Senin, Januari 07, 2008

Penunjukan Langsung, Langsung Enaaak


(Tulisan ini dibuat ketika ada perseteruan antara Mensegneg Yusril dan Ketua KPK mengenai pengadaan barang alat deteksi sidik jari.)


Jangan salah sangka dulu, judul di atas bukan berarti saya setuju bahwa setiap pengadaan dengan alasan mendesak, penyedia jasa tunggal, pekerjaan yang perlu dirahasiakan dan lain-lain seperti yang disebutkan dalam Keppres 80/2003 harus melalui penunjukan langsung.
Tulisan saya juga tidak dimaksudkan untuk memihak salah satu pihak dalam kasus “perseteruan “ antara Mensegneg, Yusril dengan Ketua KPK, Ruki. Terlepas apakah itu sikap reaktif atau tidak etis, tindakan Yusril melaporkan Ketua KPK karena adanya perlakukan tidak adil atau standar ganda menurut saya wajar saja. Saya heran banyak pihak yang mengatakan itu bentuk perlawanan balik atau bahkan mengkaitkan tidak kompaknya anggota jajaran kabinet. Saya justru kecewa jika perseteruan ini diselesaikan secara “politis” seperti perkembangan saat ini di mana Wapres turun tangan yang mengatakan keduanya benar.
Dalam kasus Yusril vs Ruki ada dua hal yang menarik untuk didiskusikan. Yaitu pertama permasalahan penunjukan langsung dan kedua, posisi KPK dan aparat pemberantasan korupsi lainnya.

Masalah Penunjukan langsung
Masalah penunjukan langsung adalah apakah kriteria penunjukan langsung telah sesuai dengan Keppres 80/2003 dan apakah dengan penunjukan langsung itu mendapatkan harga yang paling baik bagi negara.
Pada dasarnya, auditor tidak begitu perduli dengan prosedur pengadaan yang dilakukan apakah penunjukan langsung atau melalui tender. Concern auditor lebih pada apakah dengan salah satu metode pengadaan tersebut mendapatkan barang yang berkualitas dan harga yang wajar (harga pasar), apalagi jika mendapatkan harga yang dibawah harga pasar dengan kualitas yang sama. Karena di negara ini berlaku the singer not the song, tidak bisa diambil kesimpulan jika melalui tender, tidak terjadi penyimpangan. Namun masalahnya, penunjukan langsung menyiratkan aroma lebih tidak sedap karena pihak yang terlibat hanya pihak yang menunjuk dan ditunjuk, biasanya tidak transparan karena alasan misalnya mendesak dan rahasia. Alasan-alasan ini seringkali menjadi senjata yang ampuh bagi para pelaku karena “debatable”
Yusril telah menunjukan argumentasinya di sebuah TV swasta bahwa pengadaan alat penyadap di KPK sebenarnya tidak mendesak dan tidak begitu rahasia dibandingkan pengadaan sistem deteksi sidik jari. Apakah Yusril benar? Dari segi teknis, diharapkan para pakar IT bersuara, tentu tidak hanya Roy Suryo saja pakar yang bisa menjelaskan.
Sebagai tambahan informasi, dalam “The Art Of Corruption”, penulis buku, Sam Santoso melakukan penyadapan terhadap seluruh telpon pegawai di suatu perusahaan, via telepon kantor, rumah, HP dengan teknologi penyadapan tertentu, mini sender, dan rich-microphone (tele microphone). Pada beberapa kasus digunakan peralatan GPS (global positioning system) dengan 12 features dipasang pada mobil dinas. Investigasi di lapangan berlangsung selama 3 tahun sejak tahun 1999. Hasil penyadapan tersebut hanya 15% saja mendapatkan pelaku yang benar-benar koruptor. Lebih dari 50% merupakan pembicaraan pribadi dan dinas.
Bagaimana kinerja KPK setelah memakai alat penyadap? Berapa persen penggunaan alat penyadap itu yang dapat membuktikan pelakunya benar-benar koruptor? Kalau penggunaan alat penyadap dapat membuktikan minimal 50% pelaku adalah koruptor tentu layak kita dukung pengadaan alat penyadap.


Harga wajar
Sebelumnya dikatakan bahwa para auditor lebih concern terhadap apakah harganya wajar atau tidak ada mark- up. Pengalaman menunjukan bahwa harga yang terjadi dengan memakai penunjukan langsung biasanya kemahalan atau di mark-up. Terlepas apakah ada unsur kolusi, hal ini sebenarnya ada penjelasan teorinya.
Dalam “Strategi manajemen pembelian”, karangan R. Eko Indrajit bersama R. Djokopranoto di perusahaan swasta, menyebutkan untuk mendapatkan harga yang tepat ada 6 faktor yang mempengaruhi yaitu :
1. Harga pasar,
2. Falsafah perusahaan (fungsi pembelian apakah pusat biaya atau keuntungan),
3. Waktu Pembelian, yaitu : apakah buyer market atau seller market,
4. Minimum nilai barang yang harus dibeli,
5. Cara Pembelian dan Waktu Pembayaran
6. Struktur Pasar (Pasar Persaingan Murni, Oligopoli, Monopoli).


Dalam kebanyakan kasus pengadaan pada berbagai instansi pemerintah dengan memakai penunjukan langsung, harganya kemahalan atau dimark-up karena struktur pasarnya menjadi monopoli (penyedia satu saja) dengan demikian posisi tawar pembeli (pemerintah) lemah karena waktu pembeliannya (alasan rahasia dan mendesak) menyebabkan terjadi seller market (posisi penjual lebih dapat menentukan harga), minimum pembelian untuk harga yang lebih tidak tercapai dan falsafah pembelian adalah pusat biaya/cost center, bukan pusat keuntungan/revenue center.
Dengan demikian berdasarkan teori dan praktek di lapangan bahwa penunjukan langsung (biasanya) mengakibatkan harga kemahalan atau di-mark-up, maka sebaiknya penunjukan langsung hanya digunakan untuk pengadaan pekerjaan yang nilainya kecil dan akibat bencana alam saja. Tentu saja KPK dan lembaga-lembaga sejenisnya harus terlebih dahulu menjadi teladan tidak menggunakan penunjukan langsung!
Ini sebenarnya peluru yang ditembakan Yusril kepada KPK!.


Posisi KPK dan Lembaga audit lainnya.
Masalah kedua dari Yusril vs Ruki adalah posisi KPK dan badan audit lainnya dalam “kesucian”. Sebenarnya tindakan semacam yang dilakukan Yusril sudah ada sejak lama. Tentu rekan-rekan auditor pasti mengalaminya. Pengalaman ditanya auditee (instansi yang diperiksa); “Apakah instansi anda juga telah melakukan dengan benar” tentu bukan hanya satu atau dua kali dilontarkan, tetapi mungkin setiap kali para auditor menemukan adanya penyimpangan di instansi yang diaudit tersebut.
Kasus laporan Yusril ini merupakan refleksi kembali bagi instansi-instansi seperti KPK dan lembaga sejenis agar jangan seperti kata pepatah “semut di seberang lautan tampak, gajah dipelupuk mata tidak nampak”. Apakah segala suatu dalam intern mereka telah berjalan dengan baik dan sesuai prosedur, tidak hanya dalam pengadaan barang dan jasa tetapi juga dalam hal lain misalnya penerimaan pegawai. Jangan pernah ada lagi dalam penerimaan pegawai baru dimana seorang pengawai baru telah diterima sebagai ahli dalam bidang komputer (bukan hardware) ternyata untuk menjalankan aplikasi excel yang sederhana saja membutuhkan waktu yang lama. Lucunya lagi, pegawai tersebut diperebutkan oleh dua pejabat bagian lain yang mengira pegawai baru tersebut benar-benar ahli komputer.
Sebagai penutup, penulis mengutip apa yang ditulis Bertrand de Speville “Why do anti-corruption agencies fail” bahwa badan anti korupsi dapat gagal karena salah satunya adalah badan itu sendiri korup. Semoga tidak demikian!

Oleh :
Johanes Wardy Sitinjak
Blog : The Tracer (www.signnet.blogspot.com)

Artikel ini telah dimuat dalam Harian Bisnis dan Investasi Kontan.

Tidak ada komentar: