Rabu, Januari 30, 2008

Dosa - dosa SPV


Dua kasus dalam hal kepemilikan perusahaan diberitakan hampir bersamaan oleh media awal Desember 2007 yang lalu. Kasus pertama, kepemilikan silang Temasek di Indosat dan Telkom. Kasus kedua, kepemilikan PT. Vista Bella Pratama atas aset PT. Timor yang diduga terkait dengan Humpus Group. Kedua kasus ini memiliki kesamaan yaitu penggunaan Special purpose vehicle (SPV) untuk membeli saham atau aset perusahaan lain.

Special purpose vehicle (SPV) dikenal juga dengan nama Special Purpose Entities (SPE) atau Shell Company memang bukan hal yang asing dalam bisnis. Beberapa penggunaan SPV diantaranya adalah pertama, untuk mengisolasi resiko. Misal perusahaan mau berinvestasi di bidang yang berbeda dengan core bisnis-nya. Resiko kegagalan investasi ini cukup tinggi sehingga agar tidak merugikan pemegang saham lama maka investasi ini perlu dipisahkan dengan membentuk SPV.
Kedua, untuk perpajakan. Misal perusahaan akan menerbitkan obligasi. Bila diterbitkan oleh perusahaan itu maka akan terkena witholding tax sebesar 20% sesuai pasal 26 UU pajak. Namun bila diterbitkan oleh perusahaan di luar negeri yang mempunyai perjanjian penghindaran pajak berganda (PPPB) maka besarnya witholding tax lebih kecil atau bahkan nol. SPV biasanya didirikan di negeri tax heaven seperti di Mauritius, Christmast atau Caymand Island. Sebelum bangkrut, Enron benar-benar memanfaatkan loophole ini. Melalui 692 SPV yang dipunyainya di Caymand Islands dan 200 SPV lainnya yang tersebar di Turks, Caicos Islands, Mauritius, Bermuda, Panama, Barbados dan Guernsey, selama tahun 1996-2000, Enron mendapatkan profit sebesar $2 milyar tetapi hanya membayar pajak $17 juta untuk tahun 1997 saja. Itupun setelah mendapat pengurangan pajak sebesar $ 381 juta. Bahkan, Enron bukan satu-satunya perusahaan yang masuk dalam Fortune 500 yang tidak membayar pajak. Study yang dilakukan Citizen for Tax Justice ada sekitar 48 perusahaan yang tidak mempunyai hutang pajak pada tahun 1997.
Ketiga, untuk tujuan sekuritisasi aset. Peraturan Bank Indonesia nomor 7/4/PBI /2005 menyebutkan sekuritisasi aset adalah penerbitan surat berharga oleh penerbit Efek Beragun Aset (EBA). Esensi dasar sekuritisasi adalah untuk mentransformasikan suatu aset yang asalnya tidak likuid menjadi aset lain yang lebih likuid. Aset yang dialihkan adalah tagihan kredit pemilikan rumah, tagihan credit card dan lain-lain. Melalui transaksi ini kreditur asal selaku pemilik aset akan mendapat kas sebagai hasil penjual atas pool of asset sedangkan investor akan memperoleh pembayaran pokok dan bunga EBA yang besarnya mengikuti jadwal pembayaran angsuran debitur.

SPV atau SPE juga dapat dipakai untuk menutupi kecurangan yang dilakukan suatu perusahaan. Bankrutnya perusahaan besar seperti Enron dikarenakan penggunaan SPE yang salah. Bala G Dharan, Ph.D, CPA dalam Financial Engineering with Special Purpose Entities, mengatakan Enron menggunakan 2 tipe SPE yaitu Raptor dan Braveheart. SPE tipe Raptor digunakan untuk Off-Balance Sheet Financing or Hiding of Debt or Hiding of poor performing assets sedangkan SPE tipe Braveheart untuk memanipulasi management of earnings.
Tidak heran setelah kasus kebangkrutan Enron, SPE dikonotasikan negatif, bahkan saat itu SPE sempat diplesetkan menjadi (maaf) Sh*t Puke Everywhere.

Di Indonesia penggunaan SPV marak pada saat penjualan aset oleh BPPN atau Divestasi Aset seperti Indosat dan BCA. Dalam penjualan aset BPPN, ditenggarai penggunaan SPV dilakukan pemilik lama agar mendapatkan kembali aset-asetnya. Kasus Vista Bella Pratama adalah mungkin salah satu contohnya. Saat itu memang BPPN sedang fokus mengejar target penerimaan untuk menutup bolongnya APBN sehingga terkesan tidak meneliti secara dalam apakah calon pembeli terkait dengan pemilik lama. Satu-satunya yang dapat diandalkan adalah calon pembeli harus menandatangani surat pernyataan tidak terkait dengan pemilik lama. Apakah ini cukup? Tentu saja tidak. Saat itu Internal Auditor BPPN telah memberi peringatan baik secara langsung atau tidak akan penggunaan SPV ini.
Kehadiran SPV ini sebenarnya dapat diendus dan dicegah dengan melihat beberapa ciri-ciri sebagai berikut : Pertama, didirikan di negeri tax haven seperti Cayman, Mauritius dan negeri negeri kecil di Karibia. William B. Catlin, seorang produser BBC dan investigator dari Kroll Associates, dalam bukunya Offshore : The Dark Side Of The Global Economy mengatakan, “No taxes of any kind in Cayman. No Reports to any government. Confidential Accounts with complete privacy. Cayman law has granted its artificial people”. Dengan demikian ada tiga hal utama yang menjadi tujuan seorang bila mendirikan perusahaan di Cayman yaitu tax free sepanjang bisnisnya di luar Cayman, keamanan, dan kerahasiaan, terutama siapa pemilik sebenarnya.
Kedua, jika perusahaan tersebut didirikan di Indonesia, perusahan itu adalah paper company, yang mempunyai ciri-ciri belum lama didirikan dan atau tidak ada kesamaan bisnis dengan perusahaan yang akan dibeli, bahkan tidak ada kegiataan/aktifitas normal sebagaimana perusahaan dalam 1-2 tahun terakhir (sleeping company).
Selain melalui kedua hal diatas, cara lain yang digunakan pemilik lama untuk mendapatkan asetnya kembali melalui perusahan pembiayaan/investment company.

Sebenarnya ada peraturan yang dapat melarang jika calon pembeli, baik dalam program penjualan aset BPPN atau Divestasi saham seperti BCA atau Indosat termasuk dalam ke tiga hal diatas. Aturan tersebut adalah Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Pasal 13 yang menyatakan kepemilikan bank oleh badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 3 ayat (2) setinggi-tingginya sebesar modal sendiri bersih badan hukum yang bersangkutan. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 telah diperbaharui dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/27/KEP/DIR tanggal 15 Desember 2000 tentang Bank Umum, namun untuk pasal-pasal tersebut, urutan dan isi tidak berubah.
Aturan lain adalah Keputusan Menteri Keuangan No. 448/ KMK.0.17/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan pasal 15 peraturan tersebut yang mensyaratkan, bahwa jumlah maksimal penyertaan modal bagi badan hukum (pemegang saham berbadan hukum) pada suatu perusahaan pembiayaan, adalah sebesar modal sendiri.
Kedua peraturan ini memang hanya mengatur perusahaan pembiayaan dan pemilikan bank umum. Namun subtansinya dapat diterapkan pada semua jenis perusahaan. Aneh rasanya perusahaan yang paper company atau sleeping company atau modalnya ecek-ecek dapat membeli aset atau mengakuisisi perusahaan yang nilainya trilyun?

Dengan demikian menurut saya jika aturan ini diterapkan pada program penjualan aset BPPN dan divestasi saham pemerintah, SPV yang menang sekurang-kurangnya memiliki jumlah modal yang tidak dapat ditarik sebesar penyertaannya pada perusahaan target. Jadi Indonesian Communication Limited dan Farallon Capital yang menjadi pemenang tender Indosat dan BCA setidak-tidaknya harus memiliki modal sendiri yang tidak dapat ditarik dalam jumlah yang sama. Demikian juga jika Vista Bella masuk dalam ciri-ciri SPV tersebut diatas atau investment company ia harus memiliki modal sendiri yang besarnya sama dengan asset PT. Timor yang dibeli dari BPPN.

Sebagai penutup artikel ini ada dua hal harapan saya. Pertama, agar Menkeu segera meminta anak buahnya melakukan inventarisasi semua SPV selama penjualan aset BPPN. Termasuk SPV yang didirikan oleh BPPN sendiri untuk keperluan restrukturisasi. Ditenggarai SPV tersebut dibentuk untuk mengalihkan non perfoming aset PT. X, yang kemudian dijual murah dengan diskon diatas 50% dalam program penjualan. Sementara itu tagihan PT. X tersebut ke BPPN tanpa diskon dibayarkan oleh BPPN. Penyelesaian terbaik yang seharusnya adalah set off .
Kedua, perlu ada aturan khusus mengenai SPV. Beberapa negara ASEAN pun sudah mempunyai peraturan tentang SPV. Jangan sampai SPV yang seharusnya memberikan manfaat ternyata justru memberikan jalan bagi pihak tertentu untuk mengambil keuntungan pribadi atau kelompoknya.


Referensi :
- William B. Catlin, dalam bukunya Offshore : The Dark Side Of The Global Economy
- Bala G Dharan, Ph.D, CPA dalam Financial Engineering with Special Purpose Entities,
- Media Akuntansi, Problematika SPV
- Special Purpose Vehicle (SPV) : Layakkah ia hidup di Indonesia


Artikel ini telah dimuat di Harian Kontan

Tidak ada komentar: