Masih ingat Thomas Malthus? Dalam bukunya Essay on the Principle of Population, Malthus meramalkan pada suatu masa akan timbul kelaparan di seluruh dunia. Ramalan ini didasarkan atas asumsi bahwa pertumbuhan produksi mengikuti deret hitung, sedangkan pertumbuhan penduduk meningkat pesat mengikuti deret ukur. Apakah terbukti? Ternyata tidak. Mengapa? Ramalan Maltus dapat dipandang sebagai early warning untuk melakukan antisipasi pencegahan ledakan penduduk dan penanaman kesadaran (moral restrain) dikalangan penduduk untuk membatasi kelahiran dan jumlah penduduk. Kemudian ada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dapat memperbaiki dan menyempurnakan berbagai proses produksi dan penemuan teknologi baru termasuk teknologi pertanian. Selain itu, dalam bidang kesehatan, ditemukan juga berbagai metode dan obat-obatan yang bisa menunda dan menjarangkan kelahiran.
Cerita ini berbeda dalam masalah utang luar negeri Indonesia. Sejak jaman orde baru telah banyak pakar yang meramalkan tentang bahayanya utang luar negeri lewat berbagai kajian ataupun tulisan. Sritua Arief bersama Adi Sasono contohnya, kajian mereka selama tahun 1970 – 1986 menunjukkan arus bersih modal asing yang terdiri dari investasi modal asing dan hutang luar negeri ternyata mempunyai dampak negatif terhadap tabungan domestik. Bahkan pada kajian itu, mereka telah mengatakan Indonesia mengalami ekonomi gali lubang tutup lubang. Kita terus meminjam dari luar negeri untuk dapat membayar cicilan dan bunga hutang luar negeri dan keuntungan investasi asing yang ditransfer ke luar negeri. Secara sadar atau tidak kita bekerja untuk pihak asing alias kuli pihak asing.
Kajian ini seharus juga dilihat sebagai early warning atas kebijakan penggunaan utang luar negeri sebagai sumber dana pembiayaan pembangunan. Namun selama lebih dari 30 tahun tidak ada perubahan yang significan mengenai kebijakan utang luar negeri kita dan pengelolaannya. Hasilnya? Kita semakin terjerat, dan masuk perangkap Fisher Paradox. Artinya penambahan utang luar negeri yang baru sudah tidak cukup untuk membayar cicilan pokok dan bunga. Contohnya pada tahun 2002 penambahan utang luar negeri mencapai Rp27 triliun sementara pembayaran cicilan pokok dan bunganya mencapai Rp106 triliun.
Cerita ini berbeda dalam masalah utang luar negeri Indonesia. Sejak jaman orde baru telah banyak pakar yang meramalkan tentang bahayanya utang luar negeri lewat berbagai kajian ataupun tulisan. Sritua Arief bersama Adi Sasono contohnya, kajian mereka selama tahun 1970 – 1986 menunjukkan arus bersih modal asing yang terdiri dari investasi modal asing dan hutang luar negeri ternyata mempunyai dampak negatif terhadap tabungan domestik. Bahkan pada kajian itu, mereka telah mengatakan Indonesia mengalami ekonomi gali lubang tutup lubang. Kita terus meminjam dari luar negeri untuk dapat membayar cicilan dan bunga hutang luar negeri dan keuntungan investasi asing yang ditransfer ke luar negeri. Secara sadar atau tidak kita bekerja untuk pihak asing alias kuli pihak asing.
Kajian ini seharus juga dilihat sebagai early warning atas kebijakan penggunaan utang luar negeri sebagai sumber dana pembiayaan pembangunan. Namun selama lebih dari 30 tahun tidak ada perubahan yang significan mengenai kebijakan utang luar negeri kita dan pengelolaannya. Hasilnya? Kita semakin terjerat, dan masuk perangkap Fisher Paradox. Artinya penambahan utang luar negeri yang baru sudah tidak cukup untuk membayar cicilan pokok dan bunga. Contohnya pada tahun 2002 penambahan utang luar negeri mencapai Rp27 triliun sementara pembayaran cicilan pokok dan bunganya mencapai Rp106 triliun.
Planner vs Searcher
Sebenarnya telah banyak kajian international mengenai bantuan/utang luar negeri kepada negara berkembang. Ada yang pro dan ada yang kontra. Namun lebih banyak yang mengatakan bantuan luar negeri berdampak negatif. Yang paling terbaru adalah perbedaan pendapat antara dua ekonom terkenal, yaitu Jeffrey Sachs dan William Easterly. Sachs, dalam bukunya The End Of Poverty : Economic Possibilities for Our Time berpendapat jika negara-negara kaya meningkatkan bantuan luar negerinya sebesar $150 milyar per tahun maka akan dapat mengurangi kemiskinan di seluruh dunia pada tahun 2025.
Pendapat Sachs ini dikritik oleh Easterly, dengan buku terbarunya, The White Man’s Burden : Why the West’s Effort to Aid the Rest Have Done So Much Ill and So Little Good. Sebelumnya Easterly melalui bukunya, The Elusive Quest for Growth : Economists’ Adventure and Misadventures in The Tropics (2001) mengkritik bantuan luar negeri kepada negara-negara dunia ketiga. Menurut Easterly kegagalan bantuan luar negeri selama ini karena negara-negara dan lembaga donor lebih bersikap sebagai Planner dibandingkan Searchers. Perbedaan ini jelas dikatakan Easterly. “A Planner thinks he alrealdy knows the answer; A Searcher admits he doesn’t know the answer in advance; A Planner believes outsiders know enough to impose solution. A Searcher believes only insiders have enough knowledge to find solutions and that most solutions must be homegrown.”
Ada dua elemen kunci yang dipunyai Searcher agar bantuan luar negeri dapat sukses, yaitu : feedback dan accountability. Searcher tahu sesuatu berjalan sebagaimana mestinya jika penduduk memberikan umpan balik. Dalam kehidupan nyata, dicontohkan bahwa konsumen akan membeli barang yang harganya sama dengan manfaat yang diterima.
Pendapat Easterly ini mengingatkan penulis ketika masih menjadi staf Proyek yang didanai Utang Luar Negeri beberapa tahun lalu. Menurut penulis, proyek senilai $20 juta tersebut sebenarnya tidak perlu karena manfaat yang diterima tidak sebesar nilai utang luar yang harus dibayar plus bunganya. Proyek ini sebagaimana ditunjukan Easterly, pihak donor berfungsi sebagai A Planner yang (sok) tahu bahwa pihak luar lebih punya cukup pengetahuan untuk mencarikan solusi. Padahal pekerjaan itu dapat dikerjakan tenaga ahli lokal dengan kualitas pekerjaan yang sama. Lebih parah lagi dari segi accountability, mulai dari pergantian personil yang seenaknya, tidak ada deliverables sampai dengan salah satu oknum pejabat lembaga donor yang tiba-tiba datang membawa kontrak pekerjaan untuk minta dibayar, sementara para pengelola proyek sendiri tidak mengetahui kapan dan pekerjaan apa yang telah dilakukan.
Sudah saatnya sekarang kita mengevaluasi kembali keberadaan proyek-proyek utang luar negeri dimana donor lebih bersikap sebagai Planner dibandingkan Searcher.
Cost-Benefit Analysis
Seperti dikatakan sebelumnya, ada yang pro dan ada yang kontra terhadap utang luar negeri. Kelompok yang pro menunjukkan negara-negara maju pun mempunyai utang (dalam dan luar negeri) yang besar juga. Bahkan, sebagian utang negara maju jauh diatas GNP mereka. Pertanyaannya bagaimana negara-negara maju yang utangnya jauh melebihi GNP mereka, masih dapat memberikan bantuan (grant dan loan) kepada negara-negara berkembang tanpa terganggu pertumbuhan ekonomi mereka? Pertama, pos pemberian bantuan luar negeri adalah saldo lebih negara donor, setelah penerimaan dari dalam plus utang mampu membiayai semua pembangunan/investasi. Ini berbeda dengan negara penerima, pos utang luar negeri merupakan pos utama untuk membiayai pembangunan/investasi. Jelas perbedaan bargaining power ini akan menguntungkan negara donor untuk memasukkan persyaratan–persyaratan pemberian bantuan luar negeri. Kedua, negara-negara donor melakukan Cost-Benefit Analysis yang baik terhadap pemberian bantuan. Syarat soft & untied loan menaikkan biaya riil bagi negara donor sedangkan tied loan menurunkan biaya riil pada donor. Pada waktu yang sama, tied loan menaikkan beban pembayaran kembali bagi negara penerima. Diperkirakan tied loan akan menaikkan biaya proyek lebih dari 30% karena negara penerima harus menggunakan tenaga ahli, mesin, sukucadang, bahan mentah dan lain-lain dari negara donor. Dari perhitungan Cost-Benefit Analysis, dalam kasus utang luar negeri Indonesia, negara-negara donor mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan manfaat yang diterima negara Indonesia karena lebih kurang 80% bantuan yang diterima adalah tied loan.
Bappenas beberapa tahun lalu telah melakukan kajian apakah biaya utang luar negeri lebih murah dibandingkan pembiayaan dari dalam negeri. Untuk dapat membandingkan dengan pembiayaan dari dalam negeri, tidak hanya faktor bunga saja yang dimasukkan tetapi juga up front fee, commitment fee, insurance premium, tingkat penyerapan/absorptive capacity dan depresiasi harus ikut dihitung. Jika dibandingkan dengan kredit perbankan dalam negeri, ternyata biaya pinjaman luar negeri secara rata-rata dalam 20 tahun terakhir ini lebih mahal. Jadi tidak benar apa yang dikatakan selama ini bahwa pinjaman luar negeri lebih murah.
Audit Proyek Utang Luar Negeri
Dengan melihat hasil Cost-Benefit Analysis adalah tidak fair jika pihak donor menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan. Negara penerima seharusnya juga memasukkan analisa yang sama jika tidak menggunakan utang luar negeri. Barangkali karena cara memperolehnya tidak memerlukan kerja keras, para penguasa dan pengelola ekonomi lebih senang berutang. Dari sinilah timbul aroma yang tidak sedap. Publik mencurigai para birokrat memperoleh keuntungan dari korupsi uang hasil utangan tersebut. Hal ini pun ditemukan dalam penelitian Easterly terhadap 24 negara miskin penerima bantuan luar negeri selama 1985 – 2005. Easterly menunjukan bukan poverty trap melainkan bad government yang menyebabkan stagnasi di negara-negara miskin penerima bantuan luar negeri.
Penelitian Easterly dapat kita bandingkan dengan bagaimana pengeleloaan proyek-proyek utang luar negeri Indonesia melalui audit yang dilakukan BPKP. Dari data yang diperoleh dari Departemen Keuangan dan Bappenas, selama tahun 2002 diperoleh data jumlah loan keseluruhan berjumlah 168, yang terdiri dari 43 loan IBRD, 62 loan ADB dan 63 loan JBIC. Sementara tahun 2003 berjumlah 139 loan, yang terdiri dari 36 loan IBRD, 48 loan ADB dan 55 loan JBIC. Namun jumlah prosentase loan yang diaudit oleh BPKP secara total keseluruhan hanya 51,79% dan 58,99% untuk masing-masing tahun 2002 dan 2003.
Hasil audit tersebut menunjukan pola-pola dan intensitas yang dilakukan para oknum dan pihak lain untuk melakukan penyimpangan pada proyek-proyek utang luar negeri tidak jauh beda dengan yang terjadi pada proyek yang didanai APBN/APBD. Rupanya kenikmatan untuk melakukan korupsi tidak memandang dari mana sumber dana itu datang. Mereka tidak peduli jika utang luar tersebut mereka korupsi, akibatnya yang diderita bangsanya ini adalah dobel. Pertama, kerugian dari jumlah yang dikorupsi. Kedua, kerugian dari besarnya warisan utang luar negeri berupa cicilan pokok dan bunga kepada anak cucu yang mungkin manfaat dari proyek-proyek utang luar negeri ini tidak mereka rasakan. Bahkan mungkin proyek-proyek utang luar negeri ini secara fisik mereka tidak lihat lagi karena telah rusak sebelum utang luar negeri itu jatuh tempo. Jadi wajar sekali jika baru-baru ini anak-anak muda melakukan demo menentang rencana penambahan utang luar negeri yang baru.
Dengan melihat hasil Cost-Benefit Analysis adalah tidak fair jika pihak donor menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan. Negara penerima seharusnya juga memasukkan analisa yang sama jika tidak menggunakan utang luar negeri. Barangkali karena cara memperolehnya tidak memerlukan kerja keras, para penguasa dan pengelola ekonomi lebih senang berutang. Dari sinilah timbul aroma yang tidak sedap. Publik mencurigai para birokrat memperoleh keuntungan dari korupsi uang hasil utangan tersebut. Hal ini pun ditemukan dalam penelitian Easterly terhadap 24 negara miskin penerima bantuan luar negeri selama 1985 – 2005. Easterly menunjukan bukan poverty trap melainkan bad government yang menyebabkan stagnasi di negara-negara miskin penerima bantuan luar negeri.
Penelitian Easterly dapat kita bandingkan dengan bagaimana pengeleloaan proyek-proyek utang luar negeri Indonesia melalui audit yang dilakukan BPKP. Dari data yang diperoleh dari Departemen Keuangan dan Bappenas, selama tahun 2002 diperoleh data jumlah loan keseluruhan berjumlah 168, yang terdiri dari 43 loan IBRD, 62 loan ADB dan 63 loan JBIC. Sementara tahun 2003 berjumlah 139 loan, yang terdiri dari 36 loan IBRD, 48 loan ADB dan 55 loan JBIC. Namun jumlah prosentase loan yang diaudit oleh BPKP secara total keseluruhan hanya 51,79% dan 58,99% untuk masing-masing tahun 2002 dan 2003.
Hasil audit tersebut menunjukan pola-pola dan intensitas yang dilakukan para oknum dan pihak lain untuk melakukan penyimpangan pada proyek-proyek utang luar negeri tidak jauh beda dengan yang terjadi pada proyek yang didanai APBN/APBD. Rupanya kenikmatan untuk melakukan korupsi tidak memandang dari mana sumber dana itu datang. Mereka tidak peduli jika utang luar tersebut mereka korupsi, akibatnya yang diderita bangsanya ini adalah dobel. Pertama, kerugian dari jumlah yang dikorupsi. Kedua, kerugian dari besarnya warisan utang luar negeri berupa cicilan pokok dan bunga kepada anak cucu yang mungkin manfaat dari proyek-proyek utang luar negeri ini tidak mereka rasakan. Bahkan mungkin proyek-proyek utang luar negeri ini secara fisik mereka tidak lihat lagi karena telah rusak sebelum utang luar negeri itu jatuh tempo. Jadi wajar sekali jika baru-baru ini anak-anak muda melakukan demo menentang rencana penambahan utang luar negeri yang baru.
Johanes Wardy Sitinjak
Blog : The Tracer (www.signnet.blogspot.com)
Artikel ini telah dimuat dalam Tabloid Bisnis dan Investasi Kontan.