Senin, Agustus 25, 2008

EFEK JERA YANG TIDAK BIKIN JERA


Mungkin para pembaca sudah sering membaca penertiban yang dilakukan kepada para pedagang kaki lima. Para pedagang kali lima sering kali harus kehilangan gerobak dan barang dagangannya. Apakah mereka jera untuk berdagang di tempat tersebut? Ternyata fakta menunjukan, walaupun para pedagang itu tahu kalau mereka dilarang berdagang di tempat itu, tetap saja mereka berdagang dengan resiko kehilangan barang dagangannya. Mengapa mereka tidak takut kehilangan semua yang dimilikinya dengan tetap berdagang ditempat tersebut?

Pelajaran apa yang dapat ditarik dari contoh di atas ?
Pemberian hukuman tidak efektif memberikan efek jera jika akar permasalahannya belum diperbaiki. Dalam kasus pedagang kakilima di atas, akar permasalahannya adalah tidak tersedianya tempat bagi para pedagang kakilima yang memungkinkan mereka dapat menjual barang dagangannya. Tempat bagi mereka harus memberikan prospek baik untuk kelangsungan hidup dimasa kini dan di masa depan. Sering kali para pedagang kaki lima ini dipindahkan tempat yang kurang ramai sehingga setelah beberapa waktu menjalani berdagang di sana dan hasilnya tidak memadai maka para pedagang akan kembali lagi berdagang ke tempat yang lama.

Bagaimana dengan pemberian hukuman kepada para koruptor ? Apakah pemberian hukuman dapat memberikan efek jera sehingga orang itu atau orang lain tidak akan melakukan korupsi (lagi) ? Jawabnya belum tentu karena akar permasalahannya bukan pada berat ringan hukumannya. Banyak pendapat di masyarakat mengatakan bahwa hukuman mati dan hukuman penjara seumur hidup akan membuat jera para koruptor. Saya bilang hukuman mati dan hukuman seumur hidup bukan membuat jera para pelaku melainkan para pelaku tersebut sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk melakukan korupsi karena sudah meninggal dihukum mati atau masih di penjara kerena seumur hidup harus dipenjara. Satu lagi keuntungan hukuman mati atau seumur hidup adalah para pelaku itupun tidak mempunyai kesempatan untuk menikmati hasil korupsinya. Sedangkan bagi orang lain yang bukan pelaku koruptor, tidak ada jaminan, hukuman apapun (ringan s.d mati) yang dijatuhkan kepada tersangka koruptor akan mempunyai efek jera terhadap dirinya.

Kesempatan vs Efek Jera
Saya masih ingat ada gurauan mengenai 4 tipe perilaku para aparat di satu instansi, yaitu :
Tipe Santri, moral pegawai tersebut baik, walaupun di instansinya terdapat banyak kesempatan tetap tidak melakukan korupsi, mungkin Inu kencana bisa dijadikan contoh tipe ini.
Tipe Iblis, moral pegawai tersebut memang jelek dan diintansinya banyak terdapat kesempatan melakukan korupsi maka ia akan korupsi sepanjang masa.
Tipe Bunglon, moral pegawai tersebut sebenarnya baik namun karena di instansinya banyak kesempatan melakukan korupsi maka tergodalah ia untuk melakukan korupsi.
Tipe Mercusuar, moral pegawai tersebut sebenarnya jelek tetapi karena di intansinya tidak ada kesempatan untuk melakukan korupsi maka ia pun tidak korupsi. Disebut mercusuar karena pegawai yang moralnya paling jelek pun jika ditempatkan di menara mercu suar sana pasti tidak akan korupsi.
Kesimpulannya dari tipe-tipe perilaku aparat adalah faktor kesempatan lebih dominan untuk mendorong seseorang untuk melakukan korupsi atau tidak.

Jadi kalau saya ditanya bagaimana cara memberantas korupsi. Pertama, tutup semua kesempatan yang ada untuk melakukan korupsi. Kita telah mengetahui bahwa korupsi pengadaan barang dan jasa merupakan porsi terbesar jenis korupsi dalam pelaksanaan APBN. Cara yang paling efektif adalah membuat standar harga yang baik. Mark up terjadi karena tidak ada standar harga atau standar harga dibuat terlalu tinggi dibanding harga pasar. Jika ini dilaksanakan tidak ada kesempatan bagi kontraktor kong kalikong dengan pejabat dengan memberikan komisi/succes fee karena harga sudah wajar alias tidak ada mark-up. Peluang penyalahgunaan wewenang hanya dilakukan oleh pejabat jika perusahaan tersebut adalah milik kerabatnya, sedangkan kerugian akibat mark -up sudah tidak ada lagi.

Kedua, hukum para koruptor kakap dengan hukuman mati atau hukuman seumur hidup. Dengan demikian tidak kesempatan lagi buat pelakunya untuk melakukan korupsi lagi dan menikmati hasil korupsinya. Ingat bukan efek jeranya tetapi tidak ada kesempatan sama sekali!

Faktor kesempatan dalam Triangle Fraud Theory

Sebelumnya saya ingin menjelaskan dulu bahwa korupsi adalah salah satu jenis fraud di tempat kerja (occupational fraud). Menurut Association of Certification Fraud Examiner (ACFE) occupational fraud dapat digambarkan sebagai Fraud Tree. Tiga cabang utama fraud tree ini adalah corruption, asset misapproriation dan fraudulent statements.
Karena korupsi merupakan salah satu cabang dari occupational fraud, seseorang melakukan korupsi dapat dijelaskan dengan teori Fraud Triangle yang diperkenalkan oleh Dr. Donald Cressey, sebagai berikut :

Pertama, adanya Incentif atau Pressure. Incentif dapat berupa mendapatkan kekayaan yang luar biasa besar sehingga dengan kekayaan ini nanti bisa menyuap para aparat agar lolos dari jerat hukuman atau hukumannya ringan sehingga masih dapat menikmati harta jarahannya selama beberapa keturunan. Pressure misalnya terjerat hutang yang besar akibat judi.

Kedua, Rationalization adalah kecenderungan seseorang untuk membenarkan tindakannya. Pada umumnya para pelaku fraud menyakini atau merasa bahwa tindakannya bukan merupakan kecurangan tetapi adalah sesuatu yang memang merupakan haknya bahkan kadang pelaku merasa telah berjasa karena telah berbuat banyak untuk organisasinya.
Bahkan dalam beberapa kasus lainnya yang melibatkan pejabat tinggi pemerintahan/elit militer/elit politik terdapat kondisi dimana para pelaku tergoda untuk melakukan fraud karena yakin dengan posisinya yang begitu tinggi, tidak akan menerima sanksi atas melakukan fraud tersebut. Misal dalam kasus sekarang aliran dana BI. Dari pihak penerima dana BI, Paskah dan MS Kaban tidak ditahan karena sekarang mereka adalah menjabat menteri di kabinet SBY-JK. Sedangkan dari sisi pemberi dana BI, Aulia Pohan tidak ditahan karena ia adalah besan presiden SBY. Masyarakat umum melihat bahwa hukum tidak mampu menjerat orang-orang yang dalam lingkaran dalam SBY.

Ketiga, kesempatan/Opportunity. Kesempatan timbul karena adanya kelemahan dalam pengendalian intern ( internal control) Misal:
- Tidak adanya supervisi atau review
- Tidak adanya pemisahan fungsi
- Tidak adanya persetujuan manajemen atas pengeluaran biaya-biaya
- Tidak adanya SOP (standar operating procedure).

Dengan adanya pengendalian intern baik akan membuat tidak ada kesempatan buat pelaku untuk melakukan penyimpangan karena akan terdeteksi dengan cepat.


Tetapi sayangnya, permasalahan korupsi yang sistemik dan mengakar di Indonesia, bukannya tidak ada pengendalian internal (internal kontrol) di dalam instansi pemerintah/lembaga negara tetapi karena pengendalian internal di-"bypass" oleh pelaku, yang dalam hal ini adalah pejabat tinggi pemerintah/lembaga negara atau kaum elit politik/pemerintahan/militer/lembaga. (lihat faktor rationalisasi). Para pelaku ini sejak jaman orde baru tidak terjamaah oleh hukum.
Untuk pelaku semacam ini hanya hukuman mati atau seumur hidup yang akan menghentikan perbuatannya!!!



Oleh :

Johanes Wardy Sitinjak

The Tracer (http ://signnet.blogspot.com)







Tidak ada komentar: