Jumat, Juli 18, 2008

Mark-Up = Suap, Komisi, Uang Terima kasih dan Success Fee


Dalam kasus pengadaan kapal di Departemen Perhubungan, Bulyan Royan, anggota DPR yang ditangkap KPK di suatu media mengatakan “Apa salahnya jika saya mendapatkan success fee?” . Belakangan di media lain, dia mengatakan itu uang terima kasih.
Sebaliknya pengacara dari pihak rekanan yang turut ditangkap juga mengatakan kliennya tidak bersalah karena bukan menyuap tetapi pihak Departemen Perhubungan dan Bulyan yang meminta. Menurutnya lagi setelah dihitung-hitung secara bisnis ternyata masih mendapatkan profit sehingga kliennya mau memberikan. Pengacara tersebut juga mengatakan tidak benar itu uang terima kasih karena jumlahnya sudah ditentukan.

Boleh-boleh saja mereka semua mengatakan demikian? Tetapi yang jelas, ada aturan yang melarang hal itu semua, yaitu Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP).
Pasal 3 PBJP wajib menerapkan prinsip-prinsip:
Ayat e : Adil/tidak diskriminatif berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu dengan cara dan atau alasan apa pun.

Kemudian dalam Bab Etika Pengadaan dijelaskan bahwa pengguna barang/jasa, penyedia barang/jasa, dan para pihak terkait dengan pengadaan barang/jasa harus mematuhi etika sebagai berikut :
Pasal 5 ayat g
Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain secara langsung merugikan negara.

Pasal 5 ayat h
Tidak menerima, tidak menawarkan atau menjanjikan untuk memberi/menerima hadiah, imbalan berupa apa saja kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa.

Apakah Bulyan Royan , Dedi Suwarsono (rekanan) dan para pejabat Dephub tidak mengetahui aturan ini ? Rasa-rasanya tidak mungkin mereka semua tidak mengetahui aturan ini karena mereka semua adalah “pemain lama”.
Lalu mengapa mereka melakukan hal ini? Menurut saya ada tiga kelemahan utama yaitu :

Pertama, kelemahan dalam perencanaan anggaran departemen perhubungan. Sejak awal anggaran pembelian kapal telah dimark-up harganya. Biasanya harga sudah dimark-up demikian besarnya di atas harga normal. Mark-up ini digunakan untuk membayar komisi tidak resmi atau fee tertentu atau suap atau success fee atau uang terima kasih. Maka tidak heran seperti yang telah disebut dalam awal tulisan ini, pengacara Dedi Suwarsono mengatakan setelah dihitung kembali secara bisnis (dengan memberi fee tertentu) masih menguntungkan ? Bayangkan berapa besar harga tersebut telah dimark-up di atas harga normal kapal jika kepada Bulyan saja telah diberikan sebesar $ 66 ribu dan Euro 5.500. Apalagi jika ini bukan setoran yang pertama kali. Berapa yang diberikan kepada orang dalam seperti para pejabat Dephub yang terlibat dalam pengadaan.?

Kieso & Wiegant dalam bukunya Intermediate Accounting mengatakan bahwa harga Fixed Asset/Aktiva Tetap dicatat dengan harga perolehannya, yang terdiri dari :
- Harga beli (purchase price),
- Freight and Handling Charged (Biaya angkut dari gudang ke lokasi pemasangan),
- Insurance cost ( biaya asuransi),
- Assembling and Installation cost (biaya pemasangan)
- Cost of Conducting trial runs (biaya uji coba).
Perincian harga seperti diatas biasanya tidak akan nampak dalam PBJP karena akan mudah terdeteksi bahwa harga telah dimark-up. Biasanya untuk menyembunyikan adanya mark-up, harga tersebut sudah ditotalkan/paket kemudian dimodifikasikan dengan spesifikasi tertentu yang berbeda dengan spesifikasi umum yang mudah didapatkan harganya lewat internet atau katalog harga. Hal ini untuk menghindari agar audit yang dilakukan nanti tidak mudah mendapatkan harga pembanding yang sama atau apple to apple.

Kedua, kelemahan dalam pembahasan dan persetujuan anggaran di DPR. Seperti yang dikatakan dalam artikel yang telah saya posting dalam blog ini. Karena semua anggota DPR mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Tidak ada pemisahan fungsi sehingga siapa yang membuat, siapa yang menyetujui dan siapa yang mengawasi berada dalam satu tangan yaitu DPR. Ini pada akhirnya akan membawa “pasar gelap” antara DPR dengan Birokrasi.

Ketiga, kelemahan dalam proses tender PBJP.
Dedi Suwarsono mengatakan bahwa ia baru sekali melakukan ini karena terpaksa. Hampir 5 tahun ia mengikuti tender di Dephub tidak pernah menang karena tidak membayar fee tertentu kepada oknum Dephub.
Menurut pengalaman saya, dengan melaksanakan tender belum menjamin tidak ada praktek-praktek kolusi/dikriminasi yang menguntungkan pihak tertentu. Hal yang paling krusial adalah penentuan kriteria dan penilaian yang berada di tangan panitia pengadaan. Tahap ini bisa subyektif sekali tergantung “selera” panitia. Apalagi jika sudah ada “titipan atau janji” dari rekanan tertentu yang mau memberikan fee jika menang.
Misal dalam tender diinstansi tertentu ada rekanan yang dimenangkan padahal harga penawarannya lebih mahal dari rekanan lain. Alasan panitia memenangkan karena rekanannya dinilai memberikan after sales service lebih lama. Padahal kalau diteliti produk yang ditawarkan rekanan lainnya memang sudah terkenal bagus dan lebih tahan lama sehingga rekanan tersebut memberikan after sales service tidak lama.

Selama masih ada tiga kelemahan utama ini yang menyebabkan adanya mark-up yang jauh diatas harga normal maka jangan harap praktek-praktek suap, komisi/success fee, uang terima kasih dapat hilang.



oleh :
Johanes Wardy Sitinjak

Tidak ada komentar: