Semakin mendekati hari Pemilu, saya semakin pesimis bahwa Pemilu akan menghasilkan para wakil rakyat yang berkualitas dan jujur sehingga nantinya akan membawa perbaikan akan nasib bangsa ini.
Kepesimisan saya karena beberapa bulan ini dengan tidak sengaja, saya bertemu dengan berbagai caleg dari berbagai partai. Para caleg tersebut meminta dukungan, baik suara maupun dana. Hanya sedikit dari caleg-caleg itu yang saya pikir mempunyai kemampuan. Bahkan banyak dari mereka yang “bonek’ alias tidak tahu diri karena keterbatasan kemampuan otak dan modal yang dipunyai. Apalagi kalau diingat saya pernah mempunyai keinginan menjadi pengurus partai politik.
Ceritanya beberapa tahun lalu, saya mendaftar mau menjadi anggota partai baru yang dipimpin oleh beberapa orang yang mempunyai nama besar. Keinginan menjadi anggota partai waktu bukan bertujuan suatu saat saya akan mendaftar menjadi caleg tetapi murni untuk memperluas jaringan bisnis yang saya rintis. Tujuan lainnya saya ingin mempunyai “backing” untuk usaha bisnis saya dari preman-preman, baik preman berdasi maupun tidak. Ya, telah beberapa kali terjadi keributan di tempat usaha saya dan beberapa kali pula saya mengalah karena “kalah pasukan” dari para preman ini.
Tapi tidak seperti yang saya harapkan, saya tidak pernah dikontak ataupun diberitahu bahwa saya ditolak atau tidak setelah berkas pendaftaran saya serahkan. Setelah menunggu berbulan-bulan akhirnya saya yakin saya tidak diterima oleh Partai tersebut. “Gile bener nih partai,” kata saya dalam hati, “seleksinya ketat sekali, untuk orang yang sudah mempunyai pengalaman dimana-mana dan latar belakang pendidikan di universitas yang mempunyai nama saja, saya tidak diterima.”
Ternyata, keyakinan saya tidak demikian. Beberapa bulan yang lalu saya bertemu dengan beberapa caleg dari suatu Partai yang saya lamar dulu itu. Terkejut sekali saya, melihat kualitas orang semacam itu bisa menjadi caleg partai ? Maaf, orang ini jauh sekali kualitasnya di bawah saya. Modalnya pintar ngomong saja tetapi tidak ada isinya. Setelah saya kenal lebih dekat, mereka umumnya memang sudah lama ada di gelanggang politik dan menjadi kutu loncat dari satu partai ke partai lain. Banyak yang dari mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap, dan memakai partai untuk mendapatkan pekerjaan atau calo proyek dari BUMN/D dan instansi pemerintah.
Kalau kita melihat sejarah masa lalu ketika beberapa pemuda mendirikan perkumpulan Budi Utomo tahun 1908. Beda sekali dengan kualitasnya dengan sebagian besar caleg.
Saat itu pemikiran para pemuda murni untuk perbaikan nasib bangsa dan rakyat karena mereka berasal dari kaum elit dan berpendidikan. Saat ini, sebenarnya kondisi sekarang tidak jauh berbeda dengan kondisi yang lalu, banyak rakyat yang hidup miskin. Bahkan seperti yang sering dikatakan Rizal Ramli dalam pidato-pidato, sebagian besar rakyat belum “merdeka” secara ekonomi. Maka yang dibutuhkan bukan caleg-caleg yang berorientasi untuk kekayaan mereka sendiri atau partai tetapi justru fokus pada perbaikan kesejahteraan rakyat dan perbaikan nasib bangsa ini.
Kepesimisan saya karena beberapa bulan ini dengan tidak sengaja, saya bertemu dengan berbagai caleg dari berbagai partai. Para caleg tersebut meminta dukungan, baik suara maupun dana. Hanya sedikit dari caleg-caleg itu yang saya pikir mempunyai kemampuan. Bahkan banyak dari mereka yang “bonek’ alias tidak tahu diri karena keterbatasan kemampuan otak dan modal yang dipunyai. Apalagi kalau diingat saya pernah mempunyai keinginan menjadi pengurus partai politik.
Ceritanya beberapa tahun lalu, saya mendaftar mau menjadi anggota partai baru yang dipimpin oleh beberapa orang yang mempunyai nama besar. Keinginan menjadi anggota partai waktu bukan bertujuan suatu saat saya akan mendaftar menjadi caleg tetapi murni untuk memperluas jaringan bisnis yang saya rintis. Tujuan lainnya saya ingin mempunyai “backing” untuk usaha bisnis saya dari preman-preman, baik preman berdasi maupun tidak. Ya, telah beberapa kali terjadi keributan di tempat usaha saya dan beberapa kali pula saya mengalah karena “kalah pasukan” dari para preman ini.
Tapi tidak seperti yang saya harapkan, saya tidak pernah dikontak ataupun diberitahu bahwa saya ditolak atau tidak setelah berkas pendaftaran saya serahkan. Setelah menunggu berbulan-bulan akhirnya saya yakin saya tidak diterima oleh Partai tersebut. “Gile bener nih partai,” kata saya dalam hati, “seleksinya ketat sekali, untuk orang yang sudah mempunyai pengalaman dimana-mana dan latar belakang pendidikan di universitas yang mempunyai nama saja, saya tidak diterima.”
Ternyata, keyakinan saya tidak demikian. Beberapa bulan yang lalu saya bertemu dengan beberapa caleg dari suatu Partai yang saya lamar dulu itu. Terkejut sekali saya, melihat kualitas orang semacam itu bisa menjadi caleg partai ? Maaf, orang ini jauh sekali kualitasnya di bawah saya. Modalnya pintar ngomong saja tetapi tidak ada isinya. Setelah saya kenal lebih dekat, mereka umumnya memang sudah lama ada di gelanggang politik dan menjadi kutu loncat dari satu partai ke partai lain. Banyak yang dari mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap, dan memakai partai untuk mendapatkan pekerjaan atau calo proyek dari BUMN/D dan instansi pemerintah.
Kalau kita melihat sejarah masa lalu ketika beberapa pemuda mendirikan perkumpulan Budi Utomo tahun 1908. Beda sekali dengan kualitasnya dengan sebagian besar caleg.
Saat itu pemikiran para pemuda murni untuk perbaikan nasib bangsa dan rakyat karena mereka berasal dari kaum elit dan berpendidikan. Saat ini, sebenarnya kondisi sekarang tidak jauh berbeda dengan kondisi yang lalu, banyak rakyat yang hidup miskin. Bahkan seperti yang sering dikatakan Rizal Ramli dalam pidato-pidato, sebagian besar rakyat belum “merdeka” secara ekonomi. Maka yang dibutuhkan bukan caleg-caleg yang berorientasi untuk kekayaan mereka sendiri atau partai tetapi justru fokus pada perbaikan kesejahteraan rakyat dan perbaikan nasib bangsa ini.
Satu lagi yang bikin saya pesimis dalam PEMILU adalah iklan dari partai tertentu yang bilang bahwa kemiskinan di Indonesia berkurang. Bagi saya itu pembohongan publik. Selama satu bulan terakhir ini saya sedang mengaudit suatu lembaga yang memberikan kredit mikro kepada masyarakat miskin. Setelah lima tahun berjalan, lembaga ini tiap tahun mengalami kerugian yang besar dan semakin besar saja kredit yang tidak tertagih alias macet. Ini artinya kondisi masyarakat miskin tidak berubah bahkan mungkin semakin sulit karena memang situasi perekonomian semakin sulit saja.
Masyarakat harus sadar, jangan memilih caleg-caleg bonek ini. Caranya kagak usah pusing, pakai saja cara tradisional seperti waktu memilih pasangan hidup. Bobot, Bibit, Bebet . Jangan cepat berprasangka bahwa nasihat kuno ini hanyalah bertujuan materi tetapi tujuannya adalah berhati-hati agar tidak menyesal nantinya.
Sebelum memilih, harus yakinkan dulu tentang Caleg, dalam hal :
BOBOT = nilai pribadi/ diri yang bersangkutan; disini termasuk kepribadian, pendidikan dan kepintarannya; pekerjaan dan penghidupannya; juga nilai pribadi dan imannya.
Jika caleg itu mempunyai misi pemberantasan kemiskinan coba lihat track record pekerjaannya. Apakah selama ini caleg tersebut memang sudah aktif bekerja dalam bidang pemberantasan kemiskinan.
BIBIT = asal usul /keturunan / silsilah termasuk keluarga.
Semakin baik nilai Caleg jika berasal dari keluarga yang harmonis, saudara/ri sukses dalam pekerjaan dan pendidikan.
BEBET = lingkungannya; Di mana ia biasa bergaul dan dengan siapa ia bergaul. Kalau biasa bergaul dengan orang-rang Bank Dunia/IMF maka kemungkingan besar pemikirannya adalah Kapitalis. Kalau biasa jadi calo proyek, nanti kalau kepilih pasti jadi calo proyek dan calo anggaran.
Jika cara ini dipergunakan masyarakat, apa yang bisa dilakukan oleh caleg-caleg “Bonek” ?
Ke Laut aja sono….