Sabtu, Januari 05, 2008

Belajar dari Kesalahan (Orang lain)

Barangkali jika Napoleon masih hidup, ia mungkin sangat marah kepada para pemimpin bangsa ini, karena kata-katanya yang kesohor nampaknya tidak digubris. “Tidak ada prajurit yang salah, yang ada komandan yang salah”. Kalimat ini rupanya telah berubah menjadi “Kamu yang salah, aku yang benar”.
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan sehubungan dengan maraknya para elit pemerintahan dan politik yang terlibat skandal dalam era reformasi,
Pertama, Mei 2007 kalau boleh saya katakan adalah akhir dari masa reformasi. Setelah delapan tahun masa reformasi, kita lihat seluruh tokoh yang dulu menjadi motor reformasi (maaf) semua mempunyai kesalahan, yaitu khususnya melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Jangan kan membawa mantan presiden Suharto ke pengadilan justru para tokoh reformasi tersebut terkena dugaan melakukan korupsi. Pada era Gus Dur, entah bagaimana Gus Dur seolah terperdaya oleh Tommy Suharto dan pengacaranya dalam kasus peninjauan kembali. Bahkan Gus Dur melaporkan Wapres Jusuf Kalla ke polisi karena Kalla mengatakan semasa jadi Kepala Bulog, Gus Dur pernah meminta untuk pengeluaran dana, namun ia tolak. Di era Megawati, selain penanganan kasus BLBI tidak dapat diselesaikan dengan tuntas, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang sedang giat-giatnya memeriksa dan mengumumkan kekayaan para penyelenggara negara dibubarkan. Beberapa mentri dan pejabat dalam era Megawati bahkan telah ditahan. Dan terakhir, Amin Rais telah mengakui ia menerima uang dari dana DKP. Sebagai seorang intelektual Amin tentu tahu uang itu bukan dari kocek pribadi Rokhmin. Seharusnya ia tolak karena sudah jelas aturannya, adanya batasan sumbangan pribadi dan larangan menerima dana dari intansi pemerintah/BUMN. Dan konsekuensinya cukup berat. Selain melanggar mengenai dana kampanye capres, Amin Rais dapat dikenakan pidana pencucian uang. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Denny Indrayana jika Rohmin Dahuri dinyatakan bersalah karena korupsi maka siapa saja yang menikmati dana DKP maka akan terkena ancaman pidana pencucian uang. Untung bagi Amin karena Kepolisian atau Kejaksaan tidak langsung melakukan penyidikan. Bandingkan dengan kasus Achmad Ali yang langsung diproses oleh kejaksaan hanya karena dugaan penyalahgunaan uang perjalananan dinas. Padahal sudah menjadi rahasia umum jika semua instansi termasuk mungkin kejaksaan sendiri melakukan penyimpangan uang perjalanan dinas.

Kedua, semakin bertambah akademisi yang masuk ke birokrat menjadi pesakitan. Rupanya jabatan Guru Besar tidak mampu membawa perubahan yang positif di lingkungannya. Kita lihat dalam kasus dana KPU, mantan Ketua KPU Nazarudin adalah Guru Besar di Fakultas Sospol UI. Demikian juga Rahardi Ramelan, Daan Damara. Dan sekarang Rokmin adalah Guru Besar Di Institut Pertanian Bogor. Sudah tentu ini merupakan peringatan kepada mantan para akademisi/Guru Besar yang sekarang ada di Birokrat.

Ketiga, kata sambutan Wapres dalam pembukaan Kongres Ikatan Akuntan mengatakan tidak benar dana kampanye pasangan SBY-JK waktu itu menerima dana dari DKP karena telah diaudit oleh Akuntan Publik. Secara bergurau Wapres mengatakan jika dana kampanye pasangan SBY-JK dikatakan menerima dana DKP atau dana asing, maka ia akan meminta agar para akuntan publik duluan ditangkap/penjara. Walaupun halus sebenarnya gurauan Wapres adalah ejekan sekaligus ancaman terhadap profesi para akuntan publik. Ini menunjukan bahwa apapun yang terjadi mengenai dana kampanye sudah ada pihak yang mungkin bisa dipersalahkan yaitu Akuntan Publik!
Selama ini terjadi kesalahpahaman terhadap kerja para akuntan. Banyak pihak mengira apabila telah diaudit oleh Akuntan Publik segala sesuatu dapat ditimpakan kepada para akuntan publik. Padahal hal ini harus dilihat dulu jenis auditnya, apakah auditnya itu general audit, atau audit khusus untuk mencari penyimpangan. Para akuntan publik tidak akan mau menerima penugasan jika tidak jelas dulu jenis auditnya. Ini berhubungan dengan resiko audit. Kalau audit dana kampanye tersebut memang benar audit khusus/investigasi dan dana yang bermasalah tersebut tercantum dalam laporan dana kampanye maka akuntan publik yang melakukan audit dapat dimintai pertanggungjawaban.

Keempat, dalam kasus dana Departemen Kelautan dan Perikanan, Rokhmin menyatakan tidak hanya departemennya saja, tetapi departmen lainnya pun dimintai sumbangan oleh para tim sukses. Ini menunjukan bahwa praktek pengumpulan dana budgeter terjadi di departemen lain. Praktek semacam ini sudah terjadi sejak jaman orde baru. Tidak ada perubahan berarti dalam good governance pengelolaan anggaran di masa reformasi ini karena adanya dana non budgeter pasti setahu dan persetujuan mentrinya.
Ada 2 jenis asal dana non budgeter, yaitu dari dana APBN atau pungutan terhadap pihak ketiga/pengusaha. Jika berasal dari APBN mungkin dari sisa anggaran karena penghematan atau hal lain yang tidak disetor kembali ke Kas Negara. Tujuan dari dana ini pada umumnya memang untuk dana taktis karena sistem APBN tidak flexible. Tetapi karena di luar sistem, siapa yang bisa menjamin penggunaannya untuk hal yang benar?.

Terakhir, kasus penggunaan Dana DKP semakin menambah daftar dugaan korupsi yang terjadi di era reformasi. Kondisi negeri ini seperti apa dikatakan George Santayana “Mereka yang tidak ingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya”.
Contoh jelas kutukan terjadi di BULOG. Sebelumnya mantan Kepala BULOG Rahardi Ramelan dihukum penjara karena kasus penyalahgunaan dana fiktif. Sekarang Kepala BULOG Widjarnako terkena kutukan karena ia tidak belajar dari masa lalu. Ia harus menjalani pemeriksaan dan penahanan karena kasus dugaan pengadaan sapi fiktif.

Masih banyak dan dengan mudah contoh ”kutukan” lain dicantumkan. Namun bukan itu intinya. Tetapi kapan para pemimpin negeri ini mau belajar dari kesalahan diri sendiri dan orang lain, atau masihkah kita harus menerima ”kutukan-kutukan” lainnya terjadi?

Johanes Wardy Sitinjak
Blog : The Tracer (www.signnet.blogspot.com)
Telah diterbitkan dalam Harian Bisnis dan Investasi Kontan, 5 Juni 2007 .