Sudah lama ada pertanyaan dalam hati saya mengenai Ketua BPK Anwar Nasution. Pertanyaan itu adalah bagaimana posisinya jika hasil audit BPK terhadap Bank Indonesia (BI) semasa beliau sebagai Deputi Senior Gubernur BI menunjukan adanya penyimpangan. Pertanyaan ini bukan tanpa dasar. Section 28a Sarbanes Oxley Act (SOA), melarang partner dan staf kantor akuntan publik (KAP) yang pernah mengaudit suatu perusahaan tertentu menjadi karyawan dari perusahaan tersebut sebelum habis masa “cooling off” selama 1 tahun. Misal seorang parner KAP memberikan jasa audit, review, atau attest service untuk tahun buku 2003 selama periode 1 maret 2003 – 1 April 2004, maka partner atau staf KAP dapat menjadi pegawai perusahaan tersebut pada 1 April 2005. Hal ini untuk menjaga independensi dan mencegah conflict of interest. Namun SOA tidak mengatur hal sebaliknya bagaimana jika karyawan perusahaan itu menjadi karyawan KAP.
Situasi semacam demikian yang terjadi pada Ketua BPK Anwar Nasution. Sebelumnya beliau adalah Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, namun sekarang menjadi Ketua BPK yang salah satu tugasnya adalah mengaudit Bank Indonesia. Saya pikir wajar saja jika ada pertanyaan bagaimana independensi BPK dalam mengaudit Bank Indonesia pada periode semasa beliau masih di Bank Indonesia.
Di sini bukan maksud saya meragukan integritas Ketua BPK. Para auditor tentu tidak asing lagi dengan istilah independent in appearance dan independent in fact. Dalam hal pertama (in appearance) inilah Ketua BPK Anwar Nasution tidak independen. Untuk mengatasi hal ini maka dapat ditempuh dengan cara yaitu BPK menyerahkan audit Bank Indonesia kepada pihak lain yang kompeten dan independen.
Apalagi kasus aliran dana BI ini terjadi tahun 2003, kemudian baru dilaporkan ke KPK dengan surat nomor 115/I-IV/11/2006 tanggal 14 November 2006. Mengapa ketika hampir 3 tahun lamanya kasus ini baru dilaporkan ke KPK?. Untuk itu langkah Ketua BPK menyerahkan laporan tentang aliran dana BI ke DPR dan Penegak hukum ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah benar. Dengan menyerahkan kepada KPK, Anwar Nasution menunjukan kepada publik bahwa dalam kasus aliran dana BI ini, KPK sebagai pihak yang independen juga memeriksa dirinya sendiri. Bahkan sebaiknya bukan hanya mengenai aliran dana BI tetapi seluruh kegiatan BI semasa Anwar Nasution di BI harus juga diaudit pihak lain yang independen, misal oleh BPKP.
Test Case
Pengungkapan Skandal Aliran BI ke DPR dan penegak hukum menurut saya merupakan test case di awal kepemimpinan Ketua KPK yang baru, Antasari Ashar.
Menurut saya apa yang dilakukan Ketua KPK selain memberikan shock theraphy, juga ingin melihat seberapa besar kah dukungan dan komitmen semua pihak kepada KPK untuk kasus ini.
Sebagai perbandingan ketika masih dalam kepemimpinan Taufik Ruki, KPK di masa awal juga membuat test case yaitu penahanan Gubernur Aceh Abdullah Puteh. (Gubernur BI juga Abdullah, kebetulankah?). Walaupun tidak mulus, namun sejak saat itu penahanan seorang gubernur bukan lagi hal yang tidak mungkin seperti jaman sebelumnya dimana kasus-kasus korupsi kepala daerah tidak mungkin tersentuh (untouchable).
Dalam skandal-skandal BI sebelumnya, ada mitos yang dihembuskan bahwa penahanan seorang Gubernur BI akan berpengaruh kepada kestabilan nilai rupiah. Mitos ini tidak benar dan harus dipatahkan, karena itu KPK harus bekerja keras, mengerahkan seluruh kemampuan untuk membuktikan kebenaran aliran dana BI ini
Apabila dukungan yang diterima Ketua KPK Antasari besar, sehingga penanganan kasus ini berjalan lancar dan dapat membawa semua pelaku ke pengadilan akan memberikan kepercayaan diri kepada KPK untuk membuka kasus-kasus besar lainnya. Namun jika sebaliknya, tekanan kepada KPK besar sekali sehingga penanganan kasus ini tersendat-sendat, , jangan salahkan KPK jika dikemudian hari kembali melakukan “tebang pilih”.
Dan, alam pun nampaknya memihak KPK, dengan tertangkap tangan Jaksa UTG yang diduga menerima suap untuk penghentian penyelidikan kasus BLBI BDNI, akan mendorong pengungkapan aliran dana BI yang diduga juga mengalir ke kejaksaan.
Situasi semacam demikian yang terjadi pada Ketua BPK Anwar Nasution. Sebelumnya beliau adalah Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, namun sekarang menjadi Ketua BPK yang salah satu tugasnya adalah mengaudit Bank Indonesia. Saya pikir wajar saja jika ada pertanyaan bagaimana independensi BPK dalam mengaudit Bank Indonesia pada periode semasa beliau masih di Bank Indonesia.
Di sini bukan maksud saya meragukan integritas Ketua BPK. Para auditor tentu tidak asing lagi dengan istilah independent in appearance dan independent in fact. Dalam hal pertama (in appearance) inilah Ketua BPK Anwar Nasution tidak independen. Untuk mengatasi hal ini maka dapat ditempuh dengan cara yaitu BPK menyerahkan audit Bank Indonesia kepada pihak lain yang kompeten dan independen.
Apalagi kasus aliran dana BI ini terjadi tahun 2003, kemudian baru dilaporkan ke KPK dengan surat nomor 115/I-IV/11/2006 tanggal 14 November 2006. Mengapa ketika hampir 3 tahun lamanya kasus ini baru dilaporkan ke KPK?. Untuk itu langkah Ketua BPK menyerahkan laporan tentang aliran dana BI ke DPR dan Penegak hukum ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah benar. Dengan menyerahkan kepada KPK, Anwar Nasution menunjukan kepada publik bahwa dalam kasus aliran dana BI ini, KPK sebagai pihak yang independen juga memeriksa dirinya sendiri. Bahkan sebaiknya bukan hanya mengenai aliran dana BI tetapi seluruh kegiatan BI semasa Anwar Nasution di BI harus juga diaudit pihak lain yang independen, misal oleh BPKP.
Test Case
Pengungkapan Skandal Aliran BI ke DPR dan penegak hukum menurut saya merupakan test case di awal kepemimpinan Ketua KPK yang baru, Antasari Ashar.
Menurut saya apa yang dilakukan Ketua KPK selain memberikan shock theraphy, juga ingin melihat seberapa besar kah dukungan dan komitmen semua pihak kepada KPK untuk kasus ini.
Sebagai perbandingan ketika masih dalam kepemimpinan Taufik Ruki, KPK di masa awal juga membuat test case yaitu penahanan Gubernur Aceh Abdullah Puteh. (Gubernur BI juga Abdullah, kebetulankah?). Walaupun tidak mulus, namun sejak saat itu penahanan seorang gubernur bukan lagi hal yang tidak mungkin seperti jaman sebelumnya dimana kasus-kasus korupsi kepala daerah tidak mungkin tersentuh (untouchable).
Dalam skandal-skandal BI sebelumnya, ada mitos yang dihembuskan bahwa penahanan seorang Gubernur BI akan berpengaruh kepada kestabilan nilai rupiah. Mitos ini tidak benar dan harus dipatahkan, karena itu KPK harus bekerja keras, mengerahkan seluruh kemampuan untuk membuktikan kebenaran aliran dana BI ini
Apabila dukungan yang diterima Ketua KPK Antasari besar, sehingga penanganan kasus ini berjalan lancar dan dapat membawa semua pelaku ke pengadilan akan memberikan kepercayaan diri kepada KPK untuk membuka kasus-kasus besar lainnya. Namun jika sebaliknya, tekanan kepada KPK besar sekali sehingga penanganan kasus ini tersendat-sendat, , jangan salahkan KPK jika dikemudian hari kembali melakukan “tebang pilih”.
Dan, alam pun nampaknya memihak KPK, dengan tertangkap tangan Jaksa UTG yang diduga menerima suap untuk penghentian penyelidikan kasus BLBI BDNI, akan mendorong pengungkapan aliran dana BI yang diduga juga mengalir ke kejaksaan.
Sekali tepuk, dua atau tiga lalat mati.
Johanes Wardy Sitinjak
The Tracer (http://signnet.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar