Akhir April yang lalu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menetapkan putusan terhadap perkara No. 19/KPPU-L/2007 yaitu dugaan pelanggaran terhadap Pasal 23 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal 23 UU No. 5/1999 berbunyi “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” Dugaan pelanggaran tersebut dilakukan oleh EMI Music South East Asia (Terlapor I), PT EMI Indonesia (Terlapor II), Arnel Affandy, S.H (Terlapor III), Dewa 19 (Terlapor IV), dan Iwan Sastrawijaya (Terlapor V).
Inti dari kasus ini adalah PT. Aquarius Musikindo (PT. AM) melaporkan kepada KPPU mengenai pindahnya Grup Musik Dewa 19 dari PT. Aquarius Musikindo ke PT. EMI South East Asia akibat perbuatan para terlapor. Diduga para terlapor telah bersekongkol mendapatkan rahasia perusahaan tentang kontrak antara artis dengan perusahaan rekaman yang antara lain berisi nilai kontrak, bonus, harga royalty, flat pay, option, penalty dan lain lainnya.
Tidak seperti putusan KPPU dalam kasus-kasus yang lain yang telah saya baca, baru pertama kalinya saya tidak sependapat dengan keputusan KPPU dalam kasus ini. Sebaliknya sebagian besar pendapat pengacara para terlapor lebih dapat saya terima dibandingkan argumentasi pihak KPPU.
Beberapa hal pokok yang menurut saya, keputusan KPPU layak dipertimbangkan kembali, bahkan di antaranya KPPU terkesan tidak netral.
Pertama, substansi kasus ini terasa sekali dipaksakan masuk dalam yurisdiksi KPPU. Padahal kasus ini menurut saya lebih ke arah kasus wanprestasi salah satu pihak terhadap pihak yang lain. Dalam hal ini, adalah dugaan Dewa 19 yang melakukan wanprestasi terhadap perjanjian dengan PT. AM, dimana Dewa 19 belum menyerahkan 4 buah lagu seperti yang dipersyaratkan dalam perjanjian nomor 001/JS/PW/07/04 tanggal 12 Juli 2004 antara PT. AM dengan Dewa 19.
Kasus ini pun telah disidangkan di pengadilan negeri Jakarta Pusat dengan keputusan nomor 110/Pdt.6/2007/PN.JKT.PST tanggal 10 Desember 2007 dengan salah satu amar putusan dalam rekopensi Majelis Hakim menyatakan bahwa perjanjian nomor 001/JS/PW/07/04 tanggal 12 Juli 2004 antara PT. AM dengan Dewa 19 batal, yang berarti Dewa 19 tidak terikat perjanjian dengan PT. Aquarius Musikindo. Seharusnya sejak dikeluarkannya keputusan ini, kasus ini ditunda dulu. Namun, majelis komisi tetap berpendapat perjanjian tersebut masih berlaku bagi para pihak karena putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Bukankah sebaiknya KPPU menunggu saja kasus ini sampai berkuatan hukum tetap dan memusatkan energi kepada kasus-kasus yang lainnya? Selain itu, KPPU lebih terlihat menghormati kinerja instansi lainnya.
Kedua, KPPU terperangkap dalam argumentasi yang diajukan PT. AM dalam hal perhitungan kerugian yang terjadi. Dalam bisnis ini, Dewa 19 diibaratkan pabrik yang memproduksi barang (lagu). Jika tidak ada produksi atau lagu baru yang diciptakan Dewa 19 tidak ada bisnis. Bagaimana bisa dibilang kerugian, jika produksi saja belum? Yang benar adalah potensi keuntungan yang hilang. Itupun dengan asumsi jika penjualan untuk kaset dan cd album baru ini, sama dengan penjualan rata-rata album Dewa 19 sebelumnya. Sangat disayangkan Majelis Komisi menerima detail perhitungan yang diajukan PT. AM yang dibilang sangat sederhana dan tidak akurat. Padahal KPPU bisa saja meminta pendapat ahli dari Ikatan Akuntan Indonesia untuk menilai apakah telah terjadi kerugian bagi salah satu pihak?
Ketiga, Majelis KPPU berpendapat bahwa Ahmad Dhani diduga membocorkan rahasia perjanjian antara PT. Aquarius Musikindo dengan Ahmad Dhani. Seperti yang saya sebutkan di atas bahwa Dewa 19 diibaratkan pabrik, sedangkan PT. Aquarius memegang lisensi untuk pemasaran dan distributor. Tentu saja Dewa 19 , dalam hal ini Dhani berhak memilih siapa saja yang menjadi mitra “pemasaran dan distributor” yang menurutnya memberikan nilai lebih. Selain itu, keputusan memilih dan mengganti mitra bisnis adalah hal yang biasa dalam bisnis, sepanjang kedua belah pihak mentaati aturan main yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Keputusan Dhani memilih PT. EMI South West Asia (PT. international EMI SWA) dikarenakan ingin “go international”. Ini berarti Dhani melihat ada nilai lebih PT. EMI SEA dibandingkan dengan PT. AM. Walaupun telah dikatakan, baik oleh saksi dan ahli, bahwa PT. AM mempunyai kemampuan dan akses untuk “go international”, namun sebaiknya KPPU juga menunjukan track record siapa saja artis Indonesia yang pernah sukses “go international” dibawah PT. AM dan PT. EMI SEA . Dengan demikian, KPPU akan lebih objektif menilai apakah alasan Dhani memilih PT. EMI SWA tepat atau tidak.
Walaupun secara garis besar pendapat saya bersebrangan dengan KPPU, masih ada salah satu argumentasi dan bukti yang disampaikan KPPU yang mungkin dapat menguatkan terjadi persekongkolan, yaitu peran Jusak Irwan Sutisno dan Ernel Affandi SH ketika turut mengubah beberapa paragraf kontrak antara PT. EMI SEA dengan Dewa 19. Posisi Jusak Irwan yang saat itu sebagai Managing Director PT. EMI Indonesia tidak dapat dibenarkan ikut serta dalam proses penandatanganan kontrak. Sebagai anggota Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), Jusak seharusnya memberitahu PT. EMI SEA bahwa Dewa 19 sudah terlebih dahulu terikat perjanjian dengan PT. AM. Tindakannya justru menguatkan bahwa penandatanganan kontrak Dewa 19 dengan PT. EMI SEA untuk menghindari pasal 7 dan 9 Buku Putih ASIRI. Apalagi Ernel Affandi SH mantan konsultan hukum PT. AM yang tentunya mengetahui sebagian besar isi kontrak antara Dewa 19 dan PT.AM karena terjadinya penandatanganan perjanjian Dewa 19 dengan PT.AM (12 Juni 2004) hanya selang lebih kurang satu bulan sebelum penandatanganan perjanjian Dewa 19 dengan PT. EMI SEA (19 Juli 2004). Namun, argumentasi dan bukti dari KPPU ini akan mentah kembali jika keputusan pengadilan negeri Jakarta Pusat Nomor 110/Pdt.6/2007/PN.JKT.PST tanggal 10 Desember 2007 dengan salah satu amar putusan dalam rekopensi Majelis Hakim menyatakan bahwa perjanjian nomor 001/JS/PW/07/04 tanggal 12 Juli 2004 antara PT. Aquarius Musikindo dengan Dewa 19 batal dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan Kasasi sehingga mempunyai kekuatan hukum tetap
Inti dari kasus ini adalah PT. Aquarius Musikindo (PT. AM) melaporkan kepada KPPU mengenai pindahnya Grup Musik Dewa 19 dari PT. Aquarius Musikindo ke PT. EMI South East Asia akibat perbuatan para terlapor. Diduga para terlapor telah bersekongkol mendapatkan rahasia perusahaan tentang kontrak antara artis dengan perusahaan rekaman yang antara lain berisi nilai kontrak, bonus, harga royalty, flat pay, option, penalty dan lain lainnya.
Tidak seperti putusan KPPU dalam kasus-kasus yang lain yang telah saya baca, baru pertama kalinya saya tidak sependapat dengan keputusan KPPU dalam kasus ini. Sebaliknya sebagian besar pendapat pengacara para terlapor lebih dapat saya terima dibandingkan argumentasi pihak KPPU.
Beberapa hal pokok yang menurut saya, keputusan KPPU layak dipertimbangkan kembali, bahkan di antaranya KPPU terkesan tidak netral.
Pertama, substansi kasus ini terasa sekali dipaksakan masuk dalam yurisdiksi KPPU. Padahal kasus ini menurut saya lebih ke arah kasus wanprestasi salah satu pihak terhadap pihak yang lain. Dalam hal ini, adalah dugaan Dewa 19 yang melakukan wanprestasi terhadap perjanjian dengan PT. AM, dimana Dewa 19 belum menyerahkan 4 buah lagu seperti yang dipersyaratkan dalam perjanjian nomor 001/JS/PW/07/04 tanggal 12 Juli 2004 antara PT. AM dengan Dewa 19.
Kasus ini pun telah disidangkan di pengadilan negeri Jakarta Pusat dengan keputusan nomor 110/Pdt.6/2007/PN.JKT.PST tanggal 10 Desember 2007 dengan salah satu amar putusan dalam rekopensi Majelis Hakim menyatakan bahwa perjanjian nomor 001/JS/PW/07/04 tanggal 12 Juli 2004 antara PT. AM dengan Dewa 19 batal, yang berarti Dewa 19 tidak terikat perjanjian dengan PT. Aquarius Musikindo. Seharusnya sejak dikeluarkannya keputusan ini, kasus ini ditunda dulu. Namun, majelis komisi tetap berpendapat perjanjian tersebut masih berlaku bagi para pihak karena putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Bukankah sebaiknya KPPU menunggu saja kasus ini sampai berkuatan hukum tetap dan memusatkan energi kepada kasus-kasus yang lainnya? Selain itu, KPPU lebih terlihat menghormati kinerja instansi lainnya.
Kedua, KPPU terperangkap dalam argumentasi yang diajukan PT. AM dalam hal perhitungan kerugian yang terjadi. Dalam bisnis ini, Dewa 19 diibaratkan pabrik yang memproduksi barang (lagu). Jika tidak ada produksi atau lagu baru yang diciptakan Dewa 19 tidak ada bisnis. Bagaimana bisa dibilang kerugian, jika produksi saja belum? Yang benar adalah potensi keuntungan yang hilang. Itupun dengan asumsi jika penjualan untuk kaset dan cd album baru ini, sama dengan penjualan rata-rata album Dewa 19 sebelumnya. Sangat disayangkan Majelis Komisi menerima detail perhitungan yang diajukan PT. AM yang dibilang sangat sederhana dan tidak akurat. Padahal KPPU bisa saja meminta pendapat ahli dari Ikatan Akuntan Indonesia untuk menilai apakah telah terjadi kerugian bagi salah satu pihak?
Ketiga, Majelis KPPU berpendapat bahwa Ahmad Dhani diduga membocorkan rahasia perjanjian antara PT. Aquarius Musikindo dengan Ahmad Dhani. Seperti yang saya sebutkan di atas bahwa Dewa 19 diibaratkan pabrik, sedangkan PT. Aquarius memegang lisensi untuk pemasaran dan distributor. Tentu saja Dewa 19 , dalam hal ini Dhani berhak memilih siapa saja yang menjadi mitra “pemasaran dan distributor” yang menurutnya memberikan nilai lebih. Selain itu, keputusan memilih dan mengganti mitra bisnis adalah hal yang biasa dalam bisnis, sepanjang kedua belah pihak mentaati aturan main yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Keputusan Dhani memilih PT. EMI South West Asia (PT. international EMI SWA) dikarenakan ingin “go international”. Ini berarti Dhani melihat ada nilai lebih PT. EMI SEA dibandingkan dengan PT. AM. Walaupun telah dikatakan, baik oleh saksi dan ahli, bahwa PT. AM mempunyai kemampuan dan akses untuk “go international”, namun sebaiknya KPPU juga menunjukan track record siapa saja artis Indonesia yang pernah sukses “go international” dibawah PT. AM dan PT. EMI SEA . Dengan demikian, KPPU akan lebih objektif menilai apakah alasan Dhani memilih PT. EMI SWA tepat atau tidak.
Walaupun secara garis besar pendapat saya bersebrangan dengan KPPU, masih ada salah satu argumentasi dan bukti yang disampaikan KPPU yang mungkin dapat menguatkan terjadi persekongkolan, yaitu peran Jusak Irwan Sutisno dan Ernel Affandi SH ketika turut mengubah beberapa paragraf kontrak antara PT. EMI SEA dengan Dewa 19. Posisi Jusak Irwan yang saat itu sebagai Managing Director PT. EMI Indonesia tidak dapat dibenarkan ikut serta dalam proses penandatanganan kontrak. Sebagai anggota Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), Jusak seharusnya memberitahu PT. EMI SEA bahwa Dewa 19 sudah terlebih dahulu terikat perjanjian dengan PT. AM. Tindakannya justru menguatkan bahwa penandatanganan kontrak Dewa 19 dengan PT. EMI SEA untuk menghindari pasal 7 dan 9 Buku Putih ASIRI. Apalagi Ernel Affandi SH mantan konsultan hukum PT. AM yang tentunya mengetahui sebagian besar isi kontrak antara Dewa 19 dan PT.AM karena terjadinya penandatanganan perjanjian Dewa 19 dengan PT.AM (12 Juni 2004) hanya selang lebih kurang satu bulan sebelum penandatanganan perjanjian Dewa 19 dengan PT. EMI SEA (19 Juli 2004). Namun, argumentasi dan bukti dari KPPU ini akan mentah kembali jika keputusan pengadilan negeri Jakarta Pusat Nomor 110/Pdt.6/2007/PN.JKT.PST tanggal 10 Desember 2007 dengan salah satu amar putusan dalam rekopensi Majelis Hakim menyatakan bahwa perjanjian nomor 001/JS/PW/07/04 tanggal 12 Juli 2004 antara PT. Aquarius Musikindo dengan Dewa 19 batal dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan Kasasi sehingga mempunyai kekuatan hukum tetap
Referensi :
Putusan KPPU NOMOR 19/KPPU - L/2007
Oleh :
Johanes Wardy Sitinjak
The Tracer ( http://signnet.blogspot.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar