Jumat, November 28, 2008

GREY AREA (BELUM DIATUR) = BOLEH DILAKUKAN ?

Belum lama ini saya mendapatkan klien yang meminta saya melakukan investigasi terhadap dugaan penyimpangan yang dilakukan manajemen perusahaan swasta.

Tidak seperti yang dikatakan oleh Irjen Depkeu Hekinus Manao, bahwa para auditor berlomba-lomba menemukan penyimpangan tanpa tahu penyebanya, dalam waktu hanya beberapa hari saja saya sudah mengetahui penyebab terjadinya penyimpangan. Kelemahan utama adalah lemahnya pengendalian internal, dimana tidak adanya sistim pencatatan dan pelaporan yang tertib serta tidak berjalannya fungsi audit intern. Situasi ini ditambah lagi dengan belum ada aturan tertulis mengenai tindakan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan tersebut. Budaya diperusahaan itu mengutamakan profit. Yang penting perusahaan profit, pertanggungjawaban belakangan.

Saya jadi teringat dengan kasus Sisminbakum dimana mantan menteri YIM diduga terlibat dalam kasus ini. Dalam kasus ini, banyak pihak pendukung YIM segera mengatakan tidak ada kerugian negara walau cara yang dipilih tidak lazim karena tahu tidak ada aturan tertulis (grey area) mengenai cara-cara yang dipilih.
Persis kasus perusahaan swasta yang di atas, yang penting profit, sementara di kasus Sisminbakum, yang penting tidak ada kerugian negara!

Dalam kasus Sisminbakum, secara garis beras saya berpendapat :
Pertama, YIM sebagai seorang pakar hukum, memanfaat celah yang ada, yaitu belum adanya aturan (grey area) yang tertulis tentang pengadaan barang/jasa bila menggunakan modal swasta dan saat itu belum ada aturan tertulis mengenai boleh tidaknya pelayanan publik dikelola swasta dengan koperasi pegawai, yang hasilnya tidak disetorkan ke negara. Seharusnya sebagai pakar hukum, ia berhati-hati bertindak dengan membuatkan dulu payung hukumnya untuk kedua masalah tersebut.

Kedua, seperti yang pernah saya tulis di sini, sebaiknya metode penunjukan langsung dipakai hanya untuk proyek yang bernilai kecil dimana kalau dilakukan tender, biaya tender lebih besar daripada nilai proyek itu dan untuk proyek penanggulangan bencana alam yang sifatnya mendesak untuk segera menolong para korban bencana alam.


Ketiga, seharusnya YIM sadar bahwa ia adalah pakar hukum bukan pakar IT. Tahu apa ia tentang IT. (Coba lihat komentar di bawah)
ekosindo Says: November 25th, 2008 at 3:15 pm
Agak absurd juga ya….
Ada software dan website yang nilainya 400 milyar.Padahal waktu di bandung, software house temen hanya proyek software plus servernya aja paling mahal cuma 250juta.

Saya sih setuju dengan komentar di atas karena saya dulu pernah menjadi admin website kantor saya. Banyak software house yang bisa membuatkan aplikasi Sisminbakum dan nilainya tidak sampai milyaran. Tidak seperti alasan YIM sulit mencari investor IT.

Saya jadi teringat dulu Amien Rais dalam suatu acara TV menjelang Pemilu 2004 pernah mengejeknya mengenai keahlian berbahasa Inggris-nya, apalagi tentang IT ? Mbok sadar gitu…


Oleh :
Johanes Wardy Sitinjak
The Tracer (http ://signnet.blogspot.com)

Tidak ada komentar: