Senin, Januari 14, 2008

PERLINDUNGAN SAKSI PELAPOR JALAN DI TEMPAT

The best friend of fraud against the government is not the corrupt public official nor the greedy private contractor. Rather, it is the popular refrain: "I don't want to get involved." Most people in a position to blow the whistle are convinced the costs of getting involved are too high, and the benefits too low.

(Daniel Small, Aug 24, 1997 )

Sudah setahun lebih UU Perlindungan Saksi dan Korban sejak yang disahkan 18 Juli 2006 itu, namun sampai saat ini Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban belum dapat berfungsi. Saat ini masih dalam proses seleksi pimpinannya. Nampaknya masih lama lagi lembaga ini akan dapat memulai tugasnya. Ya, memang masih jauh dari harapan. Belum lagi nanti seretnya anggaran operasional lembaga ini. Padahal dukungan dana yang besar menjadi syarat keberhasilan lembaga ini. Tanpa dukungan dana yang besar tidak akan dapat melindungi nasib para pelapor yang selama ini tidak bagus.

Nasib para pelapor (whistleblower) kasus korupsi memang tidak bagus. Sebagian besar para whistleblower mengalami penderitaan mulai dari dikucilkan oleh teman-teman sekerjanya, dipindahkerja ke bagian yang tidak strategis, dibatasi akses kewenangannya sampai dipecat dari pekerjaannya. Belum lagi teror kepada anggota keluarga dari para pelapor, bahkan tidak sedikit para pelapor ini yang menerima “pembalasan”/retaliation secara fisik dari perusahaan yang tidak suka aksi kecurangannya dilaporkan oleh mereka.

Kita ingat bagaimana nasib Endin, Kito Irkhamni, Romo Frans yang melaporkan adanya penyimpangan, namun akhirnya mereka dipenjara dengan tuduhan pencemaran nama baik. Di negara lain pun, hanya sebagian kecil saja pelapor yang tidak mengalami “penderitaan”. Salah satunya adalah Cynthia Cooper mantan vice president of internal audit pada WorldCom yang melaporkan kecurangan terbesar yang pernah dilakukan suatu perusahan publik dalam sejarah Amerika. Atas keberaniannya itu, Cynthia Cooper menerima penghargaan dalam American Institute of Certified Public Accountants’ (AICPA) Business dan Industry Hall of Fame tahun 2004.

Keengganan menjadi saksi pelapor

Keengganan untuk terlibat disebabkan dari dua pandangan. Pertama, budaya di beberapa negara melarang orang untuk menceritakan kesalahan pihak lain kepada umum. Di Indonesia, jangan kan menceritakan kesalahan orang lain, menyampaikan sesuatu pendapat yang berbeda dengan atasan, walaupun pendapat itu lebih baik/benar apabila dengan cara yang “tidak tepat” atau tidak santun adalah hal yang tabu. Bahkan di Amerika, negara yang mengaku “paling demokratis” saja, kata whistleblower mengandung konotasi negatif. Maka tidaklah heran, Barron Stone, seorang Certified Public Accountant (CPA) lebih menyukai jika dirinya disebut “informan” dibandingkan “whistleblower/pelapor”. Stone adalah orang yang membuka kecurangan perusahaan Duke Energy Corp. Menurutnya, para pelapor biasanya dicap karyawan yang bermasalah (troublemaker), karyawan yang tidak puas (disgruntled employee), tukang ngaduh, atau cari muka/sensasi. Khariansyah pun pernah disebut “Kampungan” oleh mantan “Bos”-nya dulu.

Dengan demikian sangatlah menarik pernyataan dari Magsaysay Foundation dalam pemberian penghargaan Magsaysay Award kepada Jiang Yangyong, seorang pensiunan dokter militer yang mengungkapkan fakta sebenarnya dari penyebaran SARS (yang berusaha ditutupi pihak penguasa China).

''A small dose of truth can sometimes make all the difference, especially in societies where speaking out is not the norm,''

Kedua, adalah besarnya resiko yang dihadapi. Untuk apa melakukan suatu hal yang benar, jika nantinya akan menjadi pengalaman yang menyulitkan dan menyakitkan. Orang Betawi bilang, “Mendingan elu kagak usah ikut campur deh, urusannya panjang nanti”.

Jadi sudah jelas, mengapa seorang pegawai/pejabat pemerintah atau pegawai swasta enggan menjadi saksi pelapor, bila hanya mengeluarkan energi dan biaya yang besar sedangkan manfaat yang akan diterimanya tidak jelas dan kabur. Menurut mereka melaporkan informasi negatif bisa menghancurkan karir. James Fisher, Director Of the Emerson Center For Business Ethics at Saint Louis University, mengatakan “The kiss of death for a career is to get a reputation as someone who is not a team player”. . Adalah kenyataan bagi para pelapor yang kehilangan pekerjaannya, di kemudian hari sangat sulit mencari perusahaan lain untuk menerima kembali sebagai karyawan. Perusahaan mana yang mau memperkerjakan karyawan yang sebelumnya menjadi “mata-mata” atau “menghianati” atasannya terdahulu. Praktik yang umum pada organisasi/perusahaan di Indonesia, apreasiasi terhadap pegawai yang loyal dan “yes man” lebih dihargai dan dicari dibandingkan pegawai yang jujur dan kritis..

Peranan Saksi Pelapor

Walaupun ada hambatan dari segi budaya dan resiko, keengganan masyarakat menjadi saksi pelapor harus dikikis, jangan sampai masyarakat menjadi apatis dan tidak mau tahu. Bagaimana pun peranan pelapor mempunyai pengaruh yang berarti karena :

Insider Information

Mempunyai dua ciri khas yaitu pertama, biasanya para pelapor adalah orang/pihak yang ada “dalam” organisasi/perusahaan itu. Bahkan pelapor mengetahui langsung dan menguasai bukti-bukti dokumen suatu penyelewengan/kecurangan yang dilakukan organisasi/perusahaan sehingga informasi yang dilaporkan kepada pihak terkait (luar) dapat dipercaya kebenarannya. Kasus percaloan di DPR, terungkap justru dari laporan seorang anggota DPR dari Fraksi Bintang Reformasi.

Demikian juga kasus-kasus kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar di Amerika di laporkan oleh para auditor internal perusahaan tersebut yaitu : Cynthia Cooper (Worldcom), Sherron Watkins (Enron), Baron Stone (Duke Energy) dan Roy Olofson (Global Crossing).

Kedua, akibat dari laporan para saksi pelapor umumnya sangat signifikan. Bagaimana pun juga, berkat Khariansyah, kita dapat mengetahu bahwa KPU mempunyai “dana taktis” sebesar Rp.20 milyar dan sebagian pejabat KPU yang terlibat, kasusnya telah masuk dalam persidangan. Di Amerika, perusahaan seperti Enron, WorldCom dan Global Crossing mengalami kebangkrutan setelah dilaporkan melakukan kecurangan. Bahkan, Bernard Ebbers, mantan CEO WorldCom dihukum 25 tahun penjara.

Menghemat biaya dan waktu

Keuntungan menciptakan suatu kondisi yang “kondusif” bagi para pelapor adalah menciptakan kekuatan kontrol yang dashyat asal siapa saja yang memberikan informasi dan menjadi saksi pelapor yang dilindungi. Masyarakat dan karyawan semuanya akan menjadi pengawas terhadap penyelewengan/korupsi.

Kita sudah terlalu banyak disuguhi kasus-kasus korupsi atau penyelewengan yang terjadi. Penyalahgunaan BLBI yang membuat negara ini krisis seharusnya dapat dicegah seandainya saja ada orang dalam, baik dari staf Bank Indonesia atau pun dari bank yang “dibekukan” yang mau dan berani menjadi saksi pelapor. Selain itu, dengan semakin kompleknya suatu organisasi/perusahaan, sekarang ini, sangat sulit mengungkapkan korupsi/penyelewengan tanpa bantuan seseorang dalam organisasi. Bahkan dalam kasus Enron, setelah lebih dua tahun dan 1 juta jam penyelidikan, jaksa penuntut masih membutuhkan bantuan Andrew Fastow, mantan CFO Enron untuk memutuskan apakah jaksa bisa membawa Kennnet Lay dan Jeffrey Skilling, mantan CEO Enron ke pengadilan.

Kolusi para pimpinan organisasi/perusahaan dan Pegawai “yes-man

Sulit mengungkapkan kasus-kasus besar tanpa bantuan orang dalam. Hal ini tidak hanya disadari oleh para auditor/aparat penegak hukum, tetapi juga para pelaku (umumnya pimpinan/posisi tinggi). Para “bos” ini sangat selektif dalam merekrut para pegawai yang akan menjadi staf-nya dan memberikan gaji tinggi serta fasilitas memadai sehingga akhirnya para pegawai menjadi “ yes-man”. Semakin tinggi posisi pegawai itu, semakin besar gaji dan fasilitas yang diterima, semakin takutlah ia kehilangan posisi maka akan semakin menjadi “yes-man” pegawai tersebut sehingga tidak peduli lagi dan diam saja jika terjadi penyelewengan/penyalahgunaan yang melibatkan pimpinan.

"A number of people at Enron knew what was going on, but they were making too much money to say anything," demikian dikatakan Sharron Watskin (yang melaporkan kecurangan Enron Corporation)

Kita tentunya tidak mau jika kasus Parmalat, perusahaan susu dari Italia terjadi lagi. Kecurangan Perusahaan susu itu terbongkar setelah 15 tahun lamanya bukan karena laporan dari para pegawainya atau diketahui aparat, melainkan karena bertransaksi sendiri dengan empty shell company dari Perusahaan Parmalat sendiri.

Johanes Wardy Sitinjak (Praktisi Audit, tinggal di Jakarta)

Weblog : The Tracer (www.signnet.blogspot.com)

Tidak ada komentar: