hal itu disebabkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing sehingga beban pembayaran utang luar negeri membengkak. Beban utang yang ditanggung jauh lebih besar dari aset yang diterima dari hasil utang itu. Hal itu terungkap dalam neraca Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2007, yang belum diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Pengamat utang dari Koalisi Anti Utang (KAU), Kusfiardi, menyatakan, beban utang luar negeri itu bukti bahwa beban utang yang ditanggung selama ini jauh lebih besar dari aset yang diterima, dari hasil utang tersebut. Bahkan, sebagian proyek yang didanai oleh utang tidak dapat dimanfaatkan karena terkena bencana alam. ”Beban itu tidak seharusnya ditanggung APBN. Dengan kondisi ini, pemerintah berhak minta pengurangan utang,” ujarnya.

Hal di atas salah satu permasalahan beban Utang Luar Negeri Indonesia. Artikel ini akan membahas beberapa permasalahan utang luar negeri. Artikel ini adalah rangkuman tulisan saya yang pernah diterbitkan dari beberapa majalah, seperti Kontan, Warta Pengawasan dan paper Ekonomi Makro Program Magister Kebijakan Publik.

Latar Belakang

Pada umumnya negara-negara berkembang membutuhkan utang dari luar negeri untuk menutupi kesenjangan antara tabungan domestik dengan kebutuhan investasinya, serta kesenjangan antara ekspor dan impornya. Kemampuan dalam negeri tidak mencukupi untuk membiayai pembangunan oleh sebab itu dibutuhkan utang luar negeri.

Besarnya utang luar negeri pemerintah setiap tahunnya disesuaikan dengan kebijakan pembangunan yang direncanakan pemerintah, pengeluaran apa saja yang dibutuhkan dan seberapa besar sumber penerimaan dalam negeri mampu membiayai pembangunan tersebut untuk mencapai tujuan pemerintah.

Kebijakan pemanfaatan utang luar negeri selalu didasarkan kepada arahan pokok, yaitu bahwa dana luar negeri masih tetap dimanfaatkan untuk melengkapi sumber pembiayaan dalam negeri. Pemanfaatan utang luar negeri didasarkan atas beberapa kriteria pokok meliputi :
- Utang luar negeri tidak dikaitkan dengan ikatan-ikatan politik.
- Syarat-syarat pembayarannya harus dalam batas-batas kemampuan untuk membayar kembali.
- Penggunaan utang luar negeri harus ditujukan untuk pembiayaan proyek-proyek yang produktif dan bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.


I. LANDASAN TEORI


A. Model dua kesenjangan (two gap model).

Sumber keuangan dari luar (baik hibah maupun pinjaman) dapat memainkan peranan yang penting dalam usaha melengkapi kekurangan sumber daya yang berupa devisa atau tabungan domestik. Pendekatan ini yang disebut Model dua kesenjangan (two gap model). Argumen inti model ini mengatakan bahwa negara-negara berkembang menghadapi kendala berupa keterbatasan tabungan domestik yang jauh dari mencukupi untuk menggarap segenap peluang investasi yang ada, serta kelangkaan devisa yang tidak memungkinkannya mengimpor barang-barang modal dan antara yang penting bagi usaha pembangunannya.

Secara matematis, model dua kesenjangan dapat dirumuskan sebagai berikut[1] :

1. Kesenjangan atau kendala tabungan, yaitu :
I < F + sY (1)
Dimana :
F = arus pemasukan modal
S = selisih antara eksport dan import
Seandainya nilai F ditambah sY lebih besar daripada I dan perekonomian itu tengah dalam kondisi full employment, maka bisa dipastikan bahwa tengah terjadi kesenjangan tabungan di negara tersebut.

2. Kesenjangan atau kendala devisa.
( m1 – m2 )I + m2Y – E ≤ F (2)
dimana :
E = tingkat ekspor eksogen
m1 = marginal import share
m2 = marginal propensity to import

Jika E, F, dan Y di atas diberi nilai eksogen, maka salah satu dari kedua ketidaksamaan diatas yang akan menjadi faktor penghambat. Tingkat Investasi dan tingkat pertumbuhan output akan tertekan menjadi lebih rendah oleh salah satu ketidaksamaan tersebut. Dengan demikian dari penerapan rumus tersebut setiap negara akan dapat diketahui masalah utamanya, apakah itu kesenjangan tabungan atau kesenjangan devisa. Hal lain yang lebih penting menurut sudut analitis utang luar negeri ini adalah dampak peningkatan arus pemasukan modal akan lebih besar di negara yang mengalami kesenjangan devisa. Namun hal ini tidak berarti bahwa negara-negara yang mengalami kesenjangan tabungan tidak membutuhkan bantuan luar negeri.

Model kedua kesenjangan ini hanya merupakan suatu metodologi yang bersifat bergaris besar untuk menentukan kebutuhan serta kemampuan relatif dari masing-masing negara berkembang dalam menggunakan utang luar negerinya secara efektif.

B. Ricardian Equivalence (RE)
Secara teoritis, ekonomi makro klasik mengenal konsep Ricardian Equivalence (RE). Premis dasarnya, utang pemerintah bersifat netral, tidak mempunyai efek terhadap suku bunga, investasi, perdagangan, inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB). Konsekwensinya tidak terdapat efek redistribusi pendapatan. Ini memunculkan pemeo “ there is no burden of the national debt”[1] .


Dalam konteks utang luar negeri, teori ini berpandangan, kalau pembangunan tidak dibiayai dengan utang luar negeri, maka sumber dana yang diambil dari dalam negeri. Artinya masyarakat harus membayar pajak yang lebih tinggi, sehingga pendapatan disposable merosot. Akibatnya, konsumsi domestik berkurang maka pertumbuhan pun terhambat.
Secara teori argument tersebut di atas dibantah oleh analisis “there is a burden of the national debt” Maksudnya, utang pemerintah mencerminkan pengeluaran yang dibiayai defisit anggaran, sehingga konsumsi domestik naik berlebihan, yang akan mendorong suku bunga dan inflasi jangka panjang naik.
Karena penerapan good governance tidak berjalan, sementara para kreditor terutama Bank Dunia, gagal menerapkan prinsip prudensial, tingkat kebocoran pun tinggi. Akibatnya, untuk negara miskin seperti Indonesia RE cenderung tidak cocok..

C. Utang Najis ( Odious Debt )

Konsep Utang Najis ( Odious Debt ) diperkenalkan oleh Alexander Nahum Sack , yaitu mengatakan “ if a despotic incurs a debt not for the needs or in the interest of the state, but to strengthen its despotic regime, to repress the population that fights against it, etc this debt is odious for the people of the state. This debt is not an obligation for the nation; it is regime’s debt, a personal debt of the power that has incurred it, consequently it fall of this power.”[2]

II. PERMASALAHAN UTANG LUAR NEGERI

1. Komposisi Jenis Utang Luar Negeri

Selama ini terlanjur berkembang anggapan keliru dalam persoalan utang luar negeri, Indonesia seolah-olah menerima kucuran dana segar dari seluruh komitmen utang luar negeri yang diterimanya. Padahal hal ini tergantung pada bentuk/jenis-nya.

Secara umum Utang Luar Negeri dibagi 3 jenis :
Bantuan Program
Bertujuan menunjang neraca pembayaran dan anggaran pembangunan. Bantuan dalam bentuk devisa ini akan menunjang neraca pembayaran dalam usaha memenuhi kebutuhan impor, sedangkan nilai lawan rupiahnya dimasukkan dalam kas negara.

Bantuan Proyek
Dapat berbentuk hibah atau pinjaman dan digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan proyek pembangunan baik dalam rangka rehabilitasi, pengadaan barang/peralatan dan jasa, perluasan ataupun pengembangan proyek baru.

Bantuan Teknis
Seluruh utang luar negeri yang diberikan negara/lembaga pemberi bantuan dalam bentuk jasa keahlian dan fasilitas pelatihan dengan tujuan untuk mempercepat proses alih teknologi dan ketrampilan. Umumnya dalam bentuk hibah.

Dari ke-3 jenis ini, hanya pinjaman dalam bentuk Bantuan Program dan Bantuan Teknis yang berupa block grant dan dalam bentuk tunai (in cash). Arus kas masuk dapat langsung digunakan Indonesia dengan bebas, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keperluan bangsa Indonesia sendiri. Sementara, bantuan proyek biasanya adalah fasilitas berbelanja secara kredit ke negara-negara pemberi utang. Oleh sebab itu jenis penggunaan bantuan ini biasanya terkait langsung dengan proyek-proyek fisik yang telah disepakati dalam perjanjian utang dengan pihak lender.
Karena, komposisi utang luar negeri, 80% berbentuk bantuan proyek maka semakin besar volume utang baru yang dibuat, semakin besar volume barang dan jasa para kreditor yang akan terjual di Indonesia. Jadi tidak heran, bila pihak kreditur selama ini seolah-olah bermurah hati memberikan dana utang luar negeri yang begitu besar kepada pemerintah Indonesia.

Dengan latar belakang motivasi seperti itu, tidak aneh bila sebagian inisiatif pelaksanaan proyek-proyek yang dibiayai utang luar negeri justru datang dari para pengusaha negara-negara kreditor. Mereka telah sibuk melobi para pejabat Indonesia untuk mengegolkan sejumlah proyek yang hendak dibiayai utang luar negeri jauh sebelum RAPBN disusun. Sudah menjadi rahasia umum, aktivitas lobi para pengusaha negara kreditor ini biasanya diwarnai oleh transaksi suap-menyuap yang berujung pada dilakukannya mark-up terhadap nilai proyek yang mereka usulkan.[4]


Mereka bahkan tidak peduli jika proyek tersebut sebenarnya tidak dibutuhkan bagi daerah-daerah di Indonesia . Maka tidak heran pula, jika didapati temuan di lapangan, ada proyek yang tidak dapat dimanfaat setelah dilaksanakan. Misal : pengadaan alat-alat kesehatan di Rumah Sakit di daerah terpencil tidak bisa dimanfaat karena tidak ada sumber daya manusia di tempat itu yang bisa mengoperasikan atau dalam proyek lain, yaitu mesin pengolahan sampah tidak berfungsi ketika digunakan karena spesifikasi mesin pengolahan sampah yang berasal dari negara kreditur hanya untuk sampah kering, sedangkan jenis sampah yang ada di Indonesia, umumnya sampah tipe basah.

Utang-utang luar negeri seperti jenis inilah yang dapat dimasukkan ke dalam Utang Najis ( Odious Debt ) dan membuat LSM-LSM anti utang berteriak agar pemerintah Indonesia berusaha meminta penghapusan kepada pihak kreditur.

2. Posisi beban pembayaran Utang Luar Negeri

Negara-negara yang utang luar negerinya besar umumnya menghadapi masalah yang tidak hanya berhenti setelah mendapatkan utang tersebut, tetapi jauh lebih penting bagaimana pembayaran kembali utang tersebut. Masalah ini tidak terjadi jika negara itu secara financial mampu membayar karena penerimaan negaranya besar. Namun bagi Indonesia setelah krisis perbankan, pembayaran kembali utang ini merupakan masalah pelik. Pasalnya, pembayaran utang harus tetap bisa menjamin stabilitas dan mampu mempertahankan kegiatan ekonominya.

Dilihat dari sisi APBN, beban pinjaman yang paling memberatkan adalah pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri. Besarnya cicilan dan bunga ini tergantung beberapa factor, yaitu :
a. Besarnya utang luar negeri
b. Jenis kreditur (berpengaruh pada tingkat bunga dan masa tenggang waktu pembayaran)
c. Jatuh Tempo pembayaran
d. Kebijakan nilai tukar yang diambil oleh pemerintah.

Berbagai studi menunjukkan bahwa peranan utang terhadap pertumbuhan ekonomi bisa berdampak negative apabila rasio utang terhadap PDB sudah diatas 50%. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila negara berkembang banyak memakai indikator rasio utang terhadap PDB dimana rasionya di atas 60% sebagai lampu kuning.

Tabel 1
Rasio Utang Luar Negeri Pemerintah terhadap PDB[6]

Tahun Rasio Utang LN Pemerintah terhadap PDB
2000 = > 45,30%
2001 = > 42,30%
2002 = > 37,30%
2003 = > 34,10%
2004 = > 31,90%
2005 = > 26,60%

3. Biaya Utang Luar Negeri Pemerintah (Cost of Borrowing)

Persepsi umum mengatakan bahwa utang luar negeri adalah lebih murah dibandingkan utang dalam negeri. Persepsi ini terkadang timbul tanpa ada bukti empiris yang kuat. Barangkali hal ini muncul karena suku bunga yang ditawarkan oleh kreditor asing jauh lebih rendah dibandingkan suku bunga domestik. Padahal bunga hanyalah salah satu komponen biaya pinjaman saja.
Komponen biaya utama dari biaya utang tentu saja suku bunga yang ditawarkan oleh kreditor.

Selain itu kreditor juga biasanya membebankan biaya administrasi yang biasanya terdiri dari dua jenis fee yaitu up front fee dan commitment fee. Dalam kasus tied loan, juga harus diperhitungkan biaya kemahalan yaitu biaya yang timbul akibat harga pengadaan barang lebih mahal dari harga pasar. Dalam kasus kredit ekspor, biaya asuransi juga harus diperhitungkan. Selain itu, depresiasi nilai tukar juga harus ditambahkan sebagai komponen biaya.
Berikut akan dideskripsikan masing-masing komponen biaya tersebut, yaitu:

1) Suku Bunga
Suku Bunga adalah komponen utama dari utang walaupun mungkin bukan komponen paling besar. Suku bunga bisa ditetapkan secara mengambang (floating) atau tetap (fixed). Suku bunga mengambang biasanya mengacu kepada suku bunga internasional ditambah margin tertentu (lending spread). Sebagai contoh adalah World Bank yang menetapkan suku bunga pinjamannya sama dengan LIBOR ditambah 0,75%. Suku bunga tetap biasanya dilakukan oleh kreditor bilateral seperti Jepang dan Jerman. Suku Bunga pinjaman dari Jepang dalam mata uang Yen adalah 1,3% untuk jenis pinjaman general terms dan o,75% untuk preferential terms.

2) Up-front fee
Jenis fee ini hanya diberlakukan oleh World Bank dan ADB serta fasilitas kredit ekspor. Fee ini ditarik ketika kontrak pinjam-meminjam berlaku efektif. World Bank menetapkan fee sebesar 1% dari nilai pinjaman, sedangkan ADB adalah sekitar 0,5%

3) Commitment fee
Jenis fee ini diberlakukan oleh World Bank dan ADB serta kreditor lain bilateral dan fasilitas kredit ekspor sebagai suatu bentuk biaya terhadap pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan). World Bank mengenakan commitment fee sebesar 0,75% atas total undisbursed loan. ADB mengenakan fee ini sebesar 0,75% atas selisih antara target disbursement dengan realisasi penarikan.

4) Insurance premium
Premi asuransi ini hanya dikenakan atas pengadaan barang melalui fasilitas kredit ekspor. Besarnya premi tergantung pada dua hal yaitu tariff yang ditetapkan kreditor dan country risk. Semakin besar indeks country risk, semakin besar pula premi dikenakan.

5) Depresiasi
Dengan memperhitungkan laju depresiasi rupiah terhadap mata uang lainnya, dapat dibandingkan biaya utang luar negeri dengan pinjaman domestik. Resiko nilai tukar barangkali merupakan komponen biaya yang selalu luput dari perhitungan biaya pinjaman luar negeri . Padahal, depresiasi merupakan komponen biaya yang terbesar. Tingkat depresiasi rupiah sangat tergantung pada jenis valuta yang dijadikan denominasi.

Rumus Umum untuk menghitung Cost Of Borrowing (CoB) adalah [7] :

Co B = [(i + d + p) /{(1 – μ) x (1 – (1 – D) c) }] X (1 +m)

Logika dari rumus tersebut adalah sebagai berikut : Komponen yang pertama adalah suku bunga (i) yang harus dikoreksi dengan laju depresiasi (d) supaya utang luar negeri dapat diperbandingkan dengan utang luar negeri. Selanjutnya adalah up front-fee (μ) dimana fee tersebut bersifat menurunkan jumlah utang yang sebenarnya diterima. Jika up front-fee adalah sebesar 1%, maka pokok utang yang sebenarnya diterima adalah 99% saja. Komponen berikutnya adalah Commitment fee.(c) yang bersifat menambah biaya jika penarikannya rendah. Biaya Kemahalan (m), yaitu persentase kenaikan harga dalam tied load, juga bersifat meningkatkan biaya pinjaman. Komponen terakhir adalah risk premium (p) yang dipungut diatas suku bunga atas pokok pinjaman.

Untuk pinjaman yang merupakan campuran antara pinjaman lunak dengan jenis pinjaman lainnya (blended loan) perhitungan biaya pinjaman dilakukan proporsional atas masing-masing jenis pinjaman. Sebagai contoh, untuk campuran antara pinjaman lunak dan kredit ekspor, perhitungannya adalah sebagai berikut :

CoB = w1 x CoB1 + w2 x CoB2

Dimana w1 adalah proporsi kredit lunak dan w2 adalah proporsi kredit ekspor. Cost of Borrowing untuk masing-masing komponen dihitung berdasarkan rumus umum sebelumnya.

Dalam buku Strategi Pendanaan Luar Negeri yang diterbitkan Bappenas tahun 2001 ditunjukan tabel hasil perhitungan rumus tersebut dengan dua versi perhitungan yaitu terendah-tertinggi dan tanpa- dengan depresiasi. Yang dimaksud dengan perhitungan terendah adalah biaya pinjaman kalau seandainya disbursement rate-nya mencapai 100% (tepat waktu) dan tidak ada biaya kemahalan. Sedangkan yang dimaksud dengan perhitungan tertinggi adalah kalau seandainya disbursement rate-nya hanya 50% ( dari target atau dari total) atau biaya pengadaan barangnya 30% lebih tinggi dari seharusnya. Perhitungan “ dengan depresiasi” adalah untuk mengukur seberapa besar pengaruh depresiasi rupiah dalam perhitungan biaya pinjaman.

Hasil perhitungan “tanpa depresiasi” menunjukan bahwa pinjaman bilateral secara rata-rata merupakan yang termurah. Di lain pihak kredit ekspor merupakan yang termahal.
Bahkan tanpa harus menghitung depresiasi, biaya pinjaman dari kredit eksport tampaknya kurang lebih sama dengan kredit domestik.

Untuk dapat membandingkan dengan pembiayaan dari domestik, faktor depresiasi harus ikut dihitung. Terlihat faktor dominan yang menentukan mahalnya biaya pinjaman luar negeri adalah akibat depresiasi. Jika dibandingkan dengan kredit perbankan domestik, biaya pinjaman luar negeri secara rata-rata dalam 20 tahun terakhir ini relatif lebih mahal. Setidaknya bisa dikatakan bahwa berdasarkan pengalaman historis tampaknya tidak ada bukti yang mendukung bahwa pinjaman luar negeri lebih murah.

Sebagai implikasi dari hasil temuan ini adalah mahal tidaknya pinjaman luar negeri sangat tergantung pada depresiasi. Artinya resiko nilai tukar tampaknya merupakan faktor resiko yang harus menjadi fokus perhatian. Di sinilah masalahnya. Tingginya kewajiban pembayaran utang luar negeri membutuhkan kemampuan untuk tetap menjaga stabilitas nilai tukar. Akan tetapi beban utang juga dapat memberikan tekanan depresiasi rupiah terhadap mata uang lainnya. Inilah seperti yang diberitakan Kompas, Senin 14 April 2007.


4. Tingkat Penyerapan Utang Luar Negeri Rendah

Aneh tapi nyata itulah yang terjadi. Mungkin banyak khalayak umum yang mengetahui bahwa utang luar negeri kita jumlahnya sudah sangat besar namun sedikit yang mengetahui jika daya serap terhadap utang-utang yang sudah bisa dicairkan dari tahun ke tahun rendah. Hal yang tidak dapat dimengerti jika pihak negara/lembaga donor sudah menyetujui komitmen pemberian utang luar negeri kepada Indonesia namun pihak Indonesia sendiri belum bisa menggunakan dana yang tersedia tersebut untuk pembiayaan proyek-proyek di seluruh tanah air. Lalu mengapa harus terburu-buru meminjam jika ternyata kita tidak bisa segera memanfaatkannya. Ibarat kata nafsu besar tenaga kurang. Beban cicilan utang yang besar harus ditambah lagi dengan hal-hal yang tidak perlu terjadi jika kita tidak keburu nafsu untuk berhutang. Ya, karena nafsu besar tenaga kurang maka kita harus membayar “commitment fee” kepada negara donor yang besarnya 0,5-1% dari jumlah utang yang tidak terserap setiap tahunnya.

Tabel
Tingkat Penyerapan Proyek terhadap dana Utang Luar Negeri

Proyek IBRD tahun 2004 penyerapannya sebesar 80,64% dan tahun 2005 sebesar 53,65%
Proyek ADB tahun 2004 penyerapnanya sebesar 66,63% dan tahun 2005 sebesar 78,17%
Proyek JBIC tahun 2004 penyerapannya sebesar 58,71% dan tahun 2005 sebesar 64,31%

Berbagai penyebab rendahnya penyerapan pinjaman luar negeri tersebut seharusnya dapat diantisipasi karena terjadi tiap tahun misalnya keterlambatan pengisian daftar isian proyek, tidak adanya dana pendamping dan tidak adanya koordinasi antar instansi di daerah maupun antar lembaga pelaksana proyek. Atau dengan kata lain, seperti yang dikatakan ekonom dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Chatib Basri dalam sebuah harian terbesar di Jakarta beberapa waktu lalu adalah masalah kualitas perencanaan yang rendah, termasuk diantaranya antisipasi permasalahan sosial berupa penolakan dari masyarakat sekitar. Ini terjadi pada proyek Ciliwung Cisadane River Flood Control I yang dibiayai oleh pinjaman JBIC terancam dihentikan setelah 7 tahun berjalan dikarenakan adanya penolakan dari masyarakat Tanggerang atas rencana sudetan Sungai Cisadane sehingga walaupun telah dilakukan revisi design proyek, namun rekomendasi design tidak sejalan dengan Grand Master Plan Pengendalian Banjir JABOTABEK sehingga tidak dapat disetujui Pemerintah DKI Jaya dan belum ada tindak lanjut konkrit tentang kelanjutan proyek ini.

Masalah lain penyebab keterlambatan dalam penyerapan pinjaman luar negeri tersebut adalah ketidaksiapan proyek itu sendiri, misal masalah pembebasan tanah, misprocurement (pengadaan barang/jasa yang tidak benar), manajemen serta dana backlog atau dianggap tidak layak dan seringkali departemen teknis tidak memahami loan agreement yang disiapkan lembaga pendanaan multilateral.

Sedangkan dari pihak kreditor penyebab keterlambatan dalam penyerapan pinjaman luar negeri tersebut adalah adanya persyaratan yang harus dipenuhi pemerintah Indonesia, yang dituangkan dalam policy matrix. Jika syarat itu tidak terpenuhi, negara donor tidak akan mau mencairkan dananya. Misalnya jika RUU Sumber Daya Air bisa segera disahkan maka akan dilakukan pencairan tahap ketiga sebesar US$ 150 juta. Bahkan Koensatwanto, Sekretaris Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas berulangkali menegaskan pinjaman proyek, yang selama ini mendominasi pinjaman luar negeri, lebih sering dikendalikan negara pemberi pinjaman atau bersifat donor-driven. Akibatnya pinjaman luar negeri kita kurang efektif karena pinjaman proyek sudah ditentukan oleh donor, misalnya bahan baku atau konsultan teknis proyeknya berasal dari negara/lembaga donor.
Koensatwanto mengungkapkan pengadaan utang luar negeri semestinya disesuaikan dengan kebutuhan dan kapasitas penyerapan serta pengelolaan sehingga terhindar dari persoalan-persolan klasik, seperti rendahnya penyerapan dan keterlambatan pelaksanaan. (Harian Bisnis, 9 November 2004).


Daftar Pustaka

1] Lihat Todaro , Michael P, “ Ekonomi Pembangunan di Dunia Ketiga”, halaman 183 – 185;
[2] Lihat Wibowo, Dradjat H, “Optimalisasi Manajemen Utang Luar Negeri Pemerintah”, dalam Seminar inefisiensi Pemanfaatan Utang Luar negeri, 12 Maret 2003.
[3] Lihat Revrisond Baswir,”Utang Najis”.
[4] Lihat Revrisond Baswir, “Bisnis Utang Ala CGI”
[5] Lihat Sukarna W dan Mamun S,“Dilemma utang luar negeri Indonesia dalam perekonomian nasional”.
[6] Tidak termasuk Utang Luar Negeri Swasta dan Utang Dalam Negeri, yang jumlahnya pasca krisis lebih besar dari Utang Luar Negeri Pemerintah
[7] Lihat Kajian Strategi Pendanaan Luar Negeri, Bappenas 2001

Oleh :

Johanes Wardy Sitinjak

The Tracer (http://signnet.blogspot.com)

Tidak ada komentar: