Sabtu, Januari 05, 2008

Belajar dari Kasus VLCC

Jika tidak ada KPPU mungkin rasa ingin tahu penulis mengapa penanganan kasus penjualan 2 kapal tanker Pertamina Very Large Crude Carrier (VLCC) terkesan berlarut-larut, tidak terpuaskan.
Melalui softcopy salinan keputusan KPPU atas kasus VLCC yang penulis download dari website : www. kppu.go.id setidaknya rasa ingin tahu penulis terpuaskan. Jadi sudah sepantasnya penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-sebesarnya kepada KPPU. Penghargaan ini terutama karena KPPU sebagai suatu lembaga yang membuka informasi detail mengenai apa yang mereka kerjakan dalam bentuk keputusan/penetapan sehingga publik dapat melihat dan menilai kinerja mereka. Keterbukaan KPPU tidak menunggu adanya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), yang sampai sekarang belum juga disahkan. Hal ini seharusnya dapat menjadi pelajaran bagi instansi lainnya untuk membuka informasi mengenai kegiataan mereka tanpa menunggu UU KIP. Terutama untuk instansi-instansi yang terlibat dalam pemberantasan korupsi seperti KPK, BPK dan BPKP. Kasus-kasus yang selesai ditanggani seharus bisa dibuka untuk publik dan dipublikasikan di website masing-masing seperti yang dilakukan KPPU sehingga menjadi bahan yang menarik untuk dipelajari dan didiskusikan. Selama ini yang dipublikasikan oleh instansi-instansi tersebut hanya jumlah kasus, temuan dan kerugian negara yang manfaatnya sangat kecil dalam pembelajaran buat publik.

Kasus korupsi ?
Apakah kasus penjualan VLCC adalah kasus korupsi? Bila dilihat dari salinan keputusan KPPU menurut penulis masih perlu pendalaman dan pengembangan lebih luas terhadap bahan-bahan yang ada. Namun penulis setuju dengan keputusan KPPU telah terjadi diskriminasi perlakuan di antara para peserta sehingga merugikan salah satu peserta lelang.
Sebenarnya kasus ini sederhana saja dan bisa berjalan normal jika pihak Pertamina bertindak tegas dan tidak ragu-ragu. Ketika pihak Essar sebagai penawar tertinggi tidak dapat memenuhi persyaratan-persyaratan dalam Sales Purchase Agreement (SPA) maka otomatis Frontline sebagai penawar tertinggi yang kedua menjadi pemenang. Keraguan-keraguan Pertamina mungkin dikarenakan terdapat selisih cukup besar senilai US$ 5 juta antara penawaran Essar dengan penawaran Frontline.
Persoalan berkembang karena dalam salinan keputusan KPPU juga memuat potensi kerugian negara akibat penjualan 2 buah VLCC. Menurut KPPU, potensi kerugian negara sebesar antara US$ 20 juta – US$ 56 juta atau antara Rp. 180 Milyar – 504 Milyar. Keputusan KPPU ini berdasarkan artikel dalam http://www.tradewinds.no/ tanggal 14 Juni 2004 dan saksi ahli mengenai harga pasar kedua kapal tersebut. Apa yang dilakukan KPPU menurut penulis tidak ada salahnya, namun terkesan jump to conclusion karena secara kronologis dalam salinan keputusan KPPU tidak ada prosedur yang menyimpang atau intervensi yang mempengaruhi harga penawaran VLCC kecuali diskriminasi dalam pemberian kesempatan penawaran kembali kepada para peserta lelang.

Floor Price
Dalam tender pengadaaan barang dan jasa, dikenal istilah Owner’s Estimate (OE) atau Harga Perkiraan Sendiri. OE dipakai sebagai ceiling price atau batas atas harga penawaran. Pemenang ditentukan berdasarkan yang paling rendah terhadap ceiling price. Demikian juga seharusnya dalam tender penjualan aset negara harus ada OE. Kebalikan dari tender pengadaaan barang dan jasa, OE tender penjualan aset negara dipakai untuk menentukan floor price atau batas bawah. Pemenang tender penjualan aset adalah yang penawarannya yang paling tinggi di atas floor price. Sayangnya dalam tender penjualan aset belum mempunyai payung hukum seperti Keppres 80/2003 tentang pengadaan barang dan jasa sehingga mungkin tiap instansi/BUMN memakai prosedur yang berbeda di lingkungannya masing-masing. Akibatnya dalam tender penjualan VLCC terkesan pemenang dipilih hanya berdasarkan penawaran tertinggi para peserta yang masuk, tidak peduli apakah harga penawaran tersebut menguntungkan bagi negara atau tidak. Inilah pintu masuk untuk membawa kasus ini ke arah kasus korupsi. Apakah pihak Pertamina melalui Tim Divestasi dan GS telah menentukan floor price sebelumnya? Jika floor price sudah ditentukan maka dapat dibandingkan dengan harga pasar yang KPPU telah dapatkan. Jika ada perbedaan yang material akan menjadi petunjuk apakah penentuan floor price melalui analisis harga dan survey pasar serta bebas dari intervensi dari berbagai pihak.
Payung hukum
Tidak seperti pengadaan barang dan jasa, tendernya seragam karena telah diatur Keppres 80 tahun 2003. Tender penjualan aset negara belum diatur sehingga kemungkinan berlaku bisa berbeda di tiap instansi atau BUMN. Padahal ada beberapa hal penting yang menurut penulis perlu untuk membuat aturan tersendiri dan seragam mengenai tender penjualan aset , yaitu :
a. Walaupun telah ada aturannya, tender pengadaan barang/jasa selama ini disinyalir sarat dengan praktek-praktek persengkongkolan, baik antar peserta maupun dengan penyelenggara, yang tidak mencerminkan persaingan sehat. Hal ini menimbul pertanyaan, apakah tidak demikian juga yang terjadi dengan tender penjualan aset? Apalagi aset yang dijual dapat berupa aset fisik (kapal, pabrik dll) dan aset non fisik (kepemilikan saham, piutang, dll).
b. Penggunaan konsorsium dalam rangka untuk mengikuti tender penjualan. Tingginya harga aset yang dijual membuat hanya peminat yang mempunyai modal besar saja yang memenuhi syarat. Untuk mengatasi tingginya harga aset biasanya beberapa peminat membentuk konsorsium. Hal secara tidak langsung ini menciptakan entry barier bagi peserta yang secara teknis memenuhi syarat tetapi modalnya tidak mencukupi. Perlu dikaji apakah tidak sebaiknya tender penjualan aset ini dipecah dalam beberapa bagian/lots. Dengan demikian peserta yang ikut serta didalam tender akan semakin banyak dan semakin menciptakan persaingan yang sehat/fair.
c. Bagaimana jika aset yang dijual adalah BUMN yang memegang hak monopoli berdasarkan aturan pemerintah ? Jika yang dijual adalah seluruh kepemilikan saham pemerintah mungkin pemerintah mau mencabut hak monopoli tersebut karena BUMN tersebut sudah menjadi perusahaan swasta. Bagaimana jika setelah dijual, kepemilikan saham pemerintah tidak mayoritas lagi? Tentu jika hak monopoli ini masih dipertahankan, pemerintah melakukan diskriminasi karena memberikan priviledge kepada pihak tertentu saja.
Johanes Wardy Sitinjak

Keterangan :
Artikel ini telah diterbitkan dalam Tabloid Bisnis dan Investasi : Kontan