Kalau ada 4 orang ahli hukum berkumpul pasti ada lebih 5 pendapat. Itulah gurauan yang ada di masyarakat. Maaf bukan maksud saya meledek para ahli hukum tapi kenyataannya ada benarnya. Contohnya dalam kasus dana aliran BI, ada yang berpendapat KPK melanggar undang-undang karena hanya melihat dan memakai undang-undangnya saja tidak melihat undang-undang yang lahir belakangan. Ahli hukum lain bilang KPK melanggar undang-undang karena undang-undang KPK substansinya untuk umum, untuk siapa saja. Artinya UU KPK tidak berlaku bagai dewan gubernur BI. KPK mestinya paham hal ini. Ini pelanggaran serius yang dilakukan KPK. ( Tabloid Investigasi edisi 23, 4-28 Februari 2008 hal 14 ). Jadi kalimat itu kalau menurut saya yang bukan ahli hukum, UU KPK itu sudah special, tetapi UU BI lebih special lagi…special pake telor. Hebat benar!.
Tapi untunglah masih ada ahli hukum lain yang mempunyai pendapat, yang rasanya paling benar. Pendapat ini diutarakan oleh Romli Atmasasmita, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia dalam Kompas, 23 Februari 2008 halaman 4.
Menurut Romli, kewenangan KPK dalam penyelidikan kasus korupsi tidak terkait dengan kewenangan BI sesuai dengan UU Nomor 3 tahun 2004 tentang BI. Kewenangan BI yang dimaksud terkait dengan sistem pembayaran , moneter dan pengawasan bank. Karena itu, pemeriksaan terhadap Dewan Gubernur BI tak memerlukan izin dari Presiden. ( Dalam artikel Perlukah Ijin Presiden, saya menulis “skandal dana BI tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan fungsi BI. Apa yang dilakukan oleh Gubernur BI bukan menyangkut kebijakan melainkan masalah pertanggungjawaban pengeluaran uang untuk keperluan pembiayaan kegiatan di luar tugas dan fungsi pokok BI.)
Lebih lanjut Romli mengatakan asas hukum lex posteriori derogat legi priori (aturan yang lahir belakangan meniadakan aturan yang dahulu) juga tidak berlaku karena asas itu hanya berlaku untuk UU yang mengatur persoalan yang sama bukan persoalan berbeda. Misal UU tentang BI Nomor 23 tahun 1999 tidak berlaku lagi karena sudah ada UU tentang BI Nomor 3 tahun 2004. (Bandingkan dengan apa yang saya tulis dalam artikel Perlukah Ijin Presiden, yang mengatakan para pembuat amandemen UU BI tahun 2004 tidak cermat dalam melakukan harmonisasi UU. Pemeriksaan pejabat yang bermasalah dengan hukum adalah domain UU KPK sehingga seharusnya UU BI mengacu kepada UU KPK).
Romli juga mengatakan UU KPK dan UU BI memang sama-sama aturan khusus atau lex specialis tetapi UU BI termasuk lex specialis systematic (aturan khusus yang bersifat sistem) sedangkan UU KPK adalah lex specialis derogat legi generali (aturan yang bersifat khusus yang bisa meniadakan aturan yang bersifat umum). Jadi jelas kan, pendapat ahli hukum yang dicantumkan tabloid investigasi edisi 23/2008 ngawur!
Walaupun secara hukum bisa diberikan suatu yang khusus, namun bagi saya yang bukan ahli hukum akan lebih baik lagi jika setiap pemanggilan pejabat oleh KPK terkait pelaksanaan tugas dan fungsi pokok suatu institusi penting tidak perlu ijin presiden. Kalau tidak akan menimbulkan diskriminasi, mengapa untuk Dewan Gubernur BI perlu ijin dengan alasan BI adalah intitusi khusus pemegang otoritas moneter? Bagaimana nanti pejabat Ditjen Pajak juga meminta demikian dengan alasan sekarang ini lebih kurang 80% penerimaan negara asalnya dari pajak. Kok kami tidak diberi aturan khusus? Jangan lupa sektor perbankan yang dalam pengawasan BI masih membebani APBN karena bunga obligasi rekap lebih dari 60 trilyun dan bom waktu jika Obligasi Rekap jatuh tempo pelunasannya sekitar hampir 600 trilyun. (terutama bank-bank rekap yang telah dijual)
Bukankah setiap warganegara sama di hadapan hukum?
Penulis : Johanes Wardy S
The Tracer (http://signnet.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar