Sabtu, Desember 29, 2007

Kutukan Korupsi

Andrei Kozlov, First Deputy Head Bank Central Rusia dibunuh di Moscow 14 September 2006 oleh pembunuh profesional yang disewa “dirty” bankers sebagai aksi balas dendam. Selama menjabat sebagai First Deputy Head Bank Central Rusia, Andrei Kozlov dikenal sebagai seorang pejabat yang jujur dan tidak bisa disuap. Di tangannya telah 44 bank ditutup akibat melakukan money laundering dan atau tax evasion. Rata-rata 1 bank ditutup setiap minggunya selama ia menjabat. Keberaniannya menghadapi resiko sungguh luar biasa karena kejahatan perbankan adalah organisecrimed yang dilakukan Rusian Mafia.
Pernahkah kita mendengar atau melihat keberanian seperti ini pada para pejabat di negara kita?
Coba kita bandingkan peristiwa terbunuhnya Andrei Kozlow September 2006 dengan Laporan BPK mengenai aliran dana dari Bank Indonesia ke penegak hukum baru-baru ini atau kejadian ditangkapnya Irawady Joenoes (IJ) akhir September 2007. Terasa mengenaskan. Dunia terbalik. Di negeri yang dikenal tidak mengakui adanya Tuhan, perilaku seorang pejabat tingginya justru mencerminkan integrity, jauh berbeda bagai langit dan bumi dengan perilaku seorang pejabat di negeri yang percaya kepada Tuhan dan dikenal religius.

Dosis Obat
Suatu ketika istri saya yang seorang dokter menanyakan mengapa korupsi di Indonesia sulit diberantas? Apa belum diketahui sebab dan obatnya? Pertanyaan khas seorang dokter dalam diagnosis penyakit pasiennya. Pertama, dari tanda-tanda/kondisi fisik pasien diperiksa mengetahui penyakit dan sebabnya lalu diberikan obat dengan dosis sesuai dengan berat ringan penyakit. Namun, ada juga dokter yang nakal. Ia tidak memberikan obat sesuai dengan dosis yang tepat. Ia ingin pasien tersebut berulang kali berobat dengannya. Lalu bagaimana dengan pemberantasan korupsi di Indonesia. Apakah sebab dan obatnya sudah diketahui?
Saya yakin sudah jutaan jam yang dipakai untuk mendiskusikan pemberantasan korupsi dalam seminar, talk show atau workshop. Saya juga yakin sudah ribuan buku, jurnal dan artikel yang diterbitkan tentang masalah korupsi. Mengapa masih belum tuntas juga penyakit korupsi di Indonesia?.
Masalahnya elit penguasa tidak pernah mau memberikan obatnya agar pasien sembuh total. Persis kelakukan dokter nakal. Elit penguasa melakukan tebang pilih. Biasanya kalau tersangkanya bekas pejabat/menteri yang tidak punyai partai, ex akademisi atau bekas pejabat berseberangan pandangan politik akan diusut. Atau jika tersangkanya itu menyangkut pejabat yang berpengaruh maka akan dicarikan tumbalnya pejabat yang lebih rendah posisinya atau pegawai yang sudah meninggal dunia!

Kutukan terjadi lagi?
Saya pernah menulis di harian ini, bahwa jika para pemimpin tidak belajar dari kesalahan orang lain maka kita akan melihat ”kutukan-kutukan” lain terjadi lagi. Ini seperti yang dikatakan George Santayana, “Mereka yang tidak ingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya”. Kasus IJ tidak akan terjadi jika IJ belajar dari kasus di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bahkan menurut saya, kasus IJ lebih berat di bandingkan dengan kasus KPU. Kalau di KPU para pelaku yang ditangkap terlibat langsung dalam pengadaan barang, sedangkan IJ tidak terlibat langsung dalam pengadaan tanah. Apa yang dilakukan IJ sungguh profesional, benar-benar seorang “pemain”. Edwin H. Sutherland, kriminologi dari Indiana University dalam teorinya differential assosiation mengemukakan bahwa perbuatan kriminal adalah tingkah laku yang dapat dipelajari seperti orang belajar berbahasa. Pembelajaran ini akan berakhir jika orang itu telah mencapai/menguasai teknikal kompetensi melakukan kejahatan. Sejak awal IJ sudah mengetahui ada yang bisa “diolah”. Selama kariernya ketika di Instansi terdahulu, ia mungkin pernah menangani masalah pengadaan tanah sehingga secara teknik ia menguasai seluk-beluk serta celah-celah masalah pengadaan. Awalnya ia menentang karena pengadaan tanah untuk kantor tidak sesuai dengan ketentuan yang harus di ring I dan II namun akhirnya ia menerima komisi dari pemilik setelah harga tanah itu dibayar. Persis yang dilakukan polisi lalulintas yang nakal, awalnya pengendara diancam ditilang karena melanggar, namun akhirnya ia sendiri menerima “uang damai”. Tugas KPK selanjutnya adalah mengusut apakah tindakan IJ itu inisiatif pribadi atau ada persekongkolan dengan pimpinan KY yang lain. Bagaimana pun juga, pertama, aneh jika pemilik tanah hanya memberi kepada IJ saja komisi yang besar. Kedua, kemungkinan harga tanah di-mark up sehingga pemilik tanah mau memberi komisi kepada IJ.

Bad Leader = Bad Follower?
Berbagai kasus dugaan korupsi/suap yang terjadi pada pejabat tinggi seolah-olah membangunkan kita dari tidur. Beberapa pakar menyalahkan sistem seleksi pejabat tinggi. Seperti biasa setelah ada kejadian, kelemahan-kelemahan yang semula ditutupi terbongkar. Mulai dari belum ada laporan kekayaaan sampai tim pskolog yang baru datang pada pagi harinya. Padahal rawannya posisi jabatan tinggi sudah dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland, yang mengatakan : White Collar Crime as illegal activities committed by anyone of high social respectability in the course of his or her occupation. Hal senada dikatakan FATF (Financial Action Task Force on Money Laundering) dalam “Report on Money Laundering Typologies 2001 – 2002”, mengenai kejahatan golongan elit/high rank yang dalam laporan disebut sebagai Politically Exposed Person (PEPs) . PEPs according to The Basel Committee on Banking Supervision are “ individuals who are or have been entrused with prominent public functions, including heads of state or of government, senior politicians, senior government judicial or military officials, senior executives of publicy owned operations and important party officials.” These individuals especially when they come form countries with significant corruption problem could abuse their official function for their own financial gains through embezzlement, receipt of bribes and other criminal activities.”
Menarik apa yang diungkapkan Barbara Kellerman, Direktur Riset dari Center of Public Leadership at Harvard University, dalam bukunya Bad Leadership. Ternyata kehadiran bad leader dikarenakan adanya bad follower. Jangan-jangan bad leader yang sekarang dulunya juga bad follower atau saya dan kita semua mungkin adalah bad follower sehingga korupsi tidak tuntas-tuntas diberantas!.
Johanes Wardy Sitinjak
blog : The Tracer (www.signnet.blogspot.com)
Artikel ini telah diterbitkan Tabloid Kontan.

Tidak ada komentar: