Rabu, Januari 16, 2008

RESENSI BUKU : Perusahaan Saling Mematikan dan Bersengkongkol. Bagaimana cara memenangkan?

Penerbit : PT. Elex Media Komputindo

Tahun : 2007

Jumlah halaman : 306 halaman, xix

Penulis : DR. jur M. Udin Silalahi., LLM

Peresensi : Johanes Wardy Sitinjak


Kehadiran sebuah buku patut kita hargai, apalagi untuk hal-hal yang termasuk baru dan barang langka karena selama ini didominasi buku-buku asing/import yang mahal harganya. Apalagi penulisnya orang yang dekat dan terlibat langsung dalam permasalahan hukum persaingan usaha dimana selama periode 2000 – 2004 penulis adalah penasihat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Pembahasan buku ini dibagi beberapa hal yang dianggap oleh penulis sebagai inti dari hukum persaingan usaha, yaitu larangan perjanjian horisontal (horisontal restraint of trade), perjanjian vertikal (vertikal restraint of trade), posisi dominan dan penyalahgunaannya (abuse of dominant position) serta mengatur mengenai penggabungan dan pengambilalihan saham perusahaan. Setiap pembahasan diatas disertai contoh kasus nyata yang porsinya lumayan banyak.

Dalam pembahasan tentang larangan perjanjian horisontal didominasi kasus persengkongkolan dalam proses pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah. Masuknya KPPU mengawasi proses tender sangat tepat sebab saat itu (bahkan masih ada sampai sekarang) proses tender hanya formalitas saja. Di antara peserta tender tersebut melakukan semacam kartel dalam bentuk arisan atau perjanjian diantara peserta tender, siapapun pemenangnya akan membayar fee tertentu kepada peserta lain sebagai perusahaan pendamping. Menurut buku ini kemenangan keputusan KPPU dalam kasus penjualan dua buah kapal tanker Pertamina adalah kemenangan terbesar yang dapat menjadi shock therapy bagi instansi/BUMN lainnya agar tidak melakukan hal yang sama..

Hal yang menarik lain adalah pendapat penulis buku yang tidak setuju terhadap ketentuan larangan mini market dan supermarket menjual barang yang sama lebih murah dengan yang ada di warung atau toko sekitarnya. Ketentuan ini ada dalam Perda No. 2 tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta yang dikeluarkan Pemprov Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, khususnya Menurut penulis buku ini ketentuan ini tidak sesuai dengan konsep Undang-Undang Antimonopoli. Alasannya minimarket atau supermarket memasok barangnya dalam jumlah yang lebih banyak sehingga mendapatkan harga yang lebih murah. Dengan demikian minimarket atau supermarket bebas menjual harga yang diinginkannya. Apakah alasan ini dapat dibenarkan? Menurut saya tidak benar. Kalau kita lihat kata persaingan yang sehat tidak hanya menunjuk pada kesempatan yang sama kepada setiap pelaku usaha untuk menjual barang/jasanya tetapi juga harus fair. Persaingan harus terjadi di antara para pelaku yang sama besar kemampuannya. Jangan pernah dihadapkan warung kecil yang modalnya seadanya dengan minimarket/supermarket. Bagi saya keberadaan minimarket terjadi karena para pengusaha ritel kita kalah bersaing dengan peritel asing. Dengan demikian mereka tidak mau berhadapan langsung (head to head) dengan peritel asing sehingga akhir memilih “turun kelas” membentuk minimarket. Ibarat pertandingan tinju, seorang petinju kelas berat setelah kalah dengan petinju kelas berat lainnya akhirnya turun kelas melawan kelas menengah atau ringan. Apa ini pernah terjadi? Tidak pernah! Justru yang terjadi petinju kelas ringan naik ke kelas menengah atau berat. Seharusnya demikian juga dalam persaingan bisnis ritel. Para peritel nasional harus bersaing sekuat tenaga melawan peritel asing. Apalagi dalam bisnis ritel bukan bisnis yang canggih/sophisticated, bekalnya hanya pelayanan, penampilan yang menarik dan distribusi barang yang lancar. Terbukti di beberapa negara di Asia, peritel besar macam Carrefour harus menutup gerainya. Mengapa di Indonesia tidak bisa?. Bahkan sebaliknya, tidak lama lagi Carrefour akan main juga di kelas yang bawah dengan mengakuisisi Alfa untuk mengantisipasi Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2007 mengenai Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. (Kontan, 4 Januari 2008).

Solusi yang ditawarkan oleh penulis buku agar para warung kecil membentuk kartel pembelian bersama (oligopsoni) untuk mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah juga kurang dapat diimplementasikan dalam prakteknya. Selain modalnya terbatas, sehingga jumlah warung kecil yang bergabung harus cukup banyak, kebutuhan mereka untuk sejumlah barang berbeda sehingga minimum pembelian barang agar harganya lebih murah sulit tercapai.

Melalui buku ini para pembaca dapat memahami bagaimana perusahaan yang penguasaan pasarnya di atas 50% belum tentu dianggap melakukan praktek monopoli atau sebaliknya jika perusahaan hanya memiliki 30 % pangsa pasar tidak dapat menyalahgunaan posisi dominan. Dalam hal ini KPPU yang mempunyai wewenang memutuskan tidak hanya memakai pendekatan per se saja tetapi juga memakai pendekatan rule of reason. Pendekatan per se artinya sesuai dengan aturan per pasal sedangkan pendekatan rule of reason lebih mementingkan aspek ekonominya apakah menguntungkan masyarakat. Contohnya Bogasari Flour Mills mempunyai pangsa pasar tepung terigu lebih dari 50% tetapi karena tidak melakukan monopoli KPPU tidak melarang. Ini juga menunjukkan undang-undang antimonopoli tidak anti perusahaan besar tetapi juga mendorong perusahaan menjadi besar melalui persaingan yang sehat.

Buku ini juga menyoroti masalah penggabungan perusahaan baik melalui merger atau akuisisi. Di negara-negara maju pengawasan merger dan akuisi adalah pre-merger control. Artinya sebelum merger atau akuisisi suatu perusahaan terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari lembaga pengawas persaiangan. Hal ini berbeda di Indonesia, UU No.5/1999 tentang antimonopoli dan persaingan tidak sehat pasal 28 dan 29 mengatur sistem pengawasan kemudian/ post merger control . Namun aturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah tentang Merger Guideline belum ada. Kelemahan post merger control adalah apabila terjadi pembatalan padahal proses merger dan akuisi sudah selesai dilakukan. Ini tidak hanya merugikan perusahaan yang bersangkutan dan kepastian iklim investasi di Indonesia, tetapi juga pada akhirnya konsumen ikut dirugikan. Sebagai contoh dalam kasus kepemilikan saham Indosat dan Telkom oleh perusahaan yang tergabung dalam Temasek Group. Apabila nanti pengadilan memenangkan KPPU bahwa kepemilikan silang Temasek di Telkom dan Indosat mengakibatkan price leadership dalam penentuan tarif berarti konsumen telah dirugikan karena tarif yang kemahalan. Hal ini dapat dihindari jika merger dan akuisisi diawasi dalam sistem pre-merger control.

Buku ini juga mengungkapkan kelemahan lain UU No. 5/1999. UU ini tidak membedakan mana hal yang termasuk persaingan tidak sehat dan mana yang persaingan yang curang/tidak jujur. Ini menyulitkan tindak lanjut pelaksanaan di lapangan karena tidak ada ketentuan yang mengatur persaingan yang curang/tidak jujur. Misal sebuah perusahaan baru (new entran) meluncurkan produk X. Ternyata pesaingnya memborong semua produk X tersebut dan menyimpannya dalam suatu gudang. Ketika produk X kadaluarsa, pesaingnya itu melempar kembali ke pasar. Akibatnya konsumen tidak mau membeli dan image perusahaan produk X tersebut hancur karena menjual barang kadaluarsa.

Terakhir, buku ini terasa padat sekali sehingga bagi para pembaca yang pernah mendalami topik persaingan usaha tidak akan menemui kesukaran untuk memahami kasus-kasus di dalam buku ini. Namun, bagi pembaca yang masih awam disarankan membaca dulu UU No. 5/1999 dan buku lainnya yang porsi penjelasan teorinya lebih banyak.

Webblog : The Tracer (www.signnet.blogspot.com)

.

Tidak ada komentar: