Selasa, Oktober 28, 2008

MASALAH BIROKRASI : MUNGKINKAH DIPERBAIKI ?

Artikel ini ada kaitannya dengan tulisan rekan blogger, di sini. Tujuan saya membahas tulisan ini adalah untuk mengingatkan para blogger jika membuat tulisan yang kritis agar hati-hati dalam pemilihan kata. Sebenarnya sebagian besar isi tulisannya saya setuju, sebagian lagi masih perlu pendalaman.


Beberapa hal yang menjadi catatan saya.
Pertama, judul tulisan tersebut terkesan “negatif” sekali karena yang dituju adalah PNS atau orang/pribadi-nya. Kalau dilihat dari isi tulisannya sebenarnya yang menjadi masalah adalah masalah kebijakan/policy dan sistem kepegawaian. Mulai dari perencanaan, kinerja, penggajian,jenjang karier sampai dengan pemberhentian PNS. Namun kalau dilihat dari solusi yang ditawarkan berupa pengurangan pegawai berarti masalahnya menurut rekan kita memang adalah PNS itu sendiri.

Kesalahan dalam pemberian judul itu juga ditambah dengan pemakaian kata “sumber”. Judul ini berarti seluruh masalah di negara ini sumbernya adalah PNS. Tentu yang berprofesi PNS akan menolaknya. Coba kalau kata sumber dihapus dan ditambah beberapa kata lagi misal seperti berikut “Jeleknya kinerja PNS adalah salah satu masalah negeri ini”. Kalau judulnya begini, saya yakin akan lebih sejuk.

Kedua, masalahnya menurut saya bukan di PNS tetapi pada kebijakan mengenai kepegawaian dan lemahnya leadership. Beberapa bulan sebelum keluar dari PNS, saya sempat menyaksikan dan mengalami bagaimana buruknya penerimaan pegawai di instansi saya sendiri dalam penerimaan pegawai non auditor. Bagaimana mungkin penerimaan pegawai untuk bidang IT/Komputer tetapi pegawai yang diterima tidak bisa menjalankan aplikasi umum seperti program Microsoft Excell. Bahkan beberapa hari kemudian pegawai itu karena ketidaktahuannya menyebabkan semua data di hardisk salah satu komputer hilang/terhapus. Pegawai semacam ini bagaimana bisa diharapkan kinerjanya. Kalau begini, yang salah siapa ? Pegawai itu? Jawabnya tidak!! Seharusnya Kepala Biro Kepegawaian yang bertanggungjawab, bukan pegawai itu. Kebijakan penerimaan pegawai yang diumumkan (mungkin) sebenarnya sudah baik tetapi dalam pelaksanaan “dibypass” oleh pihak-pihak yang terlibat dalam penerimaan pegawai, dengan setahu atau tanpa setahu Kepala Biro Kepegawaian.
Kesimpulan yang ditarik dari contoh ini adalah sebenarnya kelemahan birokrasi sudah terjadi dari awal penerimaan PNS. Bukan saat PNS itu bekerja melayani masyarakat!

Masalah klasik lainnya adalah buruknya pengelolaan data base pegawai. Setiap ada kenaikan pangkat, selalu pegawai harus memenuhi persyaratan melampirkan copy surat keputusan (sk) terdahulu. Seharusnya hal ini bisa dilakukan otomatis karena biro kepegawain sendiri yang mengeluarkan sk tersebut. Mengapa harus para PNS sendiri yang menyediakan kembali. Seharusnya satu-satunya dokumen yang harus dilampirkan dalam hal kenaikan pangkat oleh PNS adalah form DP-3 terakhir (tahun berjalan) dan form persetujuan dari atasan langsung. Bagaimana mereka para PNS bisa melayani masyarakat dengan baik, jika dalam instansi mereka sendiri, mereka tidak dilayani dengan baik mengenai hak-nya.

Kemudian, salah satu contoh lemahnya leadership adalah bagaimana seorang PNS yang mempunyai kedudukan eselon II/III, dinas luarnya lebih banyak daripada pegawai bawahannya. Kapan ia memberi arahan, bimbingan dan melakukan pengawasan kepada anak buahnya jika dalam sebulan, status keluar kotanya hampir 25 hari.

Ketiga, secara total anggaran gaji PNS adalah besar. Namun kalau dilihat perseorangan kecil. Saya ingat dulu tahun 1998, gaji pokok seorang PNS eselon 1 (Deputi Kepala) kalah gajinya dengan seorang satpam BI. Mungkin kondisi ini berlaku sampai sekarang. Tidak heran kalau para pejabat tinggi ini (mungkin) untuk mendapat jumlah penghasilan/take home pay yang sama dengan pegawai swasta pada level yang sama, sering meminta prosentase tertentu dari supplier atau cara lain yang halus adalah menjadi komisaris di beberapa BUMN atau menerima honor dari keikutsertaan di berbagai Pokja atau memberikan seminar.

Paling sial adalah pegawai tingkat menengah yang berdedikasi tinggi. Mereka ini sering “underpaid” sebenarnya. PGGS (Pintar Goblok Gaji sama). Akan sial juga kalau ada kasus besar, karena banyak auditor yang lembur tanpa dibayar untuk mengejar laporan pemeriksaan agar selesai tepat waktu.. Berbeda misalnya BI, Tahun 1998 saja, uang pengganti lembur Rp. 10.000 per jam. Kalau sekarang misalnya Rp. 50 ribu per jam. Dan sehari rata-rata 2 jam lembur maka selama 25 hari kerja akan mendapat lembur Rp. 2,5 juta per bulan. Jumlah ini (kalau tidak salah)mungkin sama dengan gaji pokok sebulan PNS Eselon II (Direktur/Kepala Biro).

SOLUSI
Solusi yang ditawarkan oleh Noviiman untuk memperbaiki masalah adalah mengurangi jumlah pegawai dengan skenario goldenshake dikuatirkan akan berdampak negatif. Mengapa ? Kalau tidak ada perbaikan dalam kebijakan publik dan sistem kepegawaian, pegawai-pegawai yang berdedikasi tinggi (umumnya level menengah dan masih dibawah 40 tahun) yang merasa underpaid yang akan mengambil skenario ini. Wong saya aja mau keluar dari PNS dengan membayar sekitar Rp. 20 juta untuk sisa ikatan dinas, apalagi keluar dengan mendapat “pesangon”. Dan jangan lupa, hasil survey ACFE yang menyatakan bahwa korupsi banyak dilakukan orang-orang yang menempati top management/pejabat tinggi. Kalau banyak pegawai yang berdedikasi tinggi keluar, jumlah PNS memang mengecil, tetapi isinya pegawai rendahan yang tidak perform dan pejabat tinggi yang (diduga) nafsu korupsi-nya besar

Telah banyak seminar/kajian tentang reformasi birokrasi (salah satunya gambar atas artikel ini). Anda dapat meminta naskah tersebut dengan mengklik-nya atau di sini. Selain itu saya ingin menunjukan keberhasilan reformasi birokrasi yang dilakukan Gubernur Sumbar, Gamawan Fauzi, ketika saat menjadi Bupati Solok, di sini dan sini dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Rustriningsih, ketika menjadi Bupati Kebumen. Kedua tokoh ini melakukan reformasi birokrasi dengan cara perbaikan Kebijakan Publik tentang kepegawaian dan leadership yang baik, dimulai dengan pribadi mereka sendiri yang tidak korupsi.

Terakhir, apakah ada yang dapat kita lakukan untuk membantu mempercepat reformasi birokrasi ? Ada, dengan cara yaitu jika anda para pengusaha yang sedang ada urusan dengan instansi tertentu. Berani lah menolak permintaan “sesuatu” untuk mendapatkan fasilitas atau untuk menang tender atau mempercepat urusan. Kalau mereka mengancam akan mempersulit, tinggal laporkan kepada Ombudsman atau KPK. Caranya bisa dengan merekam percakapan seperti saat ada pemerasan oleh oknum Kajari Gorontalo.
Kalau para pengusaha tidak berani terhadap permintaan PNS atau malah diam saja karena menikmati fasilitas yang diberikan maka suksesnya reformasi birokrasi akan lama.

Demikian juga, jika kita melihat para PNS berkeliaran pada jam kerja di pusat perbelanjaan atau mal, tegurlah baik-baik para PNS ini. Bukankah pajak yang kita bayar adalah sumber penerimaan APBN yang salah satunya digunakan untuk membayar gaji PNS. Kita juga berhak mengawasi secara langsung kinerja PNS dalam hal pelayanan publik. Jangan diam saja! Peace.

Tidak ada komentar: