Minggu, Maret 30, 2008

Internal Pengawasan Memble ?


Beberapa hari ini media massa memberitakan tentang KPK yang mempertanyakan tidak adanya laporan dari Itjen dan Bawasda mengenai korupsi pada instansinya. Pertanyaan ini bagi saya sebenarnya dapat diperinci lagi menjadi beberapa pertanyaan lagi, yaitu :
Apakah memang tidak ada korupsi ?
Ada korupsi, terdeteksi tetapi tidak mau melaporkannya?
Ada korupsi, terdeteksi dan telah termuat didalam laporan pemeriksaan sehingga tidak perlu melaporkannya lagi?

Mari kita analisi lebih dalam lagi :
1. Apakah tidak ada korupsi di instansi atau didaerahnya masing-masing?

Bukan untuk mengeneralisir tetapi nampak memang tidak mungkin tidak ada korupsi pada instansi atau didaerah-daerah. Berbagai kasus yang ada sekarang ini, misal kasus dana non budgeter, korupsi pada kedutaan besar RI di Malaysia, kasus pembelian pemadam kebakaran atau kasus dana BI yang nampaknya akan berseri karena ada laporan dari berbagai LSM yaitu kasus dana BI ke II. Beberapa survey yang dilakukan juga menunjukkan praktek korupsi masih subur terjadi . Misal contoh dibawah ini :

Tabel Barometer Korupsi Global Pada Sektor/ Lembaga di Indonesia 2006
============================
lembaga / Skor
----------------------------------------
Parlemen 4,2
Polisi 4,2
Sistem hukum/peradilan 4,2
Partai Politik 4.1
Layanan Pendaftaran dan Perizinan 3,6
Bisnis/sektor swasta 3,6
Layanan Pajak 3,4
Sistem Pendidikan 3,3
Militer 3,3
Pelayanan Kesehatan 3,0
Pekerjaan Umum 2,9
Organisasi Non Pemerintah 2,9
Media 2,8
Lembaga Keagamaan 2,8


Dengan demikian, pertanyaan diatas mungkin harus dimodifikasi sedikit yaitu ada korupsi namun tidak terdeteksi oleh audit/pemeriksaan rutin. Penyebabnya bisa dilihat seperti yang dikatakan dalam artikel saya (Pentingnya Mengenali Fraud Red Flag)

2. Ada korupsi, terdeteksi namun tidak mau melaporkan?

Kemungkinan hal ini yang paling sering terjadi. Ketika sebagai internal auditor suatu badan, saya pun pernah mengalaminya. Beberapa draft laporan hasil audit yang saya serahkan tidak pernah muncul menjadi laporan. Saya pun pernah menanyakannya namun sampai saya berhenti laporan tersebut tidak ada kabarnya.
Untuk mencegah hal ini, BPK dapat menilai kinerja Itjen/Bawasda dengan meneliti banyaknya surat tugas yang dikeluarkan dengan jumlah laporan pemeriksaan yang diterbitkan.

Kembali kepada tidak dilaporkan korupsi oleh para Itjen/Bawasda, menurut saya alasannya mungkin karena takut kehilangan jabatan. Melaporkan korupsi yang mungkin atasan dari Itjen atau Ka Bawasda mempunyai resiko kehilangan jabatan karena ada serangan balik dari pihak-pihak yang dirugikan. Misal ketika Inspektur Jendral Departemen Pertanian (Deptan) Zainal Bachrudin melaporkan dugaan korupsi di tubuh Deptan sebesar Rp. 733,782 miliar kepada Kejaksaan Agung. Belum juga laporannya ditindaklanjuti Kejaksaan Agung, pihak-pihak yang dilaporkan, segera melakukan aksi balasan. Zainal Bachrudin dilaporkan kepada Polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik oleh pihak yang merasa dirugikan.
Tidak jelas sekarang kasusnya penyelesaiannya sudah sampai di mana.
Jika kasus yang dilaporkannya justru membuat Zainal Bachrudin kehilangan jabatannya akan berakibat para Itjen instansi lainnya tidak mau melaporkan kasus korupsi.

Untuk itu KPK harus menanyakan kembali penanganan kasus ini kepada kejaksaan agung dan mengumumkannya kepada publik termasuk status Zainal Bachrudin sesudah melaporkan kasus korupsi di istansinya.

Agar peran Itjen dan Bawasda optimal, KPK telah mengusulkan agar Itjen dan Bawasda menjadi badan independen langsung dibawah presiden. Saya tidak akan membahas usulan ini.
Namun ada alternatif lain agar Itjen dan Bawasda menjadi lebih berperan, yaitu :

- Untuk penunjukan dan pemberhentian Itjen/Ka Bawasda, calon-calon yang diajukan harus melalui persetujuan Tim Penilai dari KPK, BPK, dan BPKP sebelum diangkat dan diberhentikan Presiden.

- Setiap promosi jabatan dalam lingkungan instansi harus mendapatkan lampu hijau dari Itjen atau Bawasda.

- Setiap promosi pejabat, pejabat tersebut terlebih dahulu pernah bekerja di Itjen atau Bawasda.

- Tidak menjadikan Itjen atau Bawasda sebagai tempat pembuangan pejabat yang tidak disukai atau pernah melakukan kesalahan.

- Membuat hotline atau saluran yang bisa digunakan semua pemeriksa di Itjen dan Bawasda untuk melaporkan korupsi tanpa menyebut nama atau identitas. Yang paling penting disini diketahui bahwa laporan tersebut berasal dari pemeriksa Itjen atau Bawasda.

- Memberikan training dan pelatihan yang memadai bagi semua pengawas.

3. Ada korupsi, terdeteksi dan telah termuat didalam laporan pemeriksaan sehingga tidak perlu melaporkannya lagi?

Menurut saya memang tidak perlu melaporkan lagi kepada KPK karena tanggung jawab Itjen atau Bawasda sudah selesai. Permasalahan ini sudah berada pada kewenangan menteri atau bupati. Jadi jika ada kasus korupsi yang telah dilaporkan Itjen atau Bawasda namun tidak ada tindak lanjut dari menteri atau bupati yang bersangkutan maka itu adalah kesalahan menteri atau bupati. BPK dapat melihatnya dengan meminta semua laporan pemeriksaan, mana yang selesai ditindak lanjuti mana yang belum. Ini adalah kondisi yang paling kita harapkan karena menurut survey yang dilakukan Assosiation of Certified Fraud Examiner (ACFE) pada tahun 2004 peranan auditor internal mendeteksi fraud sebesar 23,8% dari seluruh fraud yang terjadi. Lebih besar dibandingkan dengan prosentase external auditor menemukan fraud.
Mungkinkah kondisi ini terjadi di Indonesia?


Johanes Wardy Sitinjak
The Tracer (http://signnet.blogspot.com)

Tidak ada komentar: