Senin, April 07, 2008

I Did What Was Right… Have No Regrets and Would Do It Again

Saya selalu memberi penghargaaan setinggi-tingginya kepada orang-orang yang berani mengungkapkan kebenaran/truth. Apalagi hal ini dilakukan dengan sadar bahwa langkah yang ia ambil berakibat kehilangan segala kenikmatan yang ia peroleh selama ini. Bahkan bisa saja keselamatan dirinya beserta istri dan anaknya menjadi taruhan.

Semuanya ini dapat kita saksikan dalam film The Insider. The Insider diproduksi tahun 1999 menceritakan kisah nyata atau True Story dari Dr. Jeffrey Wigand (diperankan Russell Crowe) dan Lowell Bergman (diperankan Al Pacino) yang mengungkapkan kecurangan dari perusahaan besar di Tobbacco Industry, yaitu Brown and Williamson. Kecurangan itu adalah para CEO Brown and Williamson mengetahui bahwa merokok dapat menyebabkan kecanduan apabila ditambahkan zat carcinogenic yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Penambahan zat semata-mata untuk meningkatkan penjualan yang pada akhirnya meningkatkan profit perusahaan.

Dari Perjuangan Dr. Jeffrey Wigand (mantan kepala riset Brown and Williamson dan Lowell Bergman (investigative reporter dan produser acara “60 minutes” dari CBS ) akhirnya perusahaan Brown and Williamson dikenakan denda sebesar $246 billion.
Film ini sebenarnya diilhami dari sebuah artikel terkenal “The Man Who Knew Too Much” tentang whistleblower Jeffrey Wigand, yang ditulis oleh Marie Brenner Mei 1996.

Apa yang dapat kita petik dari isi film ini?
Keberanian Luar Biasa untuk mengungkapkan kebenaran.
Dengan rasa hormat saya kepada para pejuang kemerdekaan, keberanian yang dilakukan Dr. Jeffrey Wigan menurut saya melebihi keberanian para pejuang. Mengapa? Karena Wigan sebetulnya bisa diam saja, seperti kebanyakan karyawan di perusahaan tersebut atau seperti kebanyakan kita (termasuk saya), saat terjadi kasus korupsi di KPU, BI, Bank penerima BLBI, BPPN, Dana Budgeter dan lain-lain. Apakah tidak ada karyawan/pegawai di semua perusahaan/badan/instansi tersebut yang mengetahui atau melihat adanya kasus korupsi terjadi. Saya yakin ada, tetapi kebanyakan kita (termasuk saya) lebih memilih diam, mungkin takut kehilangan jabatan atau penghasilan yang sudah besar selama ini.

The danger is not that I should do ill, but that I should do nothing (Michel de Montaigne). Itulah jalan yang dipilih oleh Wigan. Ia memilih bersuara dan melakukan sesuatu dengan berani menjadi saksi pelapor daripada hanya diam saja. Ia memilih kehilangan gaji besar sebagai Kepala Riset dan menerima gaji kecil sebagai guru kimia dan bahasa Jepang di sebuah SMA. Ia kehilangan ketentraman keluarga, bercerai dengan istrinya. Masih banyak lagi masalah yang dia hadapi termasuk “serangan balik” dari perusahaan Brown and Williamson yang mencemarkan nama baiknya dan menceritakan penyakit yang diderita salah satu anaknya.

Coba simak apa yang dikatakan Wigan. “ I am honored that people think I am a hero…but I do not accept that moniker as others are much deserving of it. I Did What Was Right… Have No Regrets and Would Do It Again. As you see, we were just ordinary people placed in some extraordinary situation and did the right thing as all shoul do"


confidentiality agreement tidak boleh menjadi alasan untuk menutupi kebenaran/truth.
Penerapan confidentiality agreement dibatasi hanya untuk informasi-informasi tentang perusahaan yang tidak melanggar hukum. Jangan sampai perusahaan atau suatu badan menggunakan klausul confidentiality agreement untuk memaksa para karyawannya supaya diam saja.

Syukur dalam kasus Wigan, walaupun hal ini telah dicoba tetapi tidak berhasil. Bahkan dalam kasus kecurangan Worldcom, Whistleblower Cynthia Cooper seorang Vice Presiden Internal Auditor menerima penghargaan dalam American Institute of Certified Public Accountants’ (AICPA) Business dan Industry Hall of Fame tahun 2004 atas keberanian dan intergritasnya. Dengan kata lain Cynthia Cooper bukan melanggar kode etik sebagai internal auditor yang salah satu adalah masalah kerahasian.
Congress Amerika pun membuat Sarbanes-Oxley Act yang dalam Section 808 memberikan perlindungan terhadap whistleblower dari pembalasan yang dilakukan perusahaan.
Di Indonesia, KPK telah memberikan perlindungan kepada para pemberi laporan tentang korupsi.


Kebebasan Pers
Soal keberanian tidak hanya ditunjukan oleh Wigan saja, tetapi juga Lowell Bergman, ketika mengetahui bahwa rekaman wawancara dengan Wigan yang muncul dalam acara “60 Minutes” telah disensor, ia menolak. Apa yang dilakukan para pimpinan CBS menurutnya karena pihak CBS takut akan kerugian yang diderita jika pihak lawan akan menuntut. Hal ini di Amerika dikenal dengan konsep hukum Tortious interference.

Dengan mempertaruhkan pekerjaannya ia berjuang agar wawancara dengan Wigan yang belum disensor itu yang harus disiarkan kepada publik. Dengan pertolongan sesama wartawan dari The New York Times dan The Wall Street Journal, akhirnya wawancara tersebut dapat disiarkan dalam “60 Minutes”. Namun Bergman tidak bersedia kembali tetap bekerja di CBS. Ia mengatakan,
'What got broken here doesn't go back together again'
Bergman beralih menjadi dosen yang mengajarkan journalisme pada University of California, Berkeley.


Blog ini sebenarnya diilhami dan dipersembahkan kepada perjuangan para whistleblower seperti Jeffrey Wigan, Cynthia Cooper (Worldcom), Sherron Watkins (Enron) atau para crusader seperti Andrei Kozlov.
Tracing the truth, honesty and make the difference.



The Tracer (http://signnet.blogspot.com)

Tidak ada komentar: